BerandaUlumul QuranKonsep Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha

Konsep Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha

Dalam ranah Ulumul Qur’an, nasakh secara mengandung beberapa makna. Pertama, diartikan sebagai izalatun yakni penghapusan. Pemaknaan ini diambil dengan merujuk pada QS. Alhajj [22]: 52. Kedua, nasakh juga dipahami dengan tabdil atau pergantian. Hal ini bisa diketahui dengan melihat pada QS. Alnahl [16]: 101.

Sementara yang ketiga, para ulama juga memahami nasakh dengan makna naqlun, yang berarti menukil atau memindahkan. Pemaknaan ini didasarkan dengan melihat QS. Al-Jasiyah [45]: 29 yang menjelaskan bahwa Allah memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran atau catatan amal (Mabahis fi Ulum al-Qur’an, 259-260). Sementara istilah untuk sesuatu atau ayat yang dihapus, diganti, dipindahkan atau dibatalkan adalah mansukh.

Sebagaimana diketahui, ulama klasik memahami istilah nasakh dalam Alquran dengan makna yang sangat luas, bahkan mereka ada yang hanya memahaminya dalam skema kebahasaan saja, sehingga menghapus, walaupun sedikit dari kandungan ayat maka telah dianggap sebagai nasakh.

Baca Juga:Pandangan Mahmûd Muḥammad Thahâ tentang Makiyah Dan Madaniyah 

Atas dasar itu kemudian para ulama mengklasifikasikan proses nasakh dalam Alquran, antara lain; ayat yang mengecualikan atau men-takhsis ayat yang lain, ayat yang menjelaskan batas akhir pengamalan sebuah ayat, ayat yang kandungannya membatalkan kebiasaan buruk masa Jahiliyyah, penjelasan suatu ayat terhadap ayat lain, pengalihan makna sebuah ayat (ta’wil), ayat yang memerintahkan berperang menghapus ayat yang memerintahkan bersabar dsb (Kaidah Tafsir, 241-242).

Namun berbeda dengan definisi nasakh yang telah dikonsepsikan oleh ulama klasik pada umumnya, cendekiawan muslim asal Sudan yang bernama Mahmud Muhammad Thaha hadir dengan gagasan teori nasakh yang cenderung baru.

Hal ini disebabkan karena ia menarasikan bahwa ayat Alquran memiliki gradasi makna dan tingkatan tersendiri, sehingga tidaklah mungkin jika ayat Alquran bisa dihapus dengan ayat yang lainnya (Al-Qur’an wa Musthafa Mahmud wa Al-Fahm Al-Ashri, 7). Tentu, gagasan Thaha yang demikian itu akan berimplikasi pada penginterpretasian ayat Alquran yang jauh berbeda dengan perspektif ulama pada umumnya.

Baca Juga: Urgensi Mengetahui Ilmu Nasakh untuk Memahami Al-Quran

Konsepsi Teori Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha

Di antara dalil-dalil yang menjelaskan tentang teori nasakh di antaranya dalam QS. Albaqarah [2]: 106;

مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Thaha memahami ayat tersebut dengan menginterpretasikan ulang beberapa makna, di antaranya ungkapan “ayat mana saja yang Kami nasakh”, diinterpretasikan dengan ayat apa saja yang Kami batalkan dan Kami tarik keberlakuannya. Ungkapan “atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya”, dipahami dengan makna bahwa Kami tunda keberlakuan hukumnya.

Selanjutnya, pada ungkapan “akan Kami gantikan dengan yang lebih baik”, dipahami oleh Thaha dengan makna akan Kami ulang ayat tersebut tatkala waktunya telah tiba. Dengan demikian, teori nasakh yang digagas oleh Thaha bukanlah menggugurkan atau menghapus ayat sama sekali, namun proses penangguhan ayat sambil menunggu waktu yang tepat, sehingga ayat yang dinasakh bisa diberlakukan kembali.

Baca Juga: Makkiy dan Madaniy dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zaid

Dalam hal ini, Thaha mengklasifikasikan ayat-ayat Alquran menjadi dua model, yakni ashl (dasar) dan furu’ (cabang). Ayat-ayat ashl merupakan konotasi dari ayat Makiyyah dan ayat-ayat furu’ merupakan ayat Madaniyyah.

Thaha memaparkan pula bahwa di abad ke-7, dengan konstruksi kebudayaan yang berlaku, ayat cabang dalam Alquran menasakh keberadaan ayat dasar. Namun, ketika ditarik pada konteks kehidupan misalnya di abad ke-20, maka ayat-ayat cabang tersebut sudah tidak lagi relevan, sehingga perlu adanya penasakhan kembali terhadap ayat-ayat cabang. Maka, yang demikian inilah dalam gagasan Thaha disebut dengan evolusi syari’ah (Arus Balik Syari’ah, 16).

Sementara itu, perlu juga diketahui bahwa dalam perspektif Thaha, ayat-ayat makiyyah dipahami lebih memiliki nuansa kebebasan tanggung jawab (ayat al-mas’uliyyah), hal ini berbanding terbalik dengan kandungan ayat-ayat madaniyyah yang cenderung berupa arahan-arahan (qur’an al-washaya). Lebih dalam lagi,

Thaha menganggap bahwa ayat-ayat makiyyah mengandung ajaran pokok (ashl) dari teologi Islam, sebab mengandung prinsip-prinsip umum yang bersifat universal, di lain sisi, beliau juga mengungkapkan bahwa ayat-ayat madaniyyah merupakan ayat yang memuat percabangan dari pokok ajaran Islam (furu’) (Ar-Risalah Ats-Tsaniyah min al-Islam, 130-134).

Dengan konstruksi kebudayaan yang ada di era sekarang, Thaha semacam ingin memunculkan ajaran pokok dari Islam dengan menasakh kembali ayat cabang yang sebelumnya telah menasakh ayat dasar pada abad ke-7.

Implikasinya dalam Studi Alquran

Dengan membawa gagasan teori nasakh yang berbeda, tentunya Thaha memiliki interpretasi yang berbeda pula dalam memahami teks-teks Alquran. Perbedaan ini terlihat tatkala ia menjelaskan bahwa tidak adanya perbedaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam (‘adam al-musawati baina ar-rijal wa an-nisa’ laisa ashlan fi al-Islam). Thaha memahami bahwa Islam sama sekali tidak mengajarkan konsep patriarki dsb, sebaliknya, Islam malah menyerukan kesetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan.

Argumen Thaha ini dibangun atas konsepsi dasar yang diyakininya, bahwa syariat mengalami evolusi di ruang dan sejarahnya, hal tersebut disebabkan karena adanya adaptasi dengan realitas zaman dan masyarakat yang menjadi audiensnya. Sesuatu yang ideal (ar-risalah al-ashliyyah) perlu ditangguhkan dan menggantinya dengan format alternatif (ar-risalah al-far’iyyah) yang memungkinkan diaplikasikan pada konstruksi budaya masyarakat saat itu yakni pada abad ke-7.

Dalam ar-Risalah as-Tsaniyyah min al-Islam, Thaha memaparkan bahwa ada beberapa contoh konkret terkait relasi laki-laki dan perempuan di awal kemunculan Islam, dimana Alquran menangguhkan ayat-ayat makiyyah dan memberikan alternatif jawaban yang mengarahkan ke substansi keadilan.

Pertama, perihal harta warisan, dimana bagian perempuan adalah setengah dari bagian saudara laki-laki (QS. Alnisa [4]:11). Kedua, persaksian dua orang perempuan di ranah pengadilan cukup disamakan dengan seorang laki-laki (QS. Albaqarah [2]: 282).

Ketiga, perempuan harus tunduk dan berada dibawah tanggung jawab laki-laki, baik itu ayahnya, saudara lelakinya, ataupun dibawah suaminya ketika mereka telah berumah tangga (QS. Alnisa [4]: 34). Semua itu menurut Thaha merupakan syariat yang temporal dan berpotensi untuk dinasakh sebab sudah tidak lagi relevan di era sekarang ini (Teori Naskh al-Qur’an Kontemporer, 145).

Kembali lagi, dalam perspektif Thaha, syariat dasar (ashliyyah) dari Islam adalah adanya kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan serta tidak adanya tumpang tindih perihal gender seperti pada konsep patriarki. Sebab, sebagaimana yang ayat yang dikutip Thaha, “Tiap-tiap jiwa bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Almuddatstsir [74]: 38) (Arus Balik Syari’ah, 166).

Wallahu a’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU