Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim asal Mesir dan salah satu tokoh penggagas gerakan modernisme Islam. Ia dikenal sebagai seorang reformer yang menggaungkan pembaharuan pemikiran rasional lewat karya masterpiece-nya Risalah al-Tauhid. Selain itu, ia juga seorang aktivis penggerak yang selalu memompa semangat nasionalisme Arab.
Ide pembaharuan Muhammad Abduh datang dari pengalaman pribadinya berkenaan kondisi sosial, politik dan keagamaan masyarakat Mesir. Realitas itu membuatnya sadar bahwa keterbelakangan dan keterjajahan Islam tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal dari bangsa Barat, tetapi juga datang dari internal muslim itu sendiri seperti kejumudan dan dikotomi keilmuan (Pemikiran Islam Modern).
Karena alasan itulah, Muhammad Abduh getol untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Mesir, mulai dari bidang pendidikan, politik, hingga sosial keagamaan. Sebagai contoh, Ia mereformasi manajemen Universitas Al-Azhar yang merupakan sentral pendidikan Mesir agar dapat bersaing dengan kampus-kampus dunia lainnya.
Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam
Dalam bidang sosial keagamaan, hal yang paling meresahkan bagi Muhammad Abduh adalah paham kejumudan, karena ini membuat masyarakat muslim tidak mau berubah dan bahkan cenderung menolak kemajuan peradaban. Dalam konteks ini, ia banyak mengkritik kecenderungan masyarakat terhadap mistis yang berlebihan (Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan).
Setidaknya ada tiga poin yang ingin ditekankan Muhammad Abduh dalam gagasannya berkenaan pembaharuan sosial keagamaan masyarakat Muslim, yakni: revitalisasi ajaran Islam agar tidak dipahami secara kaku dan statis; menegaskan pentingnya posisi akal dalam Islam dan fungsinya bagi kehidupan manusia; dan integrasi antara ajaran Islam dengan pengetahuan atau sains modern (Pioneer of Islamic Revival).
Klasifikasi Tafsir dan Plus-Minusnya Perspektif Muhammad Abduh
Salah satu aspek dari tradisi muslim – khususnya wilayah Mesir – yang diberi catatan kritis Muhammad Abduh adalah metode penafsiran Al-Qur’an. Ada banyak hal yang dikomentarinya, namun secara umum ia mengkritik penafsiran yang membuat makna serta tujuan Al-Qur’an terabaikan dan penafsiran yang lebih terfokus kepada hal-hal bersifat non-esensial.
Catatan kritis Muhammad Abduh terkait tafsir mulai dengan klasifikasi tafsir. Dalam muqaddimah Tafsir al-Manar – sebagaimana ditulis oleh Rasyid ridha – Abduh menuturkan bahwa selama ini tafsir Al-Qur’an setidaknya terbagi kepada delapan klasifikasi. Masing-masing klasifikasi mungkin memiliki kelebihan tersendiri, namun sering kali sama-sama meminggirkan makna hakiki Al-Qur’an.
Pertama, tafsir sastrawi. Penafsiran semacam ini menitikberatkan pada uslub al-Qur’an dan makna-makan balaghah yang terkandung di dalamnya sehingga terlihat perbedaan signifikan antara Al-Qur’an dengan kalam selainnya sebagaimana yang dilakukan al-Zamakhsyari. Kedua, tafsir i’rab al-Qur’an. Penafsiran ini sering kali hanya terfokus pada penjelasan i’rab al-Qur’an.
Ketiga, tafsir kisah. Penafsiran ini biasanya banyak menguraikan kisah-kiah Al-Qur’an secara luas berdasarkan buku-buku sejarah ataupun kisah-kisah israiliyyat. Catatan kritis Muhammad Abduh pada penafsiran ini adalah mufasirnya yang tidak merujuk pada sumber-sumber kredibel, mereka bahkan banyak mengutip kisah-kisah “tak jelas” tanpa membedakan dan menyeleksinya dengan baik (Tafsir al-Manar [1]: 17).
Maksud dari tanpa membedakan dan menyeleksi kisah-kisah dengan baik adalah mereka tidak mampu menentukan apakah kisah tersebut merupakan kebenaran atau kebohongan dan tidak mampu menyeleksi kisah-kisah yang bertentangan dengan akal sehat serta syariat. Singkatnya, pengadopsian kisah tersebut dilakukan secara semena-mena atau sembarangan, tanpa filter dan seleksi.
Keempat, tafsir garib al-Qur’an. Kelima, tafsir ahkam. Penafsiran ini menitik beratkan pada penggalian hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam konteks ini, biasanya para mufasir mengumpulkan ayat-ayat berkenaan dengan tema tertentu dan menafsirkannya berdasarkan hukum fikih. Catatan kritis Muhammad Abduh terkait penafsiran ini adalah dominasi fikih yang berlebihan.
Keenam, tafsir teologis. Penafsiran ini biasanya berisi tentang dasar-dasar akidah Islam, perdebatannya dan pembelaan terhadap salah satu aliran. Ketujuh, tafsir mauizah. Penafsiran ini fokus pada aspek mauizhah dan keutamaan, namun sering kali berisi cerita fiktif tentang ketasawufan dan peribadatan sampai-sampai melupakan batasan fadhilah dan adab-abad yang telah diletakkan Al-Qur’an.
Kedelapan, tafsir isyari. Tafsir ini biasanya berisi tentang ajaran-ajaran tasawuf, mistis dan spiritualitas. Secara umum ada dua aliran tafsir isyari, yakni tafsir yang beraliran sufi (Sunni) dan tafsir yang beraliran batiniah (Syiah). Keduanya cukup identik sehingga orang terkadang salah membedakannya sebagaimana Tafsir al-Qasysyani al-Batini yang sering disangka sebagai karangan sufi kalangan Sunni.
Menurut catatan kritis Muhammad Abduh, semua klasifikasi tafsir di atas memiliki kekurangan yang sama, yakni kecenderungan berlebihan terhadap coraknya sampai-sampai mengabaikan makna hakiki Al-Qur’an. Sebagai contoh untuk memudahkan, jika seorang mufasir menafsirkan Al-Qur’an dengan corak fikih, maka yang sering terjadi adalah hadirnya dominasi fikih di atas penjelasan makna ayat (Tafsir al-Manar [1]: 18).
Muhammad Abduh bahkan mengatakan, “Sungguh Aku telah mengetahui bahwa kecenderungan pada satu tujuan dari sekian banyak tujuan membuat suatu penafsiran keluar atau menjauh dari maksud Al-Qur’an, mereka menyampaikan pandangan mazhab mereka sampai-sampai melupakan makna hakikat Al-Qur’an.” Artinya, intensitas narasi terhadap pandangan tertentu sering kali membuat mufasir lupa akan tujuan menafsirkan Al-Qur’an yang sesungguhnya.
Bagi Muhammad Abduh, yang semestinya dilakukan adalah memahami Al-Qur’an sebagai sebuah agama dan hidayah dari Allah swt kepada seluruh alam, yang menghimpun penjelasan tentang perkara-perkara kemaslahatan kehidupan manusia di dunia dan begitu pula kebahagiaan akhirat. Catatan kritis Muhammad Abduh ini mengingatkan kita bahwa Al-Qur’an berperan di dunia dan di akhirat, tidak hanya salah satunya.
Baca Juga: Pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah Tentang Kisah Al-Quran
Lantas apakah menafsirkan Al-Qur’an dengan corak tertentu adalah sebuah kesalahan fatal dan seharusnya tidak dilakukan? Jawabannya, tidak demikian. Menurut Abduh seseorang boleh menafsirkan Al-Qur’an menggunakan pendekatan atau corak tertentu, hanya saja dengan catatan itu dilakukan secara proporsional atau seperlunya dalam rangka memahami makna hikiki Al-Qur’an.
Yang menjadi keresahan Abduh adalah penggunaan pendekatan atau kecenderungan tertentu dan penjelasan panjang lebar mengenainya – seperti permasalahan i‘rab, fikih, balaghah dan kisah – dapat membuat mufasir melupakan tujuan utama menafsirkan Al-Qur’an, yakni memahami kalam ilahi sebagaimana adanya dan mengimplementasikan esensinya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.