BerandaKisah Al QuranKisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud

Kisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud

Jika kita mendengar cerita pertempuran umat Islam di gunung uhud maka satu sahabat yang patut di apresiasi adalah Thalhah bin Ubaidillah. Ketika umat Islam dalam kondisi serangan hujan panah oleh orang kafir, dan Rasulullah saw menjadi sasaran empuknya, disanalah Thalhah sebagai tameng yang melindungi tubuh mulia Rasulullah saw.

Sejarah mengatakan bahwa hujan panah semua mengarah kepada Rasulullah saw. sehingga tubuh Nabi berlumuran darah. Ketika Tahlah bin Ubaidillah mengetahui bahwa Nabi saw. menjadi incaran sasaran panah orang kafir, ia melompat dan merangkul Nabi dengan tangan kirinya sedang tangan kananya diacungkan dengan pedang. Thalahah ingin menjadikan tameng badanya Nabi dari tusukan panah.

Baca Juga: Kisah Sihir dalam Alquran dan Hadis

Ketika itu semua orang kafir mengira bahwa Rasulullah telah wafat. Rasul yang berlumuran darah lalu digendong Thalhah menaiki bukit di ujung medan pertempuran. Thalhah mencium tangan Nabi, tubuh dan kaki Nabi Muhammad Saw. seraya berkata “Saya pertaruhkan segala-galanya untuk engkau wahai Rasulullah”. Nabi Saw. tersenyum dan berkata “Engkau benar-benar Thalhah yang shaleh”. Surga Allah pasti telah tersedia untuk mu.

Abu Bakar As-Shiddiq menghitung sekitar ada 70 panah yang menancap di tubuh Thalhah dan jari tanganya sampai putus. Inilah yang membuat Abu Bakar mengatakan “setiap teringan perang Uhud, saya pasti teringat Thalhah bin Ubaidillah. Rasulullah Saw. juga bersabda “Barang siapa yang ingin melihat orang syahid tapi masih hidup dan berjalan di bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah. (Moh. Ali Aziz, Bersiul di tengah Badai, hal. 25).

Al-Quran Menceritakan Thalhah bin Ubaidillah

Tidak hanya pakar sejarah yang menceritakan kisah Thlahah bin Ubaidillah, akan tetapi Allah Swt. sendiri mengapresiasi Thlahah dan mengabadikan kisahnya didalam QS. Al-Ahzab: 23. Allah Swt berfirman:

مِنَ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ رِجَالٌ صَدَقُوۡا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيۡهِ‌ۚ فَمِنۡهُمۡ مَّنۡ قَضٰى نَحۡبَهٗ وَمِنۡهُمۡ مَّنۡ يَّنۡتَظِرُ‌ ۖ وَمَا بَدَّلُوۡا تَبۡدِيۡلًا

Artinya: Diantara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka pula ada yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah janjinya.

Al-Alusi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud orang-orang mu’min disana adalah Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Said bin zaid, Hamzah paman Rasulullah Saw; Musy’ab bin Umair dan lain sebagainya. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud disana adalah empat shabat yakni Ustman bin Affan, Thalhah, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Musy’ab bin Umair radhiyallahuanhum.

Sahabat-sahabat Nabi Saw. tersebut sama-sama berikrar “jika suatu saat kita berperang menjadi pasukan Nabi, kita ingin mati sebagai syuhada’. Ternyata dua di antaranya (Hamzah bin Abdul Muthalib dan Musy’ab bin Umair) benar-benar gugur dan dua lainya masih hidup (Ustman bin Affan dan Thalhah bin Ubaidillah) dan pulang bersama Rasulullah Saw.

Thalhah bin Ubaidillah berjanji untuk keikut sertaan di setiap peperangan umat Islam.  Tercatat dalam sejarah bahwa hanya perang badar Thalhah absen, itupun karena perintah Rasulullah Saw. untuk mengintai kaum Quraisy yang memasuki daerah Al-Haura.

Pantas Al-Quran menceritakan Thalhah sebagai hamba yang mukmin, ternyata ia bukan hanya seorang tentara sejati kaum Muslim, tapi juga orang kaya yang suka berderma. Pernah suatu saat ia bertanya kepada istrinya, Su’da bin Auf, “Istriku, kita gunakan apa lagi harta kita?” Istrinya menjawab, “Berikan kepada fakir miskin” Esok harinya, semua hartanya telah habis disedekahkan.

Thalhah bin Ubaidillah mendapat status Syahid dari Nabi meskipun ia tidak gugur dalam peperangan. Thalhah mendapat jaminan surga oleh Nabi Saw. karena 70 panah yang menancap di tubuhnya. Andai Thlahah tidak menjadi tameng Rasulullah Saw. entah bagaimana keadaan Rasulullah pada saat itu.

Pelajaran dari Kisah Thalhah bin Ubaidillah

Moh. Ali Aziz dalam bukunya Bersiul di Tengah Badai hal. 28 memaparkan bahwa setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil dari kisah Thalhah bin Ubaidillah.

Baca Juga: Pentingnya Menjaga Silaturahmi, Belajar dari Kisah Misthah bin Atsatsah

Pertama dalam pengertian luas untuk menjadi syahid tidak harus dengan mati di medan perang. Jika kita mewakafkan diri untuk mengurus masjid, berjuang untuk memajukan pendidikan Islam, membiayai dan memberi makan fakir misikin, dan menghidupkan ajaran Nabi Muhammad Saw. lalu kita wafat dan dalam keadaan sedang melaksanakan semua tugas-tugas itu, maka kita juga termasuk sebagai syuhada’.

Ali Aziz menegaskan bahwa berdasarkan kemuliaan syuhada tersebut, sebaiknya tidak boleh ada istirahat untuk berjuang. Semakin kita tambah umur maka kita harus semakin tinggi intensitas dalam perjuangan Islam.

Kedua cinta kepada Nabi Muhammad Saw. tidaklah cukup hanya dengan bershalawat. Cinta Nabi memerlukan bukti. Maka lihat Thalhah bin Ubaidillah yang rela tertusuk 70 panah demi bukti cintanya kepada Nabi. Semua kekayaannya juga dihabiskan untuk infak dijalan Allah.

Oleh sebab itu, disamping memperbanyak shalawat, kita harus menunjukkan cinta kita kepada Nabi dengan mengorbankan harta, pikiran dan tenaga demi kelangsungan ajaran Nabi Muhammad saw. Wallahualam

Abdullah Rafi
Abdullah Rafi
Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...