Islam, melalui Alquran, tidak cukup dengan hanya menginformasikan tentang perintah haji, aturan-aturan, baik itu larangan dan anjuran ketika berhaji juga diinformasikan dengan detail, meski tidak langsung turun beriringan. Hal ini berdasar pada penjelasan pengarang Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir yang menafsirkan bahwa ayat larangan dan anjuran ketika berhaji ini turun berjarak sekitar tiga tahun dengan ayat sebelumnya, ayat 196, perintah untuk menyempurnakan haji dan umrah.
Berikut surah Al-Baqarah ayat 197.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ (197)
(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṣ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Terjemah Kemenag RI)
Beberapa tafsir, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qurtubi, Tafsir Marah Labid, dan Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, semuanya sepakat menafsirkan bahwa bagian awal ayat ini menjelaskan tentang waktu atau bulan pelaksanaan ibadah haji, yaitu Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Untuk bulan yang ketiga, ada keterangan riwayat yang menyebut hanya sepuluh hari pertama, ada juga yang menafsirkan sampai hari ketiga belas, bahkan ada keterangan yang menafsirkan keseluruhan Zulhijah.
Larangan ketika berhaji
Adapun untuk bagian pertengahan ayat, para mufasir tersebut menafsirkannya sebagai larangan yang harus dijauhi bagi orang yang sedang berhaji. Larangan yang disebut pada ayat ini ada tiga.
Pertama, dilarang berbuat rafaṣ. Rafaṣ oleh beberapa mufasir ditafsirkan dengan jima’ (berhubungan badan dengan istri), atau bahkan ada yang menafsirkannya dengan perkataan yang mengandung rayuan terhadap istri sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan jima’.
Baca juga: Seruan Ibadah Haji dan Asal Muasal Kalimat Talbiyah
Kedua, tidak boleh melakukan perbuatan fasik. Perbuatan fasik di sini ditafsirkan dengan segala perbuatan maksiat, termasuk di dalamnya yaitu mencaci orang Islam. Berdasar pada sabda Nabi Muhammad saw. ‘Sibāb al-muslim fusūq wa qitāluh kufr’ (Mencaci orang Islam itu maksiat, sedangkan membunuhnya adalah kufur). Jika mencaci orang Islam saja sudah termasuk perbuatan fasik, maka begitu pula dengan perbuatan yang lebih besar keburukannya, seperti berburu, terlebih lagi menyembah berhala.
Ketiga, tidak boleh bertengkar atau berdebat. Untuk larangan berdebat ini, ada yang mengatakan larangan berdebat tentang waktu pelaksanaan ibadah haji dan cara-cara pelaksanaannya, misal tempat pelaksanaan wukuf atau yang lainnya.
Ada juga yang menafsirkan larangan berdebat ini dengan larangan berbantah-bantahan, bertengkar dengan orang lain sehingga menyebabkan orang lain tersebut marah.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu.
Baca juga: Hikmah dan Manfaat Sosial Ibadah Haji
Kriteria dari seseorang yang disebut dalam hadis tersebut adalah orang yang tidak menyakiti orang Islam lainnya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Tentu saja jika seseorang yang sedang berhaji bertengkar atau berdebat dengan orang lain, maka itu tidak masuk pada kriteria seseorang yang dimaksud dalam hadis.
Tidak bertengkar atau tidak berdebat dengan orang lain yang ditemui di sekitar tempat pelaksanaan haji merupakan tantangan tersendiri bagi orang yang sedang berhaji. Sebab, sebagaimana diketahui, ibadah haji itu itu merupakan ibadah komunal, dikerjakan oleh sangat banyak orang secara bersama-sama, di waktu dan tempat yang sama. Kondisi dan situasi yang mengarah pada perdebatan dan pertengkaran akan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, sangat masuk akal dan sangat wajar ketika hal ini diwanti-wanti oleh Alquran dan hadis Nabi.
Anjuran ketika berhaji
Sementara itu, di bagian akhir ayat, terdapat anjuran untuk membawa bekal. Terkait hal ini, beberapa riwayat yang dikutip dalam tafsir menjelaskan bahwa khusus perintah membawa bekal ini turun ketika orang-orang yang berhaji (saat itu) tidak membawa bekal makanan dan semacamnya. Oleh karena itu, mufasir juga menafsirkan ‘bekal’ ini dengan bahan makanan dan semacamnya.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji
Untuk anjuran membawa bekal ketika berhaji, hal ini sangat relevan dengan syarat ibadah haji yang disebutkan di ayat yang lain, yaitu istiṭā’ah (kemampuan) yang kemudian dijelaskan oleh ulama antara lain dengan kemampuan finansial, baik bagi orang yang berangkat haji dan keluarga yang ditinggal, ketika sedang berhaji dan ketika sudah selesai.
Demikian beberapa larangan dan anjuran ketika berhaji yang dijelaskan oleh para mufasir berdasar pada surah Al-Baqarah ayat 197. Jika di awal tulisan disebut bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang perintah untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah, maka ketika seseorang yang berhaji telah menjauhi larangan dan melaksanakan anjuran pada ayat 197 ini, bisa dikatakan seseorang tersebut mulai sempurna ibadah hajinya. Wallah a’lam.