Kisah Thalut Dalam Al-Quran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa

Kisah Thalut
Kisah Thalut dalam Al-Quran

Kisah Thalut dalam Al-Qur’an adalah salah satu kisah yang mengajarkan nilai kepahlawanan. Sebab ia hadir sebagai representasi sosok pahlawan bangsa Israil di tengah kemerosotan sosial-politik dan keagamaan mereka pasca wafatnya nabi Musa as. Terlebih lagi, kala itu mereka berada di bawah cengkeraman kekuasaan bangsa Amaliqah atau Balthatha yang dipimpin oleh raja Jalut.

Kisah Thalut bermula ketika bani Israil mengalami masa suram dan gelap selepas kepergian nabi Musa. Pada waktu itu terjadi krisis keimanan dan perjuangan di kalangan mereka, terutama ketika Yusya bin Nuh – seorang pengikut setia nabi Musa as dan pemimpin agama dan sosial bani Israil – wafat. Akibatnya, mereka terpuruk, kehilangan arah, dan tujuan seperti domba tanpa pengembala.

Tanpa sosok pemuka agama yang berpengaruh, masyarakat Israil mulai melupakan agama. Mereka melakukan berbagai dosa dan penyimpangan yang semestinya tidak dilakukan seperti membunuh nabi. Tanpa sosok pemimpin, bani Israil juga menjadi lemah dan akhirnya terjajah oleh bangsa lain, yaitu dinasti Bukhtanashar.

Dinasti Bukhtanashar terkenal sangat kejam kepada bani Israil. Dikisahkan bahwa mereka menahan pembesar bani Israil, menculik anak-anak, menarik upeti semena-mena dan berbagai tindakan yang membuat umat nabi Musa ini sengsara. Kebebasan hidup bangsa Israil direnggut hingga tak tersisa, bahkan mereka diperlakukan layaknya budak.

Di tengah penindasan tersebut, bani Israil memohon kepada Allah Swt untuk mengutus seorang nabi yang dapat menyelamatkan mereka. Padahal sebelumnya mereka selalu membunuh para nabi dan keturunannya. Doa mereka ini kemudian dijawab oleh Allah Swt dengan mengutus seorang nabi bernama Syamwil (Samuel), seorang keturunan terakhir dari keluarga Lawi.

Thalut Hadir Sebagai Representasi Sosok Pahlawan Bangsa Israil

Singkat cerita, Samuel kemudian diangkat menjadi nabi. Ia diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengemban dan meneruskan risalah nabi Musa as. Dengan kehadiran Samuel, bangsa Israil berharap mereka dapat mengakhiri penindasan dinasti Bukhtanashar. Untuk memenuhi tujuan tersebut, suatu hari mereka meminta Samuel agar mengangkat seorang pemimpin sebagai langkah taktis melawan Jalut.

Mereka berkata, “…Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.” Nabi (Samuel) mereka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?…” (QS. Al-Baqarah [2]: 246).

Kemudian Samuel mengangkat Thalut – seorang yang saleh dan bijaksana – sebagai pemimpin bani Israil. Namun mereka malah tidak setuju dan berkata, “…Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi Samuel) menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik…” (QS. Al-Baqarah [2]: 247).

Mereka sangat kesal dengan terpilihnya Thalut – seorang penggembala miskin dan bukan keturunan Lawi – sebagai pemimpin. Sebab dalam tradisi bangsa Israil, para nabi dan raja harus berasal dari golongan bangsawan dan keturunan rumpun kenabian. Keengganan mereka ini baru mereda setelah nabi Samuel menyebutkan bukti the facto kepemimpinan Thalut, yakni sebuah Tabut.

Tabut merupakan peti kayu berlapis emas tempat menyimpan Taurat. Sebelumnya Tabut – yang diyakini oleh bangsa Israil membawa ketenangan dan kemakmuran – hilang akibat direbut oleh tentara dinasti Bukhtanashar. Lalu malaikat mengembalikannya kepada Thalut sebagai bukti bahwa ia telah dipilih menjadi pemimpin kaumnya.

Segera setelah pelantikannya, Thalut mengumpulkan seluruh kekuatan bangsa Israil, melatih, dan menyiapkan taktik pertempuran bagi mereka. Diperkirakan pada saat itu ada sekitar 70 ribu pemuda yang berposisi sebagai prajurit dan Thalut sebagai jendral utama. Ia adalah representasi sosok pahlawan bangsa yang memimpin pasukan dengan gagah untuk melawan raja Jalut yang zalim.

Pasukan bani Israil kemudian bertolak menuju medan peperangan melalui padang sahara yang kering dan tandus. Di tengah perjalanan – diantara Yordania dan Palestina – mereka bertemu sebuah sungai yang penuh dengan air jernih. Melihat sungai tersebut, mereka sangat bersuka cita dan ingin segera melompat ke dalamnya.

Raja Thalut yang melihat kondisi pasukannya tersebut serta atas ilham dari Allah Swt memperingatkan mereka agar tidak minum secara berlebihan karena itu dapat mempengaruhi kekuatan pasukan bani Israil. Jika mereka meminum air sungai tanpa penuh kesiagaan atau secara berlebih-lebihan, maka hampir dipastikan sesudahnya mereka akan terkapar atau bisa jadi disergap musuh (Qashash al-Anbiya: 709).

Thalut berkata, “…Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan….” (QS. Al-Baqarah [2]: 247). Tetapi perintah Thalut ini tidak dihiraukan oleh pasukannya kecuali segelintir orang termasuk nabi Daud muda yang sat itu belum diangkat menjadi nabi.

Sebagian besar pasukan bani Israil yang tidak mematuhi perintah Allah Swt mundur karena takut terhadap pertempuran. Lantas Thalut melanjutkan perjalanan dengan ditemani pasukan kurang lebih sejumlah 300 orang prajurit. Dalam hal ini, Thalut kemudian hadir sebagai sosok pahlawan bagi bangsa Israil dengan semangatnya yang menggebu-gebu. Ia berkata, “…Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah…”

Setelah sekian lama, pasukan Thalut akhirnya berjumpa dengan bala tentara Jalut yang jumlahnya berkali-kali lipat. Ketika melihat mush, Thalut dan pasukannya berdoa dan memohon pertolongan Allah Swt. Mereka serempak berkata, “…Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir…”

Sebelum pertempuran dimulai akan diadakan duel satu lawan satu dari setiap perwakilan pemimpin pasukan. Ini adalah sebuah tradisi peperangan yang turun temurun kala itu. Jalut kemudian dengan sombong menantang semua pasukan Thalut. Namun ketika Thalut hendak menjawab tantangan tersebut, seorang pemuda gagah berani – yakni nabi Daud – meminta izin untuk melawan Jalut.

Dengan izin Allah, Daud as dapat mengalahkan dan membunuh Thalut. Dikisahkan bahwa ia membunuh Jalut dengan ketapel yang selalu dibawanya sebagai senjata. Tiga buah batu meluncur deras ke kepala Jalut hingga ia tewas. Melihat kematian Jalut, bala tentaranya kehilangan arah dan akhirnya berhasil dikalahkan dengan mudah (Qashash al-Anbiya: 710).

Kisah Thalut dan bani Israil dalam Al-Qur’an ini diakhiri dengan informasi bahwa Allah telah memilih Daud sebagai nabi dan raja bagi bangsa Israil. Allh Swt berfirman, “…Allah memberinya (Dawud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.”

Kisah Thalut sebagai representasi sosok pahlawan bangsa Israil ini dapat ditemukan dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 246 hingga 251. Selain itu, perincian kisah tersebut juga dapat ditelusuri dalam Al-Kitab dengan inti kisah yang tidak jauh berbeda dari Al-Qur’an. Ibnu Katsir dalam buku Qashash al-Anbiya turut menceritakan secara rinci bagaimana kisah Thalut dan Jalut.

Dari kisah Thalut, kita dapat mempelajari beberapa hal, diantaranya: 1) Ketidaktaatan kepada Allah Swt dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang kemerosotan, kemunduran, dan kehancuran. 2) Ketika umat dalam masa kegelapan, maka dibutuhkan sosok pahlawan bang dan agama yang mampu membantu mereka keluar dari masa tersebut. 3) Tiada ada upaya kecuali atas izin dan kekuasaan Allah Swt. Wallahu a’lam.