BerandaTafsir TematikKonteks Penyebutan asy-Syahr al-Harām atau al-Asyhur al-Hurm dalam Alquran

Konteks Penyebutan asy-Syahr al-Harām atau al-Asyhur al-Hurm dalam Alquran

Bulan Muharam merupakan satu dari empat bulan haram yang diistilahkan oleh Alquran dengan asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm. Ibn ‘Āsyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa keempat bulan yang dimaksud oleh Alquran itu sudah dikenal oleh orang-orang Arab, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab.

Berdasarkan penjelasan mufasir asal Tunisia tersebut, bisa dipahami bahwa istilah asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm sudah diketahui oleh orang-orang Arab sebelum turun Alquran atau bahkan sudah menjadi tradisi di kalangan orang Arab sebelum Islam.

Tradisi ini juga sempat disinggung dalam surah al-Māidah ayat 97. Pada ayat ini, Allah seolah mendeklarasikan fungsi Baitullah sejak dibangun oleh Nabi Ibrahim, yaitu sebagai tempat berlindung orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah, dan juga menjadikan ‘bulan haram’ (bulan mulia) sebagai waktu untuk tidak melakukan peperangan dan pembunuhan, termasuk balas dendam.

جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذَلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. المائدة: 97

Selain di surah al-Māidah ayat 97, penyebutan ‘bulan haram’ atau istilah asy-syahr al-harām; al-asyhur al-hurm setidaknya ada di lima ayat yang lain, yaitu surah at-Taubah: ayat 5 dan 36; dua ayat di surah al-Māidah: 2 dan 97, dan dua ayat di surah al-Baqarah ayat 194 dan 217.

Baca Juga: Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan

Beberapa mufasir seperti Ibnu Katsir, al-Qurtūbī dan Ibn ‘Asyur memahami ayat-ayat tersebut sebagai penjelas satu sama lain. Hal ini dapat dilihat ketika mereka menafsirkan salah satu dari ayat asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm tersebut, mereka mendatangkan ayat-ayat yang lain yang setema untuk mendukung dan memperdalam penjelasan mereka.

Berdasarkan penafsiran mereka, dapat dipahami bahwa ayat-ayat tersebut mempunyai tema bahasan yang sama, larangan yang terdapat di dalam ayat-ayat itu juga sama, meski demikian konteks turun ayat-ayat tersebut tidak selalu sama.

Konteks  turun ayat-ayat asy-syahr al-harām; al-asyhur al-hurm

Misal pada surah al-Māidah ayat 2, mufasir yang telah disebut tadi memahami bahwa cerita di sekitar ayat 2 ini terkait dengan surat Rasulullah saw. untuk ‘Amr bin Hazm yang diutus ke Yaman, mengingatkan tentang pemenuhan janji-janji orang beriman yang antara lain tidak melanggar bulan-bulan haram.

Sementara untuk surah al-Māidah ayat 97, mufasir seperti Ibn ‘Āsyur memahami konteks penurunan ayat sebagai deklarasi fungsi Baitullah sejak dibangun oleh Nabi Ibrahim, yaitu sebagai tempat berlindung orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah, dan juga larangan untuk membunah dan membalas dendam saat pelaksanaan haji dan umrah di bulan-bulan haram.

Adapun untuk surah at-Taubah ayat 5, Ibn Āsyur memberi konteks pemahaman ayat ini sebagai kelanjutan dari surah at-Taubah ayat 1 dan 2. Di tafsir ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa Rasulullah saw. dan umat Islam mempunyai perjanjian yang telah disepakati dengan kaum Musyrik, antara lain mereka sepakat untuk tidak saling mengganggu, tidak saling membunuh, namun ternyata kaum musyrik melangggar perjanjian tersebut.

Nah, di ayat kelima ini secara tidak langsung diizinkan untuk membalas pelanggaran yang dilakukan oleh kaum musyrik tersebut, dengan beberapa sayarat, antara lain telah lewat dari bulan-bulan haram, dan kaum musyrik tersebut tidak bertaubat.

Baca Juga: Maksud Larangan Menzalimi Diri Sendiri pada Bulan-Bulan Haram

Sementara itu, untuk konteks ayat 36, mufasir menjelaskannya sebagai ayat Alquran yang dibaca oleh Rasululllah saw. pada saat beliau berkhutbah saat haji wada’. Dengan demikian, pada saat itu Rasulullah saw. ‘seperti’ mengulang tentang larangan di ‘bulan-bulan haram’, yaitu berperang. Hal yang berbeda di ayat ini adalah lanjutan dari pembolehan larangan tersebut di luar ‘bulan-bulan haram’, namun tetap dengan syarat jika kaum musyrik menyerang umat Islam duluan.

Untuk surah al-Baqarah ayat 194. Ibn Katsir memberi konteks ayat ini dengan kisah pencegatan yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap Rasulullah saw. dan rombongannya yang mau melaksanakan umrah di bulan Dzul Qa’dah (satu dari empat bulan-bulan haram) tahun keenam setelah hijrah, sehingga Rasulullah saw. dan rombongan menunda umrahnya di tahun depannya.

Selain peristiwa tersebut, al-Qurtūbī menambahi konteks turun ayat ini yaitu ketika pada masa perjanjian Hudaibiyah. Satu riwayat lain tentang sabab nuzul ayat ini yang juga dinukil oleh mufasir asal Cordoba ini yaitu orang-orang musyrik bertanya kepada Rasulullah saw. ‘apakah kamu dilarang untuk berperang di ‘bulan haram’? Rasulullah saw. menjawab ‘iya’. Mengetahu hal ini, kaum musyrikin kemudian berkeinginan untuk menyerang Rasulullah saw. Kemudian ayat ini diturunkan sebagai pembolehan membalas serangan kaum musyrik meski di ‘bulan haram’.

Adapun untuk surah al-Baqarah ayat 217, menurut para mufasir, konteks pertama ayat ini turun terkait dengan respon yang tidak terlalu menyenangkan dari kaum musyrik dan orang-orang Islam Madinah terhadap pasukan pimpinan Abdullah bin  Jahsy yang berhasil membunuh pimpinan pasukan musuh yang ditemuinya karena hal itu dilakukan di bulan Rajab (salah satu bulan haram), padahal diceritakan bahwa pasukan Abdullah bin Jahsy tidak mengetahui dengan jelas, ketika itu sudah masuk bulan Rajab atau belum.

Baca Juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

Larangan berperang di ‘bulan-bulan haram’ atau ‘bulan-bulan mulia’

Meski konteks penurunan ayat-ayatnya berbeda, satu persamaan dalam ayat-ayat asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm adalah larangan dalam bulan-bulan tersebut, yaitu larangan untuk berperang.

Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya, at-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan bahwa kekhususan larangan dalam ayat-ayat tersebut karena Allah menjadikan bulan tersebut sebagai waktu untuk beribadah, bukan untuk bermaksiat. Namun bukan berarti tindakan maksiat di luar bulan-bulan tersebut dibolehkan, hanya saja maksiat di bulan tersebut nilai dosanya lebih besar dan pun dengan amal baiknya akan berlipat.

Barang kali argumentasi Ibn ‘Āsyur ini yang menjadi sebab penamaan asy-syahr al-harām atau al-asyhur al-hurm untuk bulan-bulan tersebut.

Mufasir asal Tunisia tersebut juga menambahkan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan mulia ini pada intinya untuk tujuan keamanan. Keamanan menjadi poin penting dalam menciptakan kedamaian dan kenyamanan.

Namu karena pada (saat itu) kaum musyrik masih terus mengancam dan berpotensi menyerang umat Islam, Alquran pun kemudian tetap membolehkan perang dengan kaum musyrik jika kaum musyrik tersebut menyerang dan berbuat zalim kepada umat Islam.

Bahkan sebagaimana diketahui, bahwa untuk tujuan keamanan ini, Rasulullah saw. sepakat tentang sulḥ al-ḥudaibiyah yang secara sekilas merugikan umat Islam. Dalam perjanjian Hudaibiyah tersebut terdapat larangan untuk saling mengganggu antara kaum musyrik dan umat Islam. Namun di pertengahan masa perjanjian, kaum musyrik melanggar perjanjian tersebut dengan membunuh salah satu anggota kabilah yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam saat itu, sehingga perjanjian itu pun otomatis batal.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pula bahwa perjanjian Hudaibiyah ini merupakan rangkaian awal dari peristiwa Fathu Makkah, kemenangan umat Islam atas kaum musyrik saat itu. Wallah a’lam

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tidur Panjang Ashabul Kahfi dalam Perspektif Medis

0
Ashabul Kahfi merupakan sebutan bagi sekelompok pemuda muslim yang mengasingkan diri ke sebuah gua karena tidak tahan dengan masyarakat lingkungannya yang enggan menyembah Allah....