BerandaKhazanah Al-QuranLulusan Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Haruskah Jadi Mufasir?

Lulusan Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Haruskah Jadi Mufasir?

Memang Harus Menulis Karya Tafsir?

Tak harus. Boleh menulis bila memang bisa. Boleh tidak menulis bila tak mau. Kuliah di Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) tak identik dengan mahasiswanya yang harus menulis kitab tafsir yang berjilid-jilid itu. Boleh hanya Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Katsir atau Quraish Shihab dan lain-lainnya yang melakukan. Melahirkan karya berjilid-jilid, bagi lulusan prodi IAT, itu jadi pilihan. Nyatanya, keilmuan-keilmuan dasar yang berhubungan dengan Al-Quran dan tafsir sudah mereka dapatkan. Mereka pun akrab dengan tokoh-tokoh besar Al-Quran dan tafsir lintas sejarah. Lengkap dengan ragam pendekatan tafsir terbaru dan keilmuan-keilmuan pendukung lainnya.

Lagi pula, meski dikatakan bahwa mereka sudah mendapatkan keilmuan dasar Al-Quran dan tafsir, tak lantas mereka harus menafsirkan Al-Quran. Lalu memenulis ribuan lembar karya tafsir. Tak wajib. Mereka tetap bebas menentukan. Nyatanya, satu cabang keilmuan tafsir saja bisa melahirkan cabang keilmuan turunannya. Artinya, mereka boleh saja fokus pada cabang keilmuan itu. Misalnya, sebuah ilmu yang khusus mengkaji sebab-sebab yang mengiringi turunnya sebuah ayat di masa Nabi. Sebagian mahasiswa boleh memilih mendalami keimuan ini secara khusus. Dia pun bisa sampai pada simpulan bahwa kitab-kitab khusus sebab-sebab yang mengiringi turunnya ayat terlalu terbatas. Diperlukan analisis yang lebih luas, meliputi kondisi sejarah, sosial saat itu. Muncullah konsep sebab-sebab mikro dan makro; dan lain-lain.

Baca juga: Satu Lagi Karya Ulama Indonesia di Bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir

Ringkasnya, lulusan IAT tak mesti melahirkan karya tafsir. Memang, masih ada sebagian orang yang berpikiran terlalu sederhana: lulusan IAT berarti dia akan menjadi Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla dengan tafsir al-Manarnya. Ini masih pola pikir romantisme. Menilai masa lalu selalu menjadi contoh ideal dan segala situasi dan kondisi. Pola pikir romantisme bahkan bisa sampai pada fase agar masa kini di bawa ke masa lalu. Jelas, ini tak relevan. Tidak kontekstual. Seakan menafikan bahwa setiap zaman punya tantangan dan peluangnya sendiri.

Kalau Tidak Menulis Tafsir, Lulusan IAT Ngapain?

Ya, bisa ngapain aja. Menafsirkan Al-Quran tak harus berakhir dengan terbitnya sebuah karya besar berlembar-lembar. Kondisi dan situasi terkini, menafsirkan Al-Quran bisa berakhir dengan karya berupa infografis-infografis atau media audiovisual. Titik pentingnya, kan, bagaimana masyarakat kontemporer bisa memahami Al-Quran dengan tetap berpijak pada standar dan pedoman penafsiran. Tidak setengah-setengah. Tidak pula hanya untuk ‘jualan.’

Lulusan IAT kok jadi content creator?  Tak apa. Yang penting sesuai bidang. Content creator bidang Al-Quran dan tafsir, misalnya. Ini lebih relevan dengan zaman digital seperti sekarang. Tak semua anak muda bisa berlama-lama di atas tumpukan kitab tafsir. Tentu selain alasan tumpukan itu sebagai bantal. Generasi milenial dan generasi Z lebih mudah diajak membaca kata-kata romantis dibandingkan mantengin tulisan ribuan baris. Mereka lebih suka penjelasan-penjelasan padat, tulisan-tulisan singkat.

Baca juga: Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura

Lagi-lagi, harus ditegaskan, melahirkan sebuah karya tafsir berjilid-jilid itu pilihan. Lulusan IAT boleh memilih jalan lain yang relevan. Realitas masyarakat yang mereka hadapi tak selalu bisa diselesaikan dengan tafsir-tafsir. Adakalanya, mereka bertemu dengan situasi dan kondisi masyarakat yang tak bisa ngaji. Maka, mereka perlu memerankan diri sebagai pengajar ngaji. Terkadang mereka juga bertemu dengan masyarakat yang dekat dengan media sosial, belajar agamanya pun melalui media tersebut, maka mereka perlu menyesuaikan diri.

Jangan-jangan Memang Terlalu Sulit Jadi Ahli Tafsir?

Bisa iya, bisa tidak. Tergantung stok pengetahuan yang dimiliki. Al-Suyuthi, misalnya, menyebutkan ada 15 keilmuan khusus yang harus dimiliki seseorang yang hendak menafsirkan Al-Quran. Mulai dari keilmuan yang bisa diusahakan seperti ilmu bahasa Arab dan sebagainya, hingga keilmuan yang murni pemberian dari Allah. Tentu saja, 15 keilmuan ini relatif berat bagi sebagian orang. Bisa juga terlalu ringan bagi yang mau mengabaikan. Tapi, memang sebagian dari 15 keilmuan tersebut, mendapatkan catatan khusus oleh para pakar lainnya, termasuk dari Quraish Shihab, pakar tafsir di Indonesia.

Kaitannya dengan persoalan ini, ada poin menarik dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah karya Ibnu Hajar al-Haitami. Ada seseorang bertanya padanya, “Apakah boleh menafsirkan Al-Quran dengan berpijak pada penafsiran al-Wahidi, Ibnu ‘Abbas dan para pakar tafsir kenamaan lainnya?” Beliau membolehkan. Memang, ada beberapa catatan khusus. Termasuk soal kejujuran dalam mengutip dan profesional dalam memaparkan penafsiran-penafsiran. Profesional dalam konteks ini korelasinya dengan situasi dan kondisi audien. Tepat sasaran dan kontekstual. Jangan sampai, sebuah produk tafsir justru melahirkan ‘fitnah’ hanya karena audiensinya yang tak mampu menagkap pesan Al-Quran itu dengan baik. Tak relevan dengan kapasitas dan pola pikir mereka.

Baca juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen (3); Yang Lebih Penting dari Moderat adalah Tawazun (Keberimbangan)

Ibnu Hajar al-Haitami mengakui, tak semua orang bisa menfsirkan Al-Quran. Ditambah beberapa persyaratan keilmuan yang harus dikuasai memang relatif berat. Beliau mengingatkan, bagi yang memenuhi standar dan kualifikasi, boleh saja menafsirkan Al-Quran. Bagi yang tidak, bisa menafsirkan Al-Quran dengan cara merujuk pada para pakar tafsir yang otoritatif, seperti al-Wahidi, al-Baghawi, al-Razi dan lain-lain, dengan syarat seperti di atas, jujur dan profesional.

Nah, kembali pada pertanyaan awal, “Lulusan Prodi IAT kok tidak bisa menulis kitab tafsir?” Tak apa. Tak harus. Mereka hanya perlu berkontribusi sesuai kecenderungan keilmuan yang sudah dimiliki selama kuliah. Sesuai juga dengan situasi dan kondisi yang mengitari. Dan sesuai dengan media yang memang paling relevan. Kalau pun mereka dinilai belum layak menafsirkan secara pribadi karena keilmuannya belum seperti para pakar di masa lalu, mereka bisa mengutip penafsiran mereka yang relevan kok. Hal lain yang perlu dijelaskan adalah: peserta prodi IAT biasanya tidak hanya belajar bagaimana mengutip penafsiran dengan baik, apalagi hanya mengulang-mengulang, tapi juga memberikan kritikan, atau bahkan menawarkan alternatif penafsiran yang baru. Allah a’lam[]

Miski Mudin
Miski Mudin
Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...