BerandaTokoh TafsirKriteria-kriteria Tafsir Kontekstual Menurut Ali Mustafa Yaqub

Kriteria-kriteria Tafsir Kontekstual Menurut Ali Mustafa Yaqub

Dalam sejarah perkembangan tafsir di Indonesia, wacana tafsir kontekstual tampaknya mulai muncul sekitar dasawarsa 1980-an dan mulai masif diperbincangkan pada tahun 1990-an. Hal ini setidaknya bisa dibuktikan dengan merujuk karya duet Taufik Adnan  Amal dan Syamsu Rizal Panggabean yang berjudul Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual. Buku ini pertama kali terbit pada bulan September tahun 1989 oleh Penerbit Mizan dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Bahkan, cetakan kedua hanya berselang sebulan setelah buku itu diterbitkan, yakni bulan Oktober.

Selain karya Amal dan Panggabean, ada banyak tulisan para cendekiawan muslim dalam rentang dua dasawarsa tersebut yang bisa kita rujuk sebagai bukti masifnya wacana tafsir kontekstual saat itu. Salah satunya kita bisa merujuk buku Islam Masa Kini karya Ali Mustafa Yaqub, seorang ulama pakar Hadits yang pernah dimiliki Indonesia. Dalam karyanya itu, ada dua artikel yang membahas wacana tafsir kontekstual, yaitu: “Al-Qur’an dan Modernitas” (1987) dan “Tafsir Kontekstual Masyarakat Indonesia Modern” (1991).

Dalam dua artikel tersebut, Ali Mustafa Yaqub menguraikan kondisi perkembangan tafsir saat itu (tahun 1987 dan 1991) di mana metode kontekstual lebih sering ditempuh dibanding metode tekstual. Faktor yang menyebabkan hal itu terjadi ialah karena metode tekstual dinilai statis dan beku sehingga nilai-nilai al-Qur’an tidak dapat dikembangkan sesuai dengan peredaran zaman. Sementara itu, metode kontekstual menjadi harapan untuk dapat menerjemahkan al-Qur’an ke dalam kehidupan masyarakat modern.

Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Metode kontekstual, demikian menurut Ali Mustafa Yaqub, cenderung diwarnai oleh pemikiran manusia karena berusaha memahami keadaan dan motivasi turunnya ayat-ayat al-Qur’an dibanding metode tekstual. Hal tersebut diperkuat argumen bahwa dalam al-Qur’an terdapat pernyataan yang mendorong penggunaan akal. Tetapi perlu dicatat bahwa dorongan penggunaan akal tersebut tidak bersifat mutlak. Ada beberapa hal yang diwajibkan mempercayai apa adanya sesuai dengan bunyi teks ayat al-Qur’an maupun Hadis.

Mengecam Menomorsatukan Akal

Ali Mustafa Yaqub tidak menolak metode kontekstual. Dalam uraiannya, ia tidak sekalipun menyatakan penyangkalan terhadap metode tersebut. Hanya saja, ia memberikan catatan khusus terhadap beberapa penafsiran kontekstual yang dilakukan segelintir pemikir muslim modern. Misalnya, ia keberatan dengan penafsiran Muḥammad ‘Abduh tentang malak  sebagai “kekuatan yang mendorong berbuat baik, yang terdapat dalam diri manusia”. Menurutnya, penafsiran ‘Abduh tersebut bertentangan dengan keterangan yang diberikan al-Qur’an dan Hadis. Apalagi, masalah malak berkaitan dengan keimanan.

Ali Mustafa Yaqub juga tidak setuju dengan kontekstualisasi penafsiran ayat pencurian yang dilakukan oleh kelompok pembaharu tafsir di Mesir. Kelompok pembaharu itu menafsirkan bahwa maksud al-Qur’an bukanlah memotong tangan pencuri tetapi meningkatkan taraf ekonomi rakyat sehingga tidak ada lagi pencurian. Mengenai hal ini, Prof. Ali mengkritik:

“Apa gerangan yang mereka inginkan? Apakah di negara-negara maju yang GNP-nya mencapai ribuan dolar tidak ada lagi yang namanya pencuri? Bahkan pencuri kelas kakap lebih banyak.” (h. 13-14)

Praktik penafsiran kontekstual di Indonesia juga tidak luput dari sorotan Ali. Ia menyebut dalam masalah kerudung, ada yang menafsirkan bahwa kewajiban menutup aurat bagi perempuan hanya ditujukan kepada perempuan Arab saat ayat tersebut diturunkan. Argumentasinya adalah karena pada konteks ayat turun, keadaan tidak aman sehingga bila aurat perempuan dibuka mereka akan diganggu laki-laki.

Ali Mustafa Yaqub kurang setuju dengan praktik beberapa penafsiran di atas karena cenderung menomorsatukan akal dan mengesampingkan teks al-Qur’an. Pada akhir artikel tersebut ia menulis:

“Sebenarnya usaha-usaha semacam itu tidak lebih dari upaya penaklukkan ayat-ayat al-Qur’an demi kepentingan pendapat manusia. Di sini jelaslah bahwa pendapat manusia dinomorsatukan, sedang al-Qur’an dinomorduakan, sehingga apabila ada ayat yang maksudnya berlawanan dengan pemikiran manusia, ia berusaha sedemikian rupa agar al-Qur’an dapat menyesuaikan diri dengan pendapat dan lingkungannya. Padahal, apabila kita melihat fungsi al-Qur’an sebagai tuntunan (hidayah), semestinya al-Qur’an dinomorsatukan, barulah manusia menyesuaikan diri dengan maksud kandungan al-Qur’an tersebut.” (h. 14)

Kriteria-kriteria Tafsir Kontekstual

Menyikapi permasalahan di atas, Ali Mustafa Yaqub mengajukan beberapa kriteria tafsir kontekstual. Secara umum, ia menyatakan bahwa tidak semua ayat dapat dikontekstualisasi. Kerancuan akan muncul jika ayat yang seharusnya dikontekstualkan ditafsirkan secara tekstual atau yang seharusnya ditekstualkan ditafsirkan secara kontekstual. Untuk itu, perlu adanya pemilahan antara keduanya. Menurutnya, penafsiran kontekstual mutlak dibutuhkan selama memenuhi beberapa kriteria berikut:

Pertama, tidak berkaitan dengan masalah-masalah ghaib seperti hakikat Allah, malaikat, surga, dan neraka. Kedua, tidak berkaitan dengan masalah-masalah ibadah murni seperti salat dan puasa. Ketiga, tidak berkaitan dengan masalah-masalah hukum yang ayatnya memberikan pengertian secara konkret (qaṭ’iy al-dalālah). Ketiga masalah tersebut harus dipahami dan ditafsirkan berdasarkan petunjuk dari al-Qur’an sendiri atau Hadis Nabi Muhammad Saw.

Baca Juga: Karya-Karya yang Membahas Ragam Kitab Tafsir

Di samping itu, Ali Mustafa Yaqub menganggap upaya kontekstualisasi merupakan bagian dari ijtihad. Oleh karena itu, selain tiga kriteria di atas dan perangkat-perangkat ilmiah untuk melakukan penafsiran kontekstual, ia juga memberikan prasyarat bagi para kontekstualis agar memiliki perangkat-perangkat ilmiah yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Pun demikian, dalam proses penafsiran, kontekstualis diharuskan mengikuti aḥsan ṭuruq al-tafsīr, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan dengan Hadis agar tidak menjadi sekadar “pendapat pribadi yang memakai label al-Qur’an”.

Demikianlah pandangan-pandangan Ali Mustafa Yaqub tentang tafsir kontekstual. Meskipun secara historis dua artikelnya ditulis puluhan tahun lalu ketika wacana tafsir kontekstual baru muncul, namun gagasannya masih relevan hingga sekarang. Kalau pun dirasa kurang relevan, setidaknya kita dapat mengetahui bahwa seorang pakar Hadis pernah ikut turun gelanggang pergulatan wacana tafsir kontekstual di masanya. Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.

Faris Maulana Akbar
Faris Maulana Akbar
Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peminat kajian literatur Tafsir Indonesia.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

0
Islam terus menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut laporan Pew Research Center, populasi muslim global diproyeksikan meningkat sekitar 35% dalam 20 tahun,...