BerandaTafsir TematikMakna Dibalik Panggilan Hamba di Cerita Isra Nabi Muhammad dalam Alquran

Makna Dibalik Panggilan Hamba di Cerita Isra Nabi Muhammad dalam Alquran

Bulan Rajab umumnya dikenal oleh umat muslim sebagai bulan terjadinya peristiwa Isra dan Mikraj. Ketika itu, Nabi Muhammad diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dinaikkan ke Sidratil Muntaha. Peristiwa tersebut tepatnya–sebagaimana menurut pendapat yang paling mashur-terjadi pada tanggal 27 Rajab.

Kejadian itu kemudian terekam dan diabadikan dalam kitab mulia, Alquran, pada Q.S. Alisra’ [17]: 1, yakni:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Pada ayat tersebut, kata abdun (hamba) digunakan untuk merujuk Nabi Muhammad, bukan Nabi, Rasul, atau namanya langsung. Meski begitu, bagi Nabi Muhammad, tidak ada panggilan yang lebih mulia selain menetapkan bahwa dia adalah seorang hamba.

Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya mengutip sebuat riwayat dari Syaikh Sulaiman al-Anṣarī, bahwa ketika Nabi Muhammad telah sampai di derajat yang tinggi pada saat mi’raj, dia ditanya oleh Allah Swt., “Wahai Muhammad, dengan apa aku memuliakanmu?” Beliau menjawab, “Ya Rab, cukup dengan hubunganku pada-Mu sebagai seorang hamba (‘ubudiyyah).” (Mafātih al-Ghaib, juz 20, hlm. 292).

Selain itu, Abu ‘Ali al-Daqqaq juga mengatakn, “Tidak ada sesuatu yang lebih utama daripada sebuah penghambaan, dan tidak ada kata yang lebih utama bagi seorang mukmin selain sifat tersebut.” (Al-Risalah al-Qushairiyah, hlm. 346).

Ditegaskan juga oleh Sayyid Muhammad bahwa derajat “hamba” merupakan derajat paling mulia. Tidak ada yang lebih mulia bagi seorang mukmin selain sebuah ‘ubudiyah (penghambaan kepada Allah). Oleh karena itu, Alquran sering menggunakan kata tersebut di berbagai tempat, seperti Q.S. Alkahfi [18]: 1, Q.S. Alfurqan [25]: 1, Q.S. Annajm [53]: 10, dan lain sebagainya (Al-Anwar al-Bahiyyah, hlm. 13).

Sebenarnya, dengan panggilan apapun Allah memanggil, sebagai Pencipta, tentu Dia sangat berhak atas itu.

Baca juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Dalam kitab Al-Anwār al-Bahiyyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad memiliki keistimewaan yang tidak didapat oleh para utusan yang lain. Seruan-seruan Allah dalam Alquran tidak memanggil beliau dengan nama langsung, melainkan dengan kata semisal “Ya ayyuhannabī” (Wahai Nabi) atau “Ya ayyuharrasūl” (Wahai Rasul). Ini sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Alahzab [33]: 1 dan 45; Altalaq [65]: 1; dan lain sebagainya.

Hal ini berbeda dengan ketika Allah memanggil para nabi terdahulu yang biasanya dengan menyebut nama mereka langsung. Misalnya panggilan Allah kepada Nabi Adam di Q.S. Ala’raf [7]: 19, panggilan kepada Nabi ‘Isa di Q.S Almaidah [5]: 110, panggilan kepada Nabi Musa di Q.S. Alnaml [27]: 9, panggilan kepada Nabi Nuh di Q.S. Hūd [11]: 48, panggilan kepada Nabi Daud di Q.S. Ṣad [38]: 26, dan panggilan kepada Nabi Yahya di Q.S. Maryam [19]: 12.

Sayyid Muhammad menganalogikan ihwal perbedaan panggilan tersebut dengan hal yang biasa terjadi ketika seorang tuan memanggil budaknya dengan menyebut sifat-sifat baiknya, bukan dengan nama aslinya. Demikian juga dengan sikap Allah, hal itu merupakan sebuah pengagungan dan pemuliaan Allah kepada Nabi Muhammad.

Hemat penulis, dari beberapa ayat yang diungkap dengan kata abdun (hamba) dan derivasinya merupakan sebuah kemuliaan bagi Nabi Muhammad. Demikian juga panggilan itu merupakan sematan yang paling mulia bagi seorang hamba. Sedangkan di ayat lain, Allah selalu memanggil Nabi Muhammad dengan sebutan “rasul” dan “nabi”, yang ini juga adalah bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi Muhammad dibanding nabi-nabi sebelumnya.

Baca juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran

Umarul Faruq
Umarul Faruq
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...