Dalam rangkaian kisah tentang Nabi Musa as mulai dari dilahirkan hingga perlawanannya terhadap Fir’aun yang termaktub dalam Surah al-Qashash ayat 1 – 50, terdapat penggalan cerita tentang Nabi Musa as menikah dengan salah satu putri Nabi Syu’aib as. Kisah ini terekam dalam Q.S al-Qashash ayat 23 – 28. Pada ayat 23 Allah Swt berfirman:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.”
Ayat di atas memulai kisah perjumpaan Nabi Musa as dengan dua perempuan yang sedang menggembala ternak dan hendak memberikan minum ternak mereka. Sebagaimana dapat dibaca dalam terjemah ayat, kedua perempuan tersebut menunggu para penggembala lain agar bisa meminumkan air bagi ternak-ternaknya. Pada ayat sebelumnya diceritakan bahwa Nabi Musa as sedang dalam pelarian dari kejaran tantara Firaun. Di tengah kejaran tersebut, sampailah Nabi Musa as di kota Madyan dan bertemu dengan dua perempuan sebagaimana diceritakan pada ayat ini.
Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil fi Ta’wil al-Quran menyebutkan bahwa kota Madyan diambil dari nama seorang figur bernama Madyan bin Ibrahim. Tidak ada keterangan terkait apakah Ibrahim yang menjadi bapak Madyan ini adalah nabi Ibrahim atau bukan. Masih menurut al-Baghawi, keadaan nabi Musa sesampainya di Madyan tidak memiliki apa pun. Sedangkan ia telah menempuh perjalanan dari Mesir ke Madyan kurang lebih delapan hari delapan malam.
Dalam keadaan lelah baik secara fisik maupun psikis itulah, nabi Musa as bertemu dengan dua orang perempuan yang sedang menggembala kambing sebagaimana tertera pada ayat. Menurut keterangan al-Thabari dalam tafsirnya, dua perempuan yang ditemui nabi Musa bernama Layya dan Shafura. Sosok Layya dan Shafura pada ayat ini mencerminkan dua perempuan independen yang mengerjakan pekerjaan “maskulin” pada masa itu.
Setelah mengetahui dua perempuan memerlukan bantuan, nabi Musa as menolong mereka. Hal ini tertuang dalam ayat 24:
فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.”
Menurut Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb ada perbedaan pendapat mengenai cara nabi Musa as memberikan minum kepada kambing peliharaan Layya dan Shafura. Pendapat pertama mengatakan bahwa nabi Musa meminta kepada kelompok lelaki yang sedang meminumkan kambing untuk berbagi air sumur dan mereka dengan sukarela membagikan air tersebut kepadanya. Kemudian nabi Musa memberikan air minum untuk ternak Layya dan Shafura. Pendapat kedua, orang-orang yang menguasai sumur dengan sengaja menutup mulut sumur dengan batu besar agar ternak lain tidak bisa minum dari air sumur tersebut. Batu besar yang dijadikan penutup hanya bisa dipindahkan oleh sepuluh orang. Nabi Musa as dengan mudah memindahkan batu tersebut.
Atas bantuan Nabi Musa as, kedua perempuan yang ditolong merasa kagum. Mereka melaporkan bantuan tersebut kepada ayah mereka. Hal ini disebut dalam ayat 25:
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Ketika (Musa) mendatangi ayahnya dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia berkata, “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.”
Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menggambarkan perempuan yang datang kepada Nabi Musa as dengan berjalan menunduk dan menutup wajahnya dengan baju yang dikenakan karena saking malunya perempuan itu. Kemudian masih menurut al-Thabari, sosok ayah dari kedua putri bernama Layya dan Shafura masih diperdebatkan.
Riwayat dari Abu Mu’awiyah mengatakan bahwa ayah mereka bernama Yatsrun, keponakan dari saudara laki-laki Nabi Syu’aib. Sedangkan menurut keterangan dari al’Ala bin Abd al-Jabbar, Namanya adalah Yatsra, pemuka Madyan yang tidak ada kaitan dengan Nabi Syu’aib. Sedangkan keterangan lain dari Ibn Basyar mengatakan bahwa sosok ayah yang disebutkan dalam ayat adalah Nabi Syu’aib as.
Berbeda dengan al-Thabari yang meriwayatkan banyak keterangan terkait sosok ayah kedua perempuan dalam ayat, al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat secara tegas mengatakan bahwa sosok yang dimaksud dalam ayat adalah Nabi Syu’aib as. Lebih lanjut al-Qusyairi menerangkan bahwa ketika itu Nabi Syu’aib dalam kondisi kurang penglihatannya. Hal ini menurut al-Qusyairi karena Nabi Syu’aib terlalu banyak menangis. Tangisannya tersebut dipicu oleh rasa kerinduan Nabi Syu’aib as kepada Allah Swt.
Pada tiga ayat berikutnya dijelaskan pada akhirnya Nabi Musa as menikah dengan salah satu dari dua perempuan tersebut. Allah Swt berfirman:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Dia (Syekh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.”
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
“Dia (Musa) berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.”
Menurut al-Thabari, perempuan yang menikah dengan Nabi Musa as adalah Shafura, bukan Layya. Kemudian sebagaimana tertera dalam ayat, Nabi Musa as bekerja dengan Nabi Syu’aib untuk memelihara ternak hingga sepuluh tahun. Setelah selesai masa kontrak sepuluh tahun, Nabi Musa bersama istrinya berangkat dari Madyan menuju Mesir. Wallahu A’lam.