BerandaTafsir TematikTafsir IsyariLarangan Salat saat Mabuk dalam Surah Annisa: 43

Larangan Salat saat Mabuk dalam Surah Annisa: 43

Kesakralan ibadah salat tidak perlu diragukan lagi. Ibadah pokok yang termasuk dalam Rukun Islam yang dilaksanakan lima kali dalam sehari ini bahkan disebut sebagai ‘imād al-dīn (tiang agama). Tidak hanya itu, kedudukan sentral salat dalam Islam juga selaras dengan pengaruhnya terhadap kehidupan umat Islam. Q.S. Al‘ankabūt [29]: 45 menyatakan, “Sesungguhnya salat dapat mencegah (pelakunya) dari (melakukan) perbuatan keji dan mungkar.”

Salat dalam Alquran

Bukan hal yang sulit menjumpai kata salat ketika membaca Alquran. Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur`ān, tercatat bahwa lafal ini, dengan segala derivasinya, disebutkan kurang lebih sebanyak 100 kali. Dari keseluruhan penyebutan tersebut, tidak semua bermakna salat dalam arti ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam; ada juga yang bermakna selawat kepada Nabi Muhammad saw.

Pada masa Nabi Muhammad, terdapat kisah yang cukup masyhur terkait ibadah salat, yakni yang dialami oleh Ali bin Abi Talib r.a. sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Suyuti (w. 911 H) dalam Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl. Ali r.a. mengisahkan, ”Suatu hari, Abdurrahman bin Auf membuat jamuan makan dan mengundang kami. Dia memberi minum kami khamr dan aku pun meminumnya. Setelah itu, tibalah waktu salat dan mereka mendorongku (untuk menjadi imam), lalu aku membaca ‘qul yā ayyuha al-kāfirūn’ (Surah Alkafirun) dan seterusnya. Aku melakukan kesalahan ketika membaca, ‘wa nahnu na’budu ma ta’budūn (Kami menyembah apa yang kalian sembah). Maka Allah menurunkan ayat ini.” Ayat yang dimaksud adalah Q.S. Al-Nisa [4]: 43 yang berbunyi:

يايُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّاعَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan. Jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. (Alquran dan Terjemah Kemenag RI, 2019).

Ayat ini adalah bagian dari ayat-ayat pengharaman meminum khamr. Berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab dan Sa’id bin Jabir yang dinukil oleh Imam al-Qurtubi (w. 671 H) dalam al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur`ān, ayat ini merupakan lanjutan tahapan pengharaman khamr setelah Q.S. Albaqarah [2]: 219. Selain itu, ayat ini juga membicarakan tata cara bersuci baik dari hadas besar maupun hadas kecil sebagian bagian dari syarat-syarat sah salat.

Baca juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

Makna Mabuk dalam Ayat

Lafal sukārā adalah bentuk jamak dari kata sukrān yang berarti mabuk atau hilang kesadaran. Ketika seseorang mabuk, dia kehilangan kesadarannya sehingga apa yang diucapkan dan dilakukan berada di luar alam sadarnya. Dia bisa saja melakukan tindakan di luar batas jika dalam keadaan mabuk berat. Menurut al-Qurtubi, mayoritas ulama berpendapat bahwa maksud dari hilangnya kesadaran pada ayat tersebut adalah hilang kesadaran akibat meminum khamr, sebagaimana peristiwa yang dialami oleh Ali r.a.

Al-Qurtubi juga menukil pendapat lain, misalnya pendapat Al-Dahhak ibn Muzahim (w. 102 H). Mereka mengatakan bahwa hilangnya kesadaran ini disebabkan oleh tidur, atau lebih tepatnya rasa kantuk yang membuat orang ngelantur, alias tidak sadar dengan apa yang diucapkan. Pendapat lain dari ‘Ubaidah al-Salmani (w. 72 H) mengatakan bahwa maksud kantuk di sini adalah hilangnya kesadaran atau konsentrasi akibat menahan buang air.

Al-Qurtubi membenarkan dua pendapat tersebut. Menurutnya, orang yang salat memang diminta untuk “menghadirkan” Allah ketika salat, atau dalam kata lain harus khusyuk. Sedangkan ketika dalam keadaan mengantuk atau ngempet, seorang akan sulit memahami bacaan salat, padahal salah satu sarana untuk “menghadirkan” Allah dalam salat adalah dengan memahami setiap bacaannya.

Dalam Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl āy al-Qur`ān, Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H) mengatakan bahwa kehilangan kesadaran dalam ayat ini tidak dapat dimaknai sebagai keadaan gila. Meskipun orang gila juga mengalami hilang kesadaran, namun tidak dapat dimasukkan dalam ayat ini lantaran perintah salat tidak berlaku pada orang gila. Demikian pula larangan salat tidak berlaku bagi mereka karena tidak ada beban hukum bagi orang gila.

Baca juga: Tafsir Surah an-Nisa’ Ayat 43: Menguak Makna Lamastum dalam Ulama Mazhab

Hilang Konsentrasi Sebagai Makna Alternatif

Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Ihya’ Ulum al-Dīn pada Bab Asrār al-Salāt wa Muhimmatuhā (Rahasia dan Urgensi Salat) menjelaskan bahwa maksud dari hilang kesadaran ketika salat pada ayat tersebut adalah karena keraguan (kekhawatiran) di dalam hati, juga karena kecintaan terhadap dunia. Mengacu pada pemaknaan ini, seseorang bukan benar-benar kehilangan kesadaran sebagaimana orang mabuk, melainkan kehilangan kesadaran dari salat yang sedang ditunaikan.

Dengan demikian, lafal sukārā juga dapat dimaknai sebagai kehilangan konsentrasi yang kemudian menyebabkan seseorang tidak fokus pada salatnya. Dalam dua riwayat yang dinukil oleh Al-Qurtubi yang telah disebutkan sebelumnya juga lebih condong pada makna hilang konsentrasi yang disebabkan oleh rasa kantuk maupun kebelet.

Oleh karena itu, tanpa menafikan makna asal yang berlaku sebagaimana sebab turun ayat, makna hilang konsentrasi dapat menjadi makna alternatif bagi lafal sukārā. Hal ini sekaligus menjadi pengingat agar jangan sampai kita semua salat dalam keadaan “mabuk”. Jangan sampai kehilangan kesadaran akan bacaan maupun gerakan salat. Sebabnya, untuk memperoleh keutamaan dari ibadah salat, sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan, tidak lain hanyalah dengan menghayati setiap bacaan maupun gerakannya. Apalagi di dalam ibadah salat terkandung makna-makna yang mendalam, sekaligus sebagai sarana untuk menyucikan jiwa dari berbagai penyakit yang menghinggapinya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa

M. Naufal Hisyam
M. Naufal Hisyam
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...