BerandaKisah Al QuranKetika Allah dan Nabi Muhammad Saling Membela dalam Surah al-Ikhlas dan al-Kautsar

Ketika Allah dan Nabi Muhammad Saling Membela dalam Surah al-Ikhlas dan al-Kautsar

Salah satu kebiasaan ayat dan surah Alquran adalah mempunyai kisah yang melatarbelakangi turunnya, termasuk surah al-Ikhlas dan al-Kautsar. Kisah atau peristiwa ini yang kemudian lazim disebut dengan asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Alquran). Perstiwa yang melatarbelakangi turunnya Alquran ada kalanya berupa kisah yang membahagiakan, mengharukan, menyedihkan, bahkan menjengkelkan.

Salah satu yang menarik dari beberapa kisah asbab an-nuzul tersebut adalah kejadian yang melatarbelakangi turunnya surah al-Ikhlas dan al-Kautsar.

Fakhrudin ar-Razi dalam masterpiece-nya, Mafatih Al-Ghaib, mengungkapkan bahwa kedua surah ini memiliki keterkaitan dan korelasi yang amat menarik. Yakni sebuah sisi pembelaan timbal balik antara Allah dan Nabi Muhammad saw. Mari kita bahas kisah kedua surat tersebut satu persatu.

Baca Juga: Makna “al-Abtar” dalam Surah Alkautsar [108]: 3

Kisah di balik surah al-Kautsar

Dalam surah al-Kautsar, terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa surah ini turun sebagai respon atas sikap kurang mengenakkan yang diterima Nabi Muhammad saw. dari al-‘Ash bin Wa`il.

Pada saat putra Nabi dari Sayyidah Khadijah meninggal, al-‘Ash dengan congkak berkata bahwa Nabi Muhammad adalah seorang abtar. Kata ini dalam bahasa Arab menurut banyak leksikograf bermakna seseorang yang tidak memiliki anak laki-laki.

Kata-kata seperti ini tentu dapat dikatakan sebagai hinaan saat itu, mengingat anak laki-laki bagi orang Arab merupakan sebuah kebanggaan, yang diharapkan dapat melanjutkan kewibawaan dan ketokohan yang dimiliki ayahnya. Berbeda dengan anak laki-laki, anak perempuan justru lebih cenderung dianggap sebagai beban, karena dinilai lemah dan akan membebani banyak hal bagi orang tuanya, seperti biaya pernikahan dan lain-lain.

Perilaku al-‘Ash tersebut kemudian diiringi dengan turunnya surah al-Kautsar ayat tiga,

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“sungguh orang yang membencimu, dialah yang terputus”

Kata abtar dalam ayat ini oleh para mufasir diartikan dengan orang yang terputus dari kebaikan dunia, akhirat dan ingatan manusia padanya setelah dia mati. Di bagian ini terletak perbedaan pemahaman antara mufasir tentang maksud kata abtar dengan pemahaman kebanyakan orang Arab saat itu, sehingga yang distatuskan ‘terputus’ itu bukan seseorang yang tidak bisa melanjutkan nama keluarganya karean tidak punya anak laki-laki , melainkan dia yang tidak lagi mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, dan juga dilupakan oleh manusia lainnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ikhlas: Mengenal Tuhan Via Negativa (Bag. 1)

Kisah di balik surah al-Ikhlas

Sedangkan dalam surah al-Ikhlas, salah satu muatan dalam surah ini berisi sanggahan bagi orang-orang yang mengatakan bahwa Allah memilki anak. Hal ini dapat kita lihat padat ayat ketiga:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

“Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”

Ayat ini menurut jumhur mufassirin secara tegas menanggapi orang-orang yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak, seperti kalangan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah putra Allah, kalangan Nasrani yang mengatakan ‘Isa adalah putra Allah, atau kaum Musyrik Arab yang mengatakan malaikat adalah putri Allah.

Jika ditelisik, pada surah pertama ada sisi penghinaan kepada Nabi yang berisi penyebutan bahwa beliau tidak memilki anak, sedangkan dalam surah kedua terdapat sisi penghinaan kepada Allah, dengan justru menyebut bahwa Allah memiliki anak laki-laki. ar-Razi mengatakan:

وَذَلِكَ لِأَنَّ عَدَمَ الْوَلَدِ فِيْ حَقِّ الْإِنْسَانِ عَيْبٌ وَوُجُوْدُ الْوَلَدِ عَيْبٌ فِيْ حَقِّ اللّهِ تَعَالَى

“Hal itu karena ketiadaan anak dalam hak manusia merupakan aib, dan sebaliknya, wujudnya anak adalah aib dalam hak Allah”

Dari sanalah amat terlihat bahwa dalam surah al-Ikhlas, Allah membuat scenario yang menarik dalam susunan lafadznya. Pada surah tersebut, Allah menyelipkan perintah kepada nabi untuk membela Allah. Hal ini terlihat dengan penggunaan diksi “qul” (ucapkanlah hai Muhammad). Hal ini berbeda dengan diksi pada surah al-Kautsar yang menggunakan kata “Inna” (sesungguhnya kami). Diksi tersebut menunjukkan bahwa dalam surat ini Allah lah yang membela Nabi.

Dari situlah tidak heran jika ar-Razi menyimpulkan bahwa kedua surat ini memiliki keterkaitan yang berupa pembelaan timbal balik. yakni pembelaan dari Allah bagi Nabi dalam surah al-Kautsar dan pembelaan bagi Allah dari Nabi dalam surah al-Ikhlas. Wallah a’lam.

Wildan Fatoni Yusuf
Wildan Fatoni Yusuf
Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo. Peminat kajian fikih, ayat ahkam, & fikih al-hadith
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...