BerandaKisah Al QuranKisah Tubba’ dan Kaumnya (Bagian 1)

Kisah Tubba’ dan Kaumnya (Bagian 1)

Salah satu kisah kaum terdahulu yang disebutkan dalam Alquran adalah kisah kaum Tubba’, sebagaimana dalam surah Addukhan ayat 37 dan surah Qaf ayat 14. Tubba’ sendiri bukanlah nama seseorang, melainkan gelar yang disematkan untuk seorang raja di Yaman yang memerintah wilayah Himyar, Saba’, dan Hadhramaut.

Menurut Ibnu Ishaq, Tubba’ yang dimaksud dalam Alquran adalah As’ad atau dipanggil dengan sebutan Abu Karb, yang pada waktu itu kekuasaannya sangat besar. (Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an, 726) Dalam Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7/326-327) , Tubba’ As’ad berkuasa atas kaumnya selama 326 tahun. Dan tidak ada pemimpin yang berkuasa di Himyar yang lebih lama darinya. Ia meninggal 700 tahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus.

Beberapa kisah menarik terkait Tubba As’ad yang terekam dalam sirah dan riwayat sebagaimana berikut;

Baca Juga: Kaum Madyan dalam Al-Qur’an: dari Asal Usul Penamaan Hingga Silsilah Keturunan

Mengurungkan niatnya untuk menghancurkan Madinah

Menurut Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah (hal. 13) diceritakan bahwa suatu waktu Tubba’ As’ad menuju Madinah dari arah timur. Selama perjalanan, ia merasa aman tanpa adanya gangguan. Maka dari itu, ia menjadikan anaknya sebagai wakil di situ. Namun tak disangka, ternyata anaknya dibunuh. Dari peristiwa inilah, ia bermaksud untuk menyerbu Madinah, menghabisi penduduknya, dan menebang pohon kurmanya. Akan tetapi, keinginan mereka berhasil dihalang oleh kaum Anshar di bawah komando Amru bin Thallah.

Selain itu, ternyata juga tersiar berita bahwa seorang lelaki dari Bani Adi bin Najjar yang bernama Ahmar telah membunuh pengikut Tubba’ sebab ia memotong pelepah kurma miliknya. Peristiwa ini tentu membangkitkan amarah kaum Tubba’, dan peperangan pun tak terbendung lagi. Dikisahkan bahwa pada siang hari Bani Adi bin Najjar memerangi pasukan Tubba’, sedangkan di malam hari Bani Adi menjamunya. Perilaku dan sikap mereka membuat Tubba’ merasa takjub.

Di tengah-tengah peperangan yang terjadi, datanglah dua orang Rabi Yahudi dari Bani Qaraidzah. Keduanya mendengarkan keinginan dari Tubba’ yang hendak membumihanguskan Madinah. Kedua Rabi tersebut berkata, “Tuan Raja jangan teruskan niat Tuan itu. Walaupun bersikeras, Tuan tidak akan mampu memasuki Madinah dan kami tidak bisa menjamin keselamatan Tuan dari azab.”

Tubba’ berkata, “mengapa demikian?”

Keduanya menjelaskan, “Madinah adalah tempat hijrah seorang nabi dari Quraish yang keluar dari Tanah haram pada akhir zaman. Kota ini akan menjadi rumah dan tempat tinggalnya.”

Tubba’ pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menghancurkan Madinah.

Baca Juga: Mengenal Istilah Kaum dan Umat dalam al-Quran, Samakah Keduanya?

Tubba’ adalah yang pertama kali menyelimuti Ka’bah

Menurut Ibnu Hisyam (hal. 14-15), Tubba’ dan kaumnya adalah penyembah berhala. Suatu saat, mereka melintasi Mekkah dalam perjalanan kembali Yaman. Ketika sampai di wilayah antara Usfan dan Amaj, mereka didatangi oleh sejumlah orang dari suku Hudzail bin Mudrikah yang berniat untuk membinasakan Tubba’.

Mereka berkata kepadanya, “Baginda Raja, maukah baginda kami tunjukkan gudang harta yang tidak diketahui oleh raja-raja sebelum baginda? Gudang itu berisi permata, zabarjad, yaqut, emas dan perak.”

Tubba’ menjawab, “Tentu saja.”

Mereka berkata, “Sebuah rumah di Mekkah yang disembah oleh penduduknya dan mereka melaksanakan ibadah di sana.”

Tentu saja ini hanya tipu muslihat mereka agar Tubba’ binasa. Sebab, siapapun yang lalim terhadap rumah (Ka’bah) itu pasti akan hancur. Akan tetapi ia terselamatkan, karena ia terlebih dulu meminta saran dari dua Rabbi Yahudi.

Keduanya menjelaskan kepada Tubba’ bahwa, “Sebenarnya mereka menghendaki kehancuran Tuan dan pasukan. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada rumah di muka bumi ini yang dijadikan Allah sebagai rumah-Nya, kecuali Baitullah. Jika melakukan apa yang mereka katakana, Tuan dan para pasukan Tuan pasti binasa.”

“Menurut kalian berdua, apa yang harus aku lakukan setibanya di situ?”

“Tuan harus mengerjakan seperti yang dikerjakan oleh penduduknya, yakni berthawaf, mengagungkan, memulian, mencukur rambut dan bersikap merendah sampai keluar dari situ.”

Tubba’ bertanya, “Lalu apa yang menghalangi kalian untuk mengunjunginya?”

Keduanya menjawab, “Demi Allah, Ka’bah adalah rumah Ibrahim, nenek moyang kami. Juga sebagaimana berita yang telah kami kabarkan kepada Tuan tadi. Namun, penduduk Mekkah menodai kehormatan rumah itu dengan berhala-berhala yang mereka letakkan di sekelilingnya dan darah yang mereka tumpahkan di sisinya. Mereka adalah orang-orang najis pelaku kemusyrikan.”

Baca Juga: Belajar dari Kehancuran Kaum ‘Ad dan Kota Iram

Tubba’ menerima saran dan nasihat dari kedua Rabbi tersebut. Ia pun bertolak menu mekkah untuk melakukan thawaf, menyembelih hewan kurban untuk dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar dan menghadiahkan madu. Ia menetap di sana selama enam hari.

Saat berada di sana, Tubba’ menutupi Ka’bah dengan anyaman pelepah kurma. Namun, ia menggantinya dengan kain ma’afir setelah mendapatkan mimpi agar menutupi Ka’bah dengan yang lebih baik dari pelepah kurma. Selepas itu, ia bermimpi Kembali agar menutupinya dengan yang lebih baik dari pada itu. Ia pun menyelubungi Ka’bah dengan kain mula’ dan washail yakni kain tenah bergaris-garis khas Yaman. Ia juga membuat pintu ka’bah lengkap dengan kuncinya.

Sejak saat itulah tradisi menutupi Ka’bah dengan kain atau kiswah mulai diterapkan. Tubba’ melarang orang menyembelih kurban menaruh bangkai ataupun membuang kain-kain bekas darah haid di Ka’bah. Ia juga berpesan kepada para gubernur dari kabilah-kabilah agar terus mempertahankan tradisi itu serta selalu menjaga kesucian Ka’bah.

Muhammad Faishal Haq
Muhammad Faishal Haq
Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. Pegiat kajian keislaman dan kealquranan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...