BerandaTafsir TematikTafsir IsyariPeringatan Isra-Mikraj: Refleksi Sufistik Kualitas Salat Kita

Peringatan Isra-Mikraj: Refleksi Sufistik Kualitas Salat Kita

Isra Mikraj merupakan peristiwa monumental yang ketika itu Nabi Muhammad saw. diamanahi oleh Allah Swt. untuk menyampaikan kewajiban salat lima waktu kepada umatnya. Peristiwa itu menurut mayoritas ulama terjadi pada tanggal 27 Rajab di tahun ke-10 dari kenabian. Ada pula pendapat lain, seperti dalam Tafsir al-Qurthubi yang mengatakan bahwa Isra-Mikraj terjadi pada tanggal 27 Rabiul Awal.

Di hari menjelang peringatan Isra Mikraj ini, penulis ingin mengajukan pertanyaan sebagai bahan refleksi. Pertanyaan yang dimaksud adalah “Untuk apa Allah memerintahkan kita salat?” Lalu, “Apa yang semestinya dilakukan setelah kita mengetahui tujuan salat?”

Secara umum, salat diwajibkan untuk membuat agama manusia tetap lestari. Ini merupakan tujuan umum dari perintah-perintah agama lainnya yang masuk kategori ibadah, seperti puasa, zakat, dan haji. Semua ibadah ditujukan untuk mewujudkan apa yang al-Shatibi sebut dalam al-Muwafaqat sebagai pelestarian agama (hifdz al-din).

Lantas, apa tujuan salat secara khusus? Secara khusus, Allah wajibkan salat agar para hamba mengingat-Nya. Atas dasar ini, al-Ghazali dalam Mauidzah al-Mu‘minin (hlm. 25-27), menjadikan pekerjaan hati berupa khusyuk dan kehadiran hati sebagai syarat batin dari salat. Dia mendasarkan pendapatnya pada tiga ayat, yaitu:

Q.S. Taha: 14;

وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لِذِكْرِي

“Dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”

Q.S. Ala’raf: 205;

وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغَافِلِيْنَ

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Dan Q.S. Annisa: 43;

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَرَى حَتَى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekali-kali kamu mendekati salat sedangkan kamu mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan.”

Menurut al-Ghazali, ayat pertama menunjukan bahwa khusyuk dan kehadiran hati adalah wajib. Sementara ayat kedua menunjukan bahwa lalai dalam salat adalah haram. Sedangkan ayat ketiga menunjukan bahwa mabuk adalah ‘illat (alasan) ketidakbolehan melaksanakan salat. Menurutnya, makna ini juga berlaku sama bagi orang yang lalai; yang pikirannya hanya dipenuhi oleh rasa was-was dan urusan duniawi.

Apa yang al-Ghazali jelaskan di atas sungguh teramat berat dan sebenarnya memang telah melampaui batas-batas fikih yang biasa kita gunakan untuk mengukur sah atau tidaknya salat kita. Namun, bukankan lebih baik ketika kita melaksanakan salat dengan cara yang paling sempurna? Dengan memperhatikan aspek lahir seperti terpenuhinya syarat dan rukun salat, juga aspek batin seperti kehadiran hati dan khusyuk. al-Ghazali mengajak kita untuk menyempurnakan kualitas salat secara lahir dan batin.

al-Ghazali mengibaratkan salat seperti halnya manusia yang memiliki aspek lahir dan batin. Rukun-rukun salat diibaratkan seperti jantung dan kepala manusia, yang mana salat tidak bisa tegak tanpa adanya rukun-rukun tersebut. Sunah-sunah salat diibaratkan seperti tangan dan mata manusia, yang mana salat dipandang tidak pantas tanpa keberadaan sunah-sunahnya.

Haiat-haiat (tingkatan sunah paling rendah) salat diibaratkan seperti alis dan jenggot manusia, yang mana salat menjadi tidak indah tanpa keberadaannya. Adapun khusyuk, kehadiran hati, dan ikhlas diibaratkan seperti nyawa dan ruh manusia, di mana salat tidak “hidup” tanpa adanya tiga hal ini.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj

Enam Pekerjaan Hati yang Menghidupkan Salat

al-Ghazali menyebutkan bahwa ada enam pekerjaan hati yang memberikan perbedaan terhadap kualitas salat, yaitu kehadiran hati (hudhur al-qalb), pemahaman terhadap makna (al-tafahhum), rasa mengagungkan Allah (al-ta‘dzim), rasa takut pada Allah (al-haibah), rasa harap pada Allah (al-raja), dan rasa malu pada Allah (al-haya’).

  1. Kehadiran Hati

al-Ghazali menjelaskan bahwa hati mengikuti apa yang menjadi perhatiannya. Oleh sebab itu, hati tidak bisa hadir kecuali dalam perkara yang menarik perhatiannya. Ini merupakan watak dari hati. Ketika hati tidak hadir dalam salat, maka berarti hati sedang hadir dalam perkara lain dari urusan duniawi.

Tidak ada jalan lain untuk menghadirkan hati dalam salat kecuali dengan menjadikan salat sebagai perhatian. Ini hanya akan terjadi ketika salat dilandasi dengan keimanan dan keyakinan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dan abadi dan bahwa salat adalah wasilah untuk sampai ke kebahagiaan kehidupan akhirat.

  1. Memahami Makna

Setelah hati hadir dalam salat, seseorang harus memfokuskan dan mengarahkan hati pada perenungan terhadap makna bacaan dan aktivitas dalam salat. Hal yang perlu dilakukan adalah menghindari segala hal yang dapat menimbulkan bisikan-bisikan hati selain salat.

  1. Mengagungkan Allah

Mengagungkan Allah merupakan sebuah keadaan yang lahir sebab adanya dua kesadaran, yaitu kesadaran akan keagungan Allah dan kesadaran akan kerendahan diri manusia sebagai hamba yang diatur dan dikuasai oleh Allah. Dari dua kesadaran ini, rasa mengagungkan Allah tertanam.

  1. Takut pada Allah

Rasa takut pada Allah merupakan keadaan batin yang lahir sebab adanya kesadaran akan adanya kekuasaan dan kehendak Allah terhadap hamba-Nya. Allah bisa saja menghancurkan suatu kaum, namun itu sama sekali tidak mengurangi kebesaran kerajaannya.

  1. Mengharap pada Allah

Rasa mengharap kepada Allah lahir sebab adanya kesadaran akan kelembutan, kemurahan, dan keluasan Allah dalam memberikan nikmat dan kesadaran akan kebenaran janji Allah berupa surga bagi orang yang salat. Ketika keyakinan akan kebenaran janji Allah dan kesadaran akan kemurahan Allah itu hasil, maka sifat al-raja’ akan lahir.

  1. Rasa Malu pada Allah

 Rasa malu pada Allah lahir dari adanya kesadaran akan kekurangan dan kesewenang-wenangan seorang hamba dalam menyembah Allah dan pengetahuan mengenai kelemahan diri hamba dalam menegakan hal-hak Allah. Kesadaan ini akan menjadi semakin kuat ketika hamba menyadari aib-aib dirinya, kurangnya keikhlasan, dan kecondongan terhadap kepentingan dunia.

Penutup

Penulis berharap tulisan ini bisa menjadi bahan perenungan, baik untuk diri penulis sendiri maupun para pembaca. Isra Mikraj merupakan peristiwa di mana Allah menghendaki para hamba-Nya senantinasa mengingat-Nya. Namun, sudahkah kita berusaha untuk merealisasikannya? Jalan yang diajarkan oleh al-Ghazali adalah cara untuk merealisasikannya. Semoga kita dapat konsisten menempuh jalan ini dengan menjalakan salat dengan menyempurnakan aspek lahir dan batinnya.

Baca juga: Menguak Makna Eksoteris dan Esoteris Ayat Khusyuk

Akhmad Sulaiman
Akhmad Sulaiman
Doktor Studi Islam lulusan UIN Sunan Kalijaga. Mengabdi di UNU Purwokerto. Menulis untuk menyuguhkan Islam rasional dan kontekstual.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...