Era modern merupakan titik balik bagi sarjana muslim dalam melakukan pembaruan intelektual di dunia Muslim setelah mengalami kebekuan yang cukup lama. Pembaruan intelektual tersebut hampir nyaris terjadi di semua disiplin keilmuan yang telah mapan dalam Islam, tak terkecuali pada bidang penafsiran Al-Quran. Ciri khas penafsiran Al-Quran era modern tidak lagi mengomentari teks dengan kutipan teks, otoritas sanad, dan sifatnya lebih mengkontekstualisasikan interpretasi dengan realitas zaman.
Aliran yang cukup populer dalam penafsiran Al-Quran era modern salah satunya adalah penafsiran ilmi (al-tafsir al-‘imi), yang berusaha mendekatkan argumentasi saintifik dengan ayat-ayat Al-Quran. Namun, dalam perkembangan tafsir Al-Quran, aliran ini mendapat kritikan yang tajam dari penafsiran sastrawi modern yang datang setelahnya dan tak kalah populernya.
Baca Juga: Potret Penafsiran Al-Quran Hari Ini: Era Modern-Kontemporer
Dua tren penafsiran Al-Quran era modern: aliran ilmi dan sastrawi
Dalam pembaruan penafsiran Al-Quran era modern, tepatnya pada abad 19, penafsiran bercorak ilmi menyita perhatian mufasir. Penafsiran Al-Quran dengan pendekatan saintifik mengalami kebangkitan kembali dengan munculnya pelopor seperti Tantawi Jawhari yang meluncurkan karya tafsirnya Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Yūsuf al-Qaraḍāwī sebagai salah satu ulama otoritatif era modern menganggap penasiran ilmi merupakan satu penafsiran yang penting. Ini dibuktikan dengan ditulisnya satu bab khusus oleh Al-Qaraḍāwī mengenai al-tafsir al-‘imi dalam bukunya yang berjudul Kayfa Nataʿāmal maʿa al-Qurʾān al-ʿAẓīm.
Aliran penafsiran ilmi semakin dikukuhkan menjadi tren penafsiran modern dengan agumentasi ʿAbdallāh Shiḥāta dalam karyanya, ʿUlūm al-Tafsīr yang menyatakan bahwa penafsiran ilmi merupakan satu pendekatan yang sudah mapan. Aliran ini sebenarnya mencoba membantah argumentasi para sarjana Barat yang berusaha membenturkan antara agama dan sains modern, teknologi, dan penemuan ilmiah. Konsep i’jaz al-Qur’an dengan pendekatan penafsiran ini mendapatkan validasi dan ruang yang kukuh sebagai kebenaran ilmu.
Jenis aliran kedua yang juga menjadi tren penafsiran modern adalah tafsir sastrawi. Aliran tafsir tersebut digawangi oleh Amīn Al-Khūlī, ia merumuskan banyak fomulasi linguistik sastra untuk menafsirkan Al-Quran sebagaimana dalam karyanya Manahij Tajdid fi al-Nahwi wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab dll.
Kerja akademik Al-Khūlī kemudian dikembangkan lebih dalam oleh istrinya, ʿĀisha ʿAbd al-Raḥmān Bint al-Shātịʾ dengan menulis tafsir Al-Quran berdasarkan rumusan sastra tersebut, Al-Qurʾān wa al-Tafsir al-ʿAṣrī. Kerja utama dari aliran ini adalah meremajakan kembali tradisi sastra Arab (al-Balaghah) sebagai alat memahami Al-Quran dengan interpretasi yang lebih relevan.
Kedua tren tafsir era modern tersebut sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Suruq Naguib dalam jurnal The Hermeneutics of Miracle: Evolution, Eloquence, and the Critique of Scientific Exegesis in the Literary School of tafsīr, jika ditelisik lebih ke atas sedikit ternyata berangkat dari akar teologis yang sama yaitu beranjak dari pemikiran Muhammad ʿAbduh. Pada prinsipnya, pemikiran ʿAbduh adalah melakukan reformasi pola pikir umat Islam agar maju dengan perkembangan zaman.
Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi
Kritik aliran penafsiran sastrawi terhadap penafsiran ilmi
Sebagaimana diketahui di muka, ada dua tren aliran dalam penafsiran Al-Quran era modern, yang ternyata punya satu hilir pijakan yaitu berasal dari pemikiran ʿAbduh. Namun, menariknya kedua aliran tersebut tidak bisa dikatakan senafas. Terjadi ketegangan sengit di antara keduanya. Aliran penafsiran ilmi mendapat hujaman kritik dari aliran sastrawi. Amīn Al-Khūlī, sebagaimana diungkapkan H{usayn al-Dhahabī’ dalam Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, merupakan seorang kritikus aliran ilmiah dengan mengusung genre baru tafsir sastrawinya tersebut.
Di buku karangannya, Kitāb al-Khayr, Al-Khūlī mengungkapkan dua keberatan filosofisnya atas penafsiran ilmi. Pertama, menurut Al-Khūlī, penafsiran ilmi Al-Quran mengabaikan tujuan utama terhadap eksistensi teks asli yang dapat memberikan panduan etis. Kedua, penafsiran ilmi pasti sifatnya sangat dangkal dan lemah, karena Al-Quran hanya memberikan sedikit rincian mengenai hal-hal saintifik, tidak seluruhnya, ditambah pemahaman kita pasti tidak lengkap tentang data-data alam semesta.
Kritik Al-Khūlī tersebut ia jabarkan lebih lanjut dalam artikelnya yang berjudul Al-Khūlī al-Tafsir. Dengan menambahkan dukungan dari sarjana Andalusia, Al-Shātịbī, Al-Khūlī membangun kontra-narasinya atas penafsiran ilmi dengan menyuguhkan tiga argumentasi. Ketiga argumentasi tersebut adalah linguistik, estetika sastra (al-balagha), dan interpretasi relijius yang seluruhnya merupakan dimensi tekstualitas Al-Qur’an.
Argumentasi linguistik menekankan ‘evolusi leksikal’ (tadarruj al-dalāla) dari kata-kata Al-Quran yag sifatnya historis untuk menentukan suatu makna. Bagi Al-Khūlī, kata-kata dalam Al-Qur’an dapat memperoleh konotasi yang baru dengan melakukan analisis sejarah-filologis, yaitu menelusuri konteks makna itu muncul dan digunakan.
Dengan ini, penafsir dapat mencocokkan kata Al-Quran dengan konotasi yang paling sesuai dengan konteks wahyu. Ini pulalah yang menjadi letak tolak Al-Khūlī terhadap penafsiran ilmi, bahwa penafsiran ilmi adalah ahistoris dan bertentangan dengan istilah-istilah Al-Quran konteks wahyu turun.
Baca Juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (2): Ulama Kontra
Argumentasi estetika sastra melanjutkan kerja argumen linguistik. Al-Khūlī mendasarkan argumentasinya tersebut pada teori al-balāgha klasik “mutạ̄baqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl” (kesesuaian antara ucapan dengan konteks situasi). Argumen ini menyingkap penafsiran ilmi yang menghasilkan implikasi pemahaman bahwa penerima wahyu Al-Qur’an gagal memahami persyaratan situasi, dan ini bertentangan dengan kaidah al-balāgha tersebut.
Argumentasi terakhir soal interpretasi religius Al-Quran. Argumentasi ini menitikberatkan tentang pesan Al-Quran yang harus progresif dan relevan. Hermeneutika yang dikembangkan Al-Khūlī sifatnya menstabilkan teks, sedangkan penafsiran ilmi bersifat fluktuatif sehingga sangat mudah dipatahkan oleh penemuan yang lebih baru. Hanya kajian historis-kontekstual teks lah menurut Al-Khūlī yang akan menstabilkan aspek kebahasaannya, dan dengan perangkat al-balāgha-reformasi sebagai kritik sastra akan memungkinkan interpretasi Al-Quran yag lebih terbuka sepanjang masa.
Bint al-Shātị̄ʾ, melanjutkan serta mengembangkan bangunan proyek aliran sastrawi dari Al-Khūlī, suami sekaligus gurunya tersebut. Ia melengkapi karya Al-Khūlī denga memperbaharui konsep pada i’jaz al-Qur’an. Kemukjizatan Al-Quran dapat dipahami dengan pendekatan aspek linguistik-sastra, bukan dengan teori-teori saintifik yang ahistoris.
Adanya kritik dari aliran sastrawi terhadap aliran ilmiah ini makin memperlebar garis patahan di antara keduanya, terutama soal konsep i’jaz al-Qur’an. Aliran sastrawi menanggap i’jaz hanya bisa disentuh dengan pendekatan linguistik-sastra, sedang aliran ilmiah kukuh memegang asumsi i’jaz dapat valid hanya dengan pendekatan ilmiah. Terlepas dari itu semua, perbedaan-perbedaan dan kritik tersebut justru memperkaya diskursus disiplin studi Al-Quran. Hal itu justru semakin memudahkan umat dalam menentukan jalan kebenaran sesuai pilhan masing-masing. Wallahu a’lam.