BerandaUlumul QuranKlasifikasi Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat, Begini Penjelasannya

Klasifikasi Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat, Begini Penjelasannya

Al-Qaradhawi mengklasifikasikan ayat menjadi tiga macam, yaitu 1) muhkam secara mutlak; 2) mutasyabihat secara mutlak; 3) muhkam dalam satu segi dan mutasyabihat dari segi yang lain. Adapun mutasyabihat menurut al-Raghib diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

  1. Mutasyabihat dari segi lafal. Ia dibagi menjadi dua yaitu, lafal yang merujuk pada lafal yang jauh atau isytarak dan lafal yang merujuk pada jumlah kalam murakab (majemuk). Pertama, kesamaran dalam lafal mufrad. Lafaz mufrad yang artinya tidak jelas, baik disebabkan oleh lafalnya yang gharib (asing) maupun musytarak (bermakna ganda). Termasuk harf al-muqattha’ah di awal surah.

Contoh dalam Q.S Abasa: 31 وَفَٰكِهَةٗ وَأَبّٗا (dan buah-buahan serta rerumputan) lafaz ابا  jarang dijumpai dalam Al-Quran (gharib). Makna lafal tersebut dijelaskan oleh ayat berikutnya: مَّتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِأَنۡعَٰمِكُمۡ (untuk kesenangan kalian dan binatang ternak kalian) seperti bayam, kangkung, dan sebagainya yang disenangi manusia dan binatang ternak.

Kedua, kesamaran dalam lafaz murakkab. Disebabkan karena terlalu ringkas, panjang atau luas dan susunannya yang tidak runtut. Sehingga sulit untuk dipahami maksudnya. Contoh yang susunannya tidak runtut: Q.S. Al-Kahfi ayat 1-2,Kata (عوجا) ‘iwajan/bengkok menyifati sesuatu yang immaterial. Thabathaba’i berpendapat bahwa bila huruf (ع) ‘ain pada kata itu di-fathah-kan sehingga berbunyi (عوج) ‘awaj, maka maknanya adalah sesuatu yang bengkoknya terlihat dengan mudah, dan bila di-kasroh-kan seperti bunyi ayat ini (عوج) ‘iwaj, maka ia adalah kebengkokan yang sulit terlihat dan memerlukan pemikiran yang dalam untuk mengetahuinya.

Jika pendapat ini diterima, maka itu berarti jangankan kebengkokan yang jelas, yang sulit ditemukan pun tidak dapat terdapat dalam Al-Quran. Dalam artian, walau dibahas dan diteliti untuk dicari kesalahannya pasti tidak akan ditemukan. Ada juga yang memahami kata ‘iwajan dalam arti tidak lurus lagi tidak sempurna.

Baca juga: Ketahui Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabihat dalam Al-Quran

Dengan demikian, dinafikannya kebengkokan bagi Al-Quran berarti segala sesuatu yangberkaitan denga kitab suci itu lurus dan sempurna bukan hanya pada redaksi atau makna-maknanya, tetapi juga tujuan dan cara turunnya, serta siapa yang membawa turun (Malaikat Jibril a.s) dan yang menerimanya (Nabi Muhammad saw).

Demikian pemahaman ini karena redaksi ayat diatas menyatakan lam yaj’allahu ‘iwajan / tidak membuat padanya kebengkokan bukannya menyatakan lam yaj’al fiihi ‘iwajan / tidak membuat di dalamnya kebengkokan sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Misbah.

  1. Mutasyabihat dari segi makna. Mutasyabih ini terkait dengan sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari kiamat dan berbagai sifat yang tidak tergambarkan oleh indera kita.

Terjadinya ayat-ayat mutasyabihat karena adanya kesamaran pada makna ayat, misalnya makna sifat Allah dan makna keadaan hari kiamat, kenikmatan surga, atau siksa neraka adalah firman Allah yang telah disebutkan dalam Surat al-Anbiya ayat 47, Surat Muhammad ayat 15, dan Surat Hud ayat 106.

Rasio manusia tidak bisa menjangkau semua itu, sehingga makna-maknanya sulit ditangkap. Dalam konteks surga, pengertian tersebut bertentangan dengan hadist Rasulullah:

مَا لَاعَيْنٌ رَأَيتْ وَلَا اُذٌنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ فِيْ قَلْبِ الْبَشَرِ

Sesungguhnya surga itu tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah tergores dalam hati manusia

  1. Mutasyabihat dari segi lafal dan makna. Kategori ini dapat dibagi menjadi lima yaitu: pertama, segi kamiyah seperti umum dan khusus. Kedua, dari segi kaifiyah seperti wajib dan sunah. Ketiga, dari segi zaman seperti nasikh dan mansukh. Keempat dari segi makan seperti perkara yang berhubungan dengan ibadah jahiliyah dan yang telah ada di Arab. Kelima, dari segi syarat yaitu sesuatu yang menjadikan perbuatan itu baik atau cacat.

Selain tiga klasifikasi ayat-ayat mutasyabihat di atas, Al-Qattan mempunyai pendapat yang lain. Ia menjelaskan bahwa ayat muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu segi pemahaman (wajah) dan maksudnya dapat diketahui secara langsung. Contoh ayat muhkam adalah ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal dan haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.

Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah, mengandung banyak segi pemahaman (wajah) dan memerlukan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.

Baca juga: Ini Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsirnya

Adapun Nasr Hamid Abu Zaid dalam Tekstualitas Al-Quran, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an mempunyai pemahaman yang lebih ringkas. Menurutnya, ayat muhkam merupakan ayat yang jelas dan nyata serta tidak memerlukan ta’wil, sementara ayat mutasyabih adalah ayat yang ambigu dan membutuhkan ta’wil.

Pendapat Abu Zaid dalam Menalar Firman Tuhan Wacana Majaz dalam al-Qur’an Menurut Mu’tazilah ini, selaras opini yang digunakan oleh Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, ayat muhkam merupakan ayat yang langsung dapat dicerna oleh akal dengan hanya melihat teksnya. Sementara ayat yang tidak dapat langsung dicerna oleh akal dikategorikan sebagai mutasyabih.

Dari opini-opini tersebut, Fikria Najitama dalam Diskursus Muhkam dan Mutasyabih dalam Tafsir dapat mencatat bahwa pendapat yang muncul dalam memandang persoalan muhkam-mutasyabih mempunyai kerangka yang berbeda-beda. Namun kalau diklasifikasikan, perbedaan tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga macam.

Pertama, pendapat yang berusaha memandang persoalan muhkam-mutasyabih dari aspek interpretasi terhadap ayat-ayat. Core-nya di sini adalah wujud teks ayat-ayat Al-Quran, apakah langsung dapat dipahami atau tidak. Jika langsung dapat dipahami, maka dapat digolongann sebagai muhkam. Apabila tidak, maka ia membutuhkan takwil dan tidak menutup kemungkinann diklasifikasikan dalam mutasyabih. Pendapat yang merepresentasikan hal ini adalah al-Qaradawi, al-Qattan, ar-Ragib, Abu Zaid, dan  Mu’tazilah.

Kedua, pendapat yang lebih menekankan pada aspek substansial ayat-ayat Al-Quran. Dalam konteks ini, kandungan teks ayat Al-Quran. Pendapat ini dipresentasikan oleh Ibnu Abbas, ‘Ali bin Abi Talhah, Syahrur dan Rizal Panggabean.

Ketiga, pendapat yang berupaya melihat dari perspektif aplikasi perintah (pengamalan)  ayat-ayat Al-Quran. Pijakan pendapat ini terletak pada pengamalan ayat. Menurut Az-Zarqani, pendapat As-Suyuti termasuk dalam kategori ini. Di samping itu, Ali bin Abi Talhah juga bisa dikategorikan dalam kelompok ini. Demikianlah pendapat mengenai klasifikasi ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat di atas. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...