BerandaTafsir TematikTafsir Makna Ibadah dalam Q.S. al-Dzariyat : 56 Menurut Harun Nasution

Tafsir Makna Ibadah dalam Q.S. al-Dzariyat [51]: 56 Menurut Harun Nasution

Q.S. al-Dzariyat [51]: 56 pada umumnya dinilai oleh Mufasir sebagai salah satu ayat yang menjelaskan secara eksplisit hakikat tujuan manusia diciptakan di muka bumi ini.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

Secara jelas ayat tersebut menyatakan bahwa Allah menciptakan Jin dan Manusia sebagai subjek yang memiliki kewajiban untuk beribadah kepada-Nya. Namun bagaimana sejatinya bentuk ibadah yang dimaksud oleh ayat tersebut? Apakah ibadah yang dimaksudkan adalah ibadah-ibadah wajib seperti shalat, zakat puasa, haji?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Harun Nasution dalam salah satu karyanya, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, mengutarakan pandangan mengenai penafsiran yang tepat terhadap kalimat لِيَعْبُدُوْنِ.

Ada setidaknya dua poin pembahasan yang ia uraikan sebagai bentuk penjelasannya atas lafadz لِيَعْبُدُوْنِ Q.S. al-Dzariyat [51]: 56. Pertama, Harun memaknai dan menafsirkan lafadz لِيَعْبُدُوْنِ dengan “ketundukan dan kepatuhan” dan tidak dengan makna “ibadah ataupun menyembah” yang umumnya dipakai.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

Harun Nasution menguraikan alasan rasional bahwa makna ibadah dan menyembah tidak ia pilih sebab Allah sebagai Sang Pencipta tidaklah membutuhkan hajat atau keinginan untuk dipuja ataupun disembah oleh hamba-Nya.

Pendapat Harun ini senada dengan pelajaran Akidah yang diberikan dalam suatu Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa segala bentuk permintaan makhluk kepada Allah, dan apabila Allah penuhi tidaklah mengurangi apa yang Allah punya kecuali layaknya setetes air di ujung jarum yang dicelupkan di samudera.

Alasan Harun memilih makna tunduk dan patuh ialah sebab kesesuaiannya dengan makna muslim dan muttaqi. Implikasi maknanya, bahwa ketundukan dan kepatuhan menjadi simbol dari usaha manusia untuk melakukan penyerahan secara total kepada Allah dengan melakukan serta menghindari apa yang diperintahkan-Nya (perbuatan baik dan dilarang-Nya (perbuatan buruk). Maka hakikat penciptaan manusia menurut Harun ialah sebagai subjek yang senantiasa berusaha berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.

Kedua, Harun tidak menggunakan makna menyembah ataupun sembahyang (istilah yang diserap dari falsafah agama sebelum Islam), sebab kedua istilah tersebut bukan istilah yang berasal dari falsafah Islam. Istilah sembahyang menurutnya meninggalkan kesan cara beragama penganut animisme dan politeisme yang beribadah dengan dilandasi adanya rasa takut terhadap suatu kekuatan ghaib.

Tradisi sesajenan yang sampai saat ini masih ada menjadi salah satu buktinya. Di mana salah satu fungsi diadakannya tradisi Sesajenan oleh sebagian masyarakat adalah untuk mencegah murkanya suatu kekuatan ghaib tertentu agar tidak menimpakan bala’ kepada masyarakat.

Atas dasar itulah, menurutnya konsep dan falsafah istilah “sembahyang” tidak sesuai dengan konsep ‘abd (hamba) dan shalla (shalat—sebagai salah satu bentuk ibadah dalam Islam). Harun menegaskan bahwa dalam Islam, Tuhan bukanlah suatu hidden power (kekuatan ghaib) yang ditakuti, melainkan Dzat yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan rahmatnya kepada manusia, sebagaimana terangkum dalam kalimat basmalah.

Maka baginya, ibadah bukanlah suatu aktivitas penyembahan tetapi suatu media yang menjembatani antara Sang Pencipta dengan makhluk-Nya. Walhasil, dengan media ibadah manusia bisa memperlihatkan ketundukannya pada Sang Pencipta sekaligus sebagai sarana membersihkan dan memenuhi asupan pada unsur rohaninya.

Sebab rohani yang bersih lagi sehat akan berdampak pada pola perilaku manusia yang mencerminkan keluhuran budi pekerti. Dengan begitu, ibadah bukan saja berdampak pada unsur rohani manusia namun juga pada unsur jasmaninya melalui setiap bentuk perilaku yang dilakukannya.

Penafsiran Harun Nasution terhadap Q.S. al-Dzariyat [51]: 56, memberikan beberapa hal menarik yang bisa dijadikan sebagai bahan muhasabah. Pertama, ibadah harus dilandasi dengan rasa tunduk dan sikap berserah diri secara total di hadapan Sang Pencipta. Ibadah seperti ini yang nantinya akan membawa manusia memaknai hakikat (esensi dan fungsi) ibadah dan tidak sekedar menjalankan kewajibannya semata.

Baca Juga: Inilah Amalan Agar Mudah Bangun Untuk Ibadah Shalat Malam

Kedua, bukti manusia telah mengetahui hakikat dirinya dan ibadahnya tercermin dalam perilakunya. Sebagaimana dikatakan Harun bahwa hakikat penciptaan manusia ialah sebagai subjek yang dibebani kewajiban untuk senantiasa berbuat baik di muka bumi ini. Maka manusia yang telah mengenal hakikat dirinya dan ibadahnya, tidak akan pernah membiarkan dirinya terjerumus dalam perilaku buruk.

Ketiga, konsep ibadah merupakan pelengkap dari konsep khalifah dalam wacana hakikat penciptaan manusia dan isu Ekologi. Artinya bahwa manusia sebagai khalifah (pemimpin, pengelola) di muka bumi ini harus mendasarkan setiap keputusan dan tindakan yang ia kerjakan dengan landasan ta’abud lillah (ibadah kepada Allah). Dengan begitu, manusia diharapkan mampu menjadi subjek yang bijak dalam mengelola segala sumber kekayaan yang disediakan Allah kepadanya di Bumi ini dan tidak justru menjadi agen perusak yang tidak bertanggungjawab. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...