Salah satu adab seorang murid atau santri terhadap gurunya adalah larangan meninggikan suara dihadapan guru. Islam mengajarkan secara detail bagaimana hendaknya adab seorang murid terhadap guru atau adab seorang guru terhadap muridnya. Sebab adab letaknya di atas ilmu (al-adabu fauqa al-‘ilm).
Sebagaimana kita ketahui bersama, para ulama salafus salih tatkala menuntut ilmu sangat mengutamakan adab. Mereka tidak banyak berbicara di hadapan sang guru kecuali menanyakan hal-hal yang penting, merendahkan suaranya, berbicara dengan suara yang lembut di hadapanya.
Karenanya tidak heran jika keberkahan ilmu para ulama kita tetap mengalir meskipun beliau telah wafat. Larangan meninggikan suara terhadap guru, dalam ayat ini adalah kepada Rasulullah saw terdapat dalam firman-Nya Q.S. al-Hujurat [49]: 2,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. (Q.S. al-Hujurat [49]: 2)
Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis
Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 2
Ayat ini turun berkenaan dengan sebagian sahabat yang berbicara dengan suara lantang di hadapan Rasulullah saw. sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karangan al-Suyuthi bahwa dicertikan dari Ibnu Jarir telah diriwayatkan oleh Muhamamd bin Tsabit bin Qais bin Syamas. Bahwa ketika turun ayat ini “janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara nabi” terhempaslah Tsabit bin Qais di jalan sembari menangis. Ketika itu ‘Ashim bin ‘Addi bin ‘Ajlan melewatinya, seraya bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Ia menjawab, “Aku takut ayat ini sebab turun berkenaan dengan diriku, karena aku termasuk orang yang bersuara keras.”
Hal ini kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw., lalu Tsabit pun dipanggil. Rasul saw bersabda, “‘Amma tardha an ta’isyu hamidan wa taqtulu syahidan wa tadkhulu jannah (apakah engkau tidak ridha jika engkau hidup terpuji, mati syahid, dan masuk surga?)” Maka turunlah ayat selanjutnya (al-Hujurat: 3).
Adapun Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini merupakan etika seorang hamba terhadap Allah swt dan Rasul-Nya, yakni hendaklah jangan meninggikan suaranya di hadapan Rasulullah saw melebihi suaranya. Menurut suatu riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang yakni Abu Bakar dan Umat.
Baca juga: Tafsir Surat Yunus Ayat 62: Tak Ada Rasa Takut dan Sedih bagi Wali Allah
Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir menafsirkan redaksi la tarfa’u ashwatakum fauqa shautin nabiyyi bermakna janganlah kalian meninggikan suaramu ketika berada dalam majlisnya (Rasul saw.) terlebih apabila Dia sedang berbicara dengan yang lain.
Dengan adanya larangan ini menyiratkan bahwa agar merendahkan suara di hadapan Rasul saw. atau sebaiknya diam jika Dia tidak berkenan mendengar suaramu. Hal tersebut senada juga dipaparkan Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir yaitu hendaknya rendahkan suaramu dan jangan meninggikan suaramu di atas suara Nabi saw.
Penafsiran berbeda juga disampaikan oleh Lajnah min ‘Ulama al-Azhar menyebutkan bahwa janganlah orang-orang yang beriman meninggikan suaranya melebihi suara Rasul saw saat berbicara.
Jangan pula menyamai suaranya sebagaimana sebagiannya berbicara dengan yang lain sebab dikhawatirkan batalnya amal-amal yang mereka kerjakan sementara mereka tidak menyadarinya. Ibnu Katsir menambahkan bahwa dikhawatirkan beliau akan marah, yang karenanya Allah pun marah disebabkan kemarahannya. Maka, dihapuslah amal baik mereka yang membuat marah, sementara ia tidak menyadarinya.
Baca juga: Ingin Punya Keturunan Yang Saleh? Amalkan 3 Doa Nabi Ibrahim Ini
Larangan Meninggikan Suara di Hadapan Guru
Fenomena seorang murid di beberapa tempat sebagaimana kita saksikan seperti membentak gurunya, bertindak anarkis terhadap guru, berjalan di hadapan guru dengan membusungkan dada, tidak mengucapkan salam, dan sebagainya semakin menunjukkan bahwa telah terjadi dekadensi moral dalam dunia pendidikan. Murid atau peserta didik semestinya memiliki adab yang baik kepada gurunya. Salah satu adab yang disoroti dalam ayat di atas ialah dilarang keras bagi sang murid meninggikan suaranya di atas suara gurunya.
Seyogyanya seorang murid merendahkan suaranya, berbicara dengan halus dan lembut, tidak menyela guru tatkala ia sedang berbicara dengan yang lain, memanggil guru dengan sebutan yang mulia di mana Allah swt saja memanggil Rasul saw dengan Ya ayyuhan nabi, khuluqin adzim dan lain-lain. Dengan demikian, jangan sampai melakukan suat hal yang menyakiti hati seorang guru atau kiai kita. Lakukanlah hal-hal yang membuat ia ridha dengan kita. Sebab barang siapa melukai hati gurunya, berkah ilmunya tertutup dan hanya sedikit kemanfaatan yang diperoleh dari ilmu itu, dan sebaliknya. Wallahu A’lam.