Makna Esoterik Yang terkandung dalam Kalimat Taawudz Menurut Fakhruddin Ar-Razi

kalimat taawudz
kalimat taawudz

Kalimat isti‘aẓāh atau kalimat taawudz merupakan bacaan pasaran yang lazim dilafalkan oleh umat muslim. Adapaun kalimat yang dimaksud penulis yakni:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya:

Aku memohon perlindungan kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk.

Secara umum kalimat taawudz ditujukan untuk mendapatkan perlindungan sebelum melakukan sesuatu, baik yang berkaitan dengan ibadah ritual maupun ibadah sosial.

Makna utama yang muncul berdasarkan terjemahannya adalah meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Tetapi jika pembaca berkenan menyelami lebih dalam terkait makna ‘perlindungan’, niscaya akan banyak ditemukan makna-makna esoterik yang terkandung dalam kalimat singkat tersebut.

Terkait penamaan, nama isti’adẓāh merupakan bentuk mashdar yang madhi nya berupa kata kerja ista’aẓah yang menuntut makna thalāb (meminta). Jadi makna dari kata tersebut adalah meminta perlindungan. Bila kita rujuk ke redaksi kalimat tersebut, penamaan isti’adẓāh sebenarnya diambil dari kata a‘aẓah yang bermakna berlindung atau mencari perlindungan. (A.W. Munawwir: 1997).

Dalam pandangan Imam Ar-Razi, bahwa makna kalimat taawudz adalah meminta perlindungan dari segala sesuatu yang telah dilarang oleh Allah. Sesuatu yang dilarang kemudian dibagi lagi oleh Imam Ar-Razi menjadi dua:

Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Pertama, larangan yang berkaitan dengan keyakinan, dan kedua, larangan yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Larangan yang berkaitan dengan keyakinan digambarkan dalam hadis berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّ‍هِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللَّ‍هِ صَلَّى اللَّ‍هُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّمِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَارَسُوْلَ اللَّ‍هِ؟. قَالَ مَاأَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي (سنن الترمذي، رقم ٢٥٦٥)

Artinya:

“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Isra’il telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab, “(Golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada) semua perbuatan yang telah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabatku.” (Sunan al-Tirmidzi [2565]).

Hadis di atas menunjukkan banyaknya kesesatan dalam berkeyakinan, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya golongan yang di nash termasuk dalam golongan yang masuk neraka, yakni berjumlah 72 golongan, dan yang berjalan dalam kebenaran hanyalah satu golongan saja.

Oleh karena itu, makna meminta perlindungan dalam kalimat isti‘aẓah adalah meminta perlindungan agar tidak termasuk dalam 72 golongan yang dimasukkan dalam kategori golongan yang masuk ke dalam neraka. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Alasan yang dipegang oleh Imam ar-Razi terkait hal ini adalah sebab 72 golongan tersebut memiliki keyakinan – keyakinan yang sesat, serta mempunyai mazhab – mazhab yang batil. Kebatilan yang dihasilkan oleh 72 golongan tersebut berkaitan dengan banyak hal, seperti ketika mensifati Dzat Allah, menetapkan hukum – hukum Allah, nama-nama Allah, janji dan ancaman Allah, dll. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Imam ar-Razi sebagai problem keyakinan, tidak hanya meliputi 72 golongan saja. Akan tetapi masih terdapat banyak permasalahan yang berkaitan dengan keyakinan. 72 golongan adalah gambaran begitu banyaknya godaan-godaan yang dapat mengancam keimanan seorang manusia.

Adapun larangan yang berkaitan sikap dan perilaku merujuk pada perilaku-perilaku batil, yakni perbuatan haram yang terdapat dalam al-Qur’an, hadis mutawatir, hadis ahad, ijmak ulama’ maupun dalam kadar kebenaran secara umum. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menyatakan bahwa isti’adẓāh merupakan do’a untuk meminta perlindungan agar dijauhkan dari syaitan yang dapat membahayakan manusia baik dalam urusan dunia, maupun dalam urusan akhirat.

Yakni godaan yang dapat menghalangi manusia untuk melakukan perintah Allah swt., dan mendorong manusia untuk mengerjakan segala sesuatu yang telah dilarang oleh Allah swt. Selain berfokus kepada permintaan agar dilindungi dari setan, kalimat isti’adẓāh juga memasukkan permintaan perlindungan kepada Jin dan hal ini yang dipegangi oleh Imam ibn Katsir. (Ibn Katsir; 2000).

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Pada dasarnya, masalah-masalah yang terkandung dalam frase a‘ūẓubillah bukan hanya itu, dalam pandangan Imam ar-Razi malah bisa mencapai sepuluh ribu permasalahan, bahkan bisa lebih banyak lagi.  Apa yang disampaikan Imam ar-Razi di atas mengimplikasikan adanya makna esoterik yang terkandung dalam kalimat isti‘aẓāh. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Jadi bisa disimpulkan, bahwa makna kalimat isti‘aẓāh menurut Imam ar-Razi memasukkan 2 aspek perlindungan. Pertama, berkaitan dengan keyakinan, di mana ia merujuk kepada 72 golongan yang dinyatakan dalam hadis sebagai golongan yang akan masuk neraka. Kedua, berkaitan dengan penyimpangan perilaku, baik yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, hadis, ijmak ulama’ maupun dalam kadar kebenaran secara umum. Wallahu a’lam