BerandaUlumul Quran3 Klasifikasi Kitab Tafsir dan Perkembangan Diskursusnya dalam Pandangan Walid Saleh

3 Klasifikasi Kitab Tafsir dan Perkembangan Diskursusnya dalam Pandangan Walid Saleh

Dalam buku The Studi Qur’an: A New Translation And Commentary yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr dan kawan-kawan, Walid Saleh – seorang sarjana barat dalam bidang islamic studies asal Universitas Toronto – menulis sebuah artikel berjudul Quranic Commentaries. Pada artikel tersebut, ia berbicara mengenai sejarah dinamika tafsir Al-Qur’an dan bagaimana posisinya dalam tradisi intelektual Islam.

Tradisi penafsiran Al-Qur’an, tafsir, adalah salah satu literatur terbanyak dalam sejarah intelektual muslim, tepatnya nomor dua setelah literatur hukum (fikih). Setiap generasi muslim dari berbagai kawasan Islam secara konsisten memproduksi tafsir Al-Qur’an yang mencerminkan isu-isu fundamental yang dihadapi oleh masyarakat mereka. Akibatnya, topik yang muncul untuk didiskusikan ada beragam dan hampir tak terbatas.

Tafsir merupakan genre yang sulit diprediksi. Tidak seperti islamic sciences yang metode dasarnya telah tersistematisasi, tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak pernah menetapkan aturan dengan bulat bagaimana cara untuk memahami Al-Qur’an. Pada Islam abad pertengahan misalnya, terdapat lebih dari satu teori hermeneutika (cara memahami). Bahkan, tak jarang sebuah kitab tafsir kala itu menggunakan lebih dari satu metode penafsiran.

Di antara kecenderungan sarana muslim klasik – menurut Walid Saleh – adalah persaingan selalu mengarah ke ekstensif perdebatan antara kelompok teologi atau background sekolah. Meskipun begitu, pada periode klasik, tradisi tafsir terlihat jauh lebih menyatu dibanding tradisi penafsiran pada periode modern. Karena banyak tafsir beraliran modern yang meninggalkan doktrin Islam dan tradisi metodologi klasik.

Walid Saleh menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pendirian ideologis yang mereduksi seluk-beluk wahyu merupakan kecenderungan manusia di dunia sekarang. Pendirian ideologis di sini bukan hanya terbatas pada doktrin-doktrin teologis, tetapi juga semua ideologi yang – mungkin – membatasi makna Al-Qur’an dalam diri seorang mufasir, termasuk bias-bias gender, pengaruh politik, dan falsafah hidup.

Salah satu permasalahan yang ditekankan Walid Saleh ketika berbicara mengenai quranic studies, yakni sulitnya menilai kitab-kitab tafsir klasik, khususnya periode pasca al-Thabari. Oleh karena itu, sebagian besar studi ilmiah Barat yang tersedia saat ini dikhususkan untuk fase paling awal tradisi penafsiran Al-Quran, yakni periode pra-al-Ṭabarī (d. 310/923). Hanya Ada sedikit studi tentang literatur tafsir klasik setelah itu.

Hal serupa disebutkan oleh El Shamsy – sebagaimana dikutip Annas Rolli Muchlisin – bahwa Tafsir al-Thabari sendiri bahkan tidaklah dikenal sampai tahun 1890an, lalu naskahnya ditemukan dan baru dicetak pada tahun 1903. Hal yang sama juga terjadi pada teks-teks ‘babon’ Islam klasik lainnya, seperti karya Sibawaih (w. 796), al-‘Asy’ari (w. 936), al-Makki (w. 998), al-Syafi’i (w. 820), dan Ibn Khaldun (w. 1406).

Kategori Kitab Tafsir dalam Pandangan Walid Saleh

Sejak era klasik hingga era modern, telah lahir berbagai macam tafsir Al-Qur’an dengan beragam metode penafsiran. Menurut Walid Saleh, secara umum Karya-karya tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan fungsi dan tingkat pemahamannya, yakni tafsir ensiklopedis, tafsir madrasah, khasiyah tafsir madrasah.

Kategori kitab tafsir ini berbeda dengan kategorisasi yang selama ini dilakukan oleh para sarjana barat berdasarkan metode atau konten. Misalnya, Ignaz Goldziher yang membagi tradisi komentar ke dalam mode-mode diskrit seperti tata bahasa, doktrinal, mistik, sektarian, dan modern. Kategori seperti ini – menurut Saleh – memiliki masalah-masalah tertentu yang sulit dihindari.

Kategori kitab tafsir yang pertama adalah kitab tafsir ensiklopedis. Tafsir ini adalah kitab tafsir yang ditulis pada saat-saat penting dalam sejarah dan biasanya merupakan akumulasi dari tren-diskursus di masanya. Ia berfungsi sebagai gudang material dan biasanya sangat  rigit berkenaan pandangan-pandangan tertentu dan bertujuan untuk memasukkan sebanyak mungkin pandangan baru.

Di antara tokoh-tokoh utama yang menulis karya-karya tersebut adalah al-Māturīdī, al-Ṭabarī, al-Tsaʿlabī, al-Ṭūsī, al-Ṭabrisī, Abu al-Futūḥ al-Rāzī (w. 525/1131), Muḥammad bin Aḥmad al-Qurṭubī (w. 671/1272), Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Biqā’ī, dan Abū Ḥayyān al-Gharnāṭī, dan lain-lain. Mereka menulis karya multi-volume yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan perkembangan utama dalam tradisi. Tafsir semacam ini dalam tradisi muslim disebut sebagai muṭawwalāt al-tafsir atau “karya yang panjang.”

Kategori kitab tafsir yang kedua adalah kitab tafsir madrasah atau al-muktasar (ringkasan). Tafsir ini biasanya didasarkan pada karya ensiklopedis atau ditulis dengan metode tertentu dalam pikiran, seperti hanya memberikan interpretasi Sufi ke seluruh Al-Qur’an. Di antara toloh yang menulis komentar bergaya madrasah adalah Naṣr bin Muḥammad al-Samarqandī (w. 373/983), al-Sulamī, al-Wāḥidī, al-Zamakhsharī, dan al-Bayḍāwī.

Kategori kitab tafsir yang ketiga adalah ḥāshiyyah pada tafsir gaya madrasah. Dua karya yang biasanya dipoles adalah karya al-Zamakhsharī dan al-Bayḍāwī. Sangat disayangkan bahwa tidak ada satu studi pun dalam kesarjanaan yang pernah dikhususkan untuk hal-hal ini. Tokoh-tokoh utama dari tradisi skolastik, seperti Saʿd al-Dīn al-Taftāzānī (wafat 792/1390), meninggalkan banyak gambaran tentang kedua komentar tersebut, dan ini adalah sumber penting bagi sejarah budaya Islam klasik.

Apapun kategorinya, tafsir selalu menjadi pusat sejarah intelektual Islam. Dalam dunia Islam tradisional, Al-Qur’an telah dan dipahami melalui bahasa tafsir, dan sebagian besar umat Islam meyakini bahwa makna Al-Qur’an yang sebenarnya adalah sebagaimana makna yang dikatakan tafsir. Akibatnya, tafsir seakan-akan sejajar dengan Al-Qur’an itu sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut, bisa dikatakan bahwa tafsir dalam sejarah agama Islam adalah hal yang terpenting.

Hingga saat ini, tafsir masih memainkan peran sentral dalam mendefinisikan pandangan religius banyak Muslim. Ini adalah salah satu bidang paling aktif didiskusikan dalam islamic studies dan banyak diskusi di antara Muslim kontemporer terjadi dalam karya tafsir. Sayangnya menurut Walid Saleh, studi ilmiah tentang tafsir modern telah mati di Barat, dan ia tidak memiliki gambaran umum tentang perkembangan diskursus tafsir selama dua ratus tahun terakhir.

Sebagian besar sarjana Islam modern tidak begitu memperhatikan apa yang diterbitkan dari karya klasik dan menganggap bahwa untuk mempelajari tafsir modern seseorang hanya perlu mempelajari karya-karya kontemporer. Masalah dengan sikap ini adalah bahwa ia mengabaikan kitab tafsir klasik sebagai inspirasi untuk karya modern dan sebagai karya “ideologis” dalam hak mereka sendiri. Pemahaman ini membuat diskursus tafsir klasik menjadi terpinggirkan Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah at-Taubah ayat 122_menuntut ilmu sebagai bentuk cinta tanah air

Surah at-Taubah Ayat 122: Menuntut Ilmu sebagai Bentuk Cinta Tanah Air

0
Surah at-Taubah ayat 122 mengandung informasi tentang pembagian tugas orang-orang yang beriman. Tidak semua dari mereka harus pergi berperang; ada pula sebagian dari mereka...