Makkiy dan Madaniy dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zaid

Makkiyyah dan Madaniyyah
Makkiyyah dan Madaniyyah

Pembagian ayat atau surat al-Qur’an ke dalam Makkiy dan Madaniy oleh para ulama al-Qur’an secara umum mengacu pada tiga kriteria, yaitu waktu, tempat dan khitab. Pada kenyataannya ketiga kirteria ini tidak memberi penentuan yang pasti. Adakalanya suatu surat yang dianggap makkiyah berdasarkan waktu, di dalamnya terdapat ayat yang tidak masuk kritreria tersebut. Begitupun dengan kedua kriteria lainnya. Selalu ada ayat-ayat yang tidak sejalan dengan kriteria yang sudah ditetapkan.

Antara realitas dan teks

Lantaran ketidakpastian itu, dalam kitabnya Mafhum al-Nash, Nashr Hamid Abu Zaid menawarkan aspek realitas dan teks sebagai landasan untuk menentukan status suatu ayat apakah makiyyah atau madaniyah. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berbanding lurus dengan gerak realitas. Sedangkan pendasaran pada teks, disebabkan kandungan isi dan strukturnya.

Baca Juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Bagi Abu Zaid, kajian makkiy dan madaniy adalah bentuk dialektika teks dengan realitas. Perubahan realitas yang dihadapi Rasul sebagai penerima wahyu pada dua konteks yang berbeda memengaruhi bentuk teks al-Qur’an pada saat itu. Menurutnya, teks adalah hasil dari interaksi dengan realitas yang bersifat dinamis-historis. Fase makkiy dan madaniy pada dasarnya bukan hanya persoalan tempat penurunan al-Qur’an, akan tetapi pembedaan dua fase tersebut memberikan efek yang berbeda pada kandungan maupun struktur teks, yang disesuaikan dengan sasaran penerima teks waktu itu.

Dari inzar menuju risalah

Hijrah Rasul dari Mekkah ke Madinah tidak sekadar perpindahan tempat.  Ketika di Mekkah, teks al-Qur’an berperan sebagai pemberi peringatan (inzar). Pada tahap ini al-Qur’an berupaya mengenalkan konsep baru. Ajaran paganistik dan realitas yang melekat pada masyarakat Arab jahili direspon oleh teks al-Qur’an yang mengarahkannya pada realitas ketauhidan dan perbaikan akhlak. Metode yang tepat untuk masa ini adalah suatu narasi yang dapat memberikan pengaruh kuat terhadap jiwa audience.

Sementara pada fase Madinah, teks al-Qur’an mempunyai peran sebagai risalah atau masa pembentukan yang bertujuan membangun ideologi masyarakat baru. Yakni masyarakat yang melengkapi dirinya dengan perangkat-perangkat hukum dan ikatan-ikatan sosial menuju tatanan masyarakat berperadaban. Metode yang tepat untuk fase ini adalah narasi yang mampu memberikan pemahaman akan suatu ajaran. Perbedaan fase Makkah atau Madinah menunjukkan gerak teks yang berubah dari inzar menuju risalah. Hal ini berimplikasi pada perubahan gaya bahasa dan materi teks.

Fase inzar mengandalkan sebuah upaya persuasif. Penggunaan gaya bahasa yang singkat, padat, dan memikat menjadi ciri khas dari surat makkiyah. Sementara pada fase risalah aspek transformasi informasi lebih ditekankan daripada aspek persuasi, meskipun aspek ini tidak hilang sama sekali. Dengan demikian, dalam ayat-ayat dan surat madaniy cenderung panjang sebab memerlukan penjelasan yang sempurna dan detail supaya perangkat hukum bisa terpahami dan terlaksana dengan baik.

Selain itu, gaya bahasa yang digunakan pada kedua fase di atas adalah berkaitan dengan fasilah. Abu Zaid berupaya membandingkan teks al-Qur’an dengan bentuk teks lain yang berkembang pada saat itu seperti puisi, sya’ir, sajak dan lainnya. Menurutnya, dengan mempertimbangkan teks-teks kebudayaan, al-Qur’an dapat dipahami dengan baik secara historis dan normatif.

Pandangan Abu Zaid di atas tidak lepas dari pemikirannya yang mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (al-muntaj al-saqafi). Dalam artian, konteks al-Qur’an mengalami fase keterbentukan dan kematangan, yang pertama adalah fase saat teks merepresentasikan realitas dan budaya melalui bahasa dan wacana yang diangkatnya. Sementara pada fase terakhir, teks berubah menjadi produsen budaya (al-muntij al-tsaqafah), karena ia menginspirasi realitas dan budaya melalui pembacaan dan penafsiran berulang-ulang terhadapnya.

Baca Juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?

Kedua fase tersebut merupakan indikasi adanya dialektika teks dengan realitas secara dinamis penuh vitalitas. Kalau dalam kedua fase ini bisa dikatakan sebagai proses evolusi teks membentuk eksistensi dirinya, maka dalam studi makkiyah dan madaniyyah, teks lebih detil menunjukkan karakteristiknya yang unik saat ia menyapa realitas khususnya audiens yang ditemuinya

Kajian makkiyyah dan madaniyyah merupakan upaya kreatif ulama muta’akhkhirun yang didasarkan pada kebutuhan mereka dalam memahami al-Qur’an. Metode untuk menentukan makkiy madaniy yang berkembang hingga saat ini tidak bersifat final. Dengan demikian, kesempatan bagi ulama kini masih terbuka lebar untuk merekonstruksi studi makkiy madaniy ke arah yang lebih baik. Wa Allahu a’lam.