BerandaTafsir TematikMakna Kata Syi’ir dalam Kajian Semantik Alquran

Makna Kata Syi’ir dalam Kajian Semantik Alquran

Pendekatan linguistik atau kebahasaan merupakan salah satu cara memahami Kalam Allah dalam Alquran. Salah satu tokoh yang mengembangkan pendekatan ini adalah Toshihiko Izutsu. Dengan pendekatan analisis istilah-istilah kunci dalam Alquran yang dikonsepsikan oleh Izutsu, tulisan ini membahas tentang perkembangan makna syi’ir dalam tiga periode. Serta melalui tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan jawaban dari pertanyaan: bagaimana seharusnya umat Islam memandang warisan sastra Arab klasik ini melalui kitab suci Alquran, setelah stigma negatif yang disematkan pada syair sebelum Alquran turun?

Analisis Semantik

Syair atau dalam bahasa Arab disebut syi’ir, berasal dari akar kata ش–ع– ر. Dalam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris menjelaskan bahwa makna dasar kata yang terdiri dari huruf ش–ع– ر adalah tumbuhan, pengetahuan, dan tanda. Lebih spesifik, Al-Raghib al-Ashfihani menyebutkan bahwa makna aslinya adalah suatu sebutan bagi pengetahuan yang detail (diqqah).

Adapun dalam Alquran, makna relasional kata ini ada lima macam sebagaimana disebutkan di dalam Islah al-Wujuh wa al-Nadzair. Makna-makna tersebut yaitu; syair, bintang, tempat manasik haji, pengetahuan, dan rambut.

Baca Juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Disebutkan dalam Mu’jam Mufahras Li Alfadz al-Qur’an al-Karim bahwa derivasi akar kata ini disebutkan 40 kali dalam 11 bentuk yang berbeda di dalam Alquran. Namun, secara eksplisit hanya enam ayat yang menyebutkan kata syi’ir dalam arti syair. Yakni: Yasin [36]: 69, Al-Anbiya’ [21]: 5, Al-Shaffat [37]: 36, Al-Tur [52]: 30, Al-Haqqah [69]: 41, dan Asy-Syu’ara [26]: 224. Sisanya hanya disebutkan dalam bentuk dan makna yang lain. Selanjutnya, kata syi’ir perlu dipahami dari tiga periode; pra Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik sebagaimana analisis historis Izutsu.

Pra-Qur’anik

Pada masa Pra-Qur’anik, kata syi’ir bermakna pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu. Pemaknaan ini digunakan oleh orang-orang Arab di tahun 150 sebelum hijriah berdasarkan beberapa syair. Hal ini dapat dilihat dari syair Jazimah bin Malik dalam Asy-Syu’ara al-Jahiliyyun al-Awail:

لَيْتَ شِعْرِي، مَا أَمَاتَهُمْ؟ # نَحْنُ أَدْلَجْنَا، وَهُمْ بَاتُوا

Andai aku tahu apa yang menyebabkan mereka mati?

kami datang disaat mereka telah bermalam (mati)

Sementara sumber lain yang menisbahkan syair-syair jahiliah pada tahun 50 sebelum hijriah memaknai kata syi’ir sebagai perkataan yang tersusun. Sementara شاعر (bentuk fa’il atau subjek dari kata syi’ir) dimaknai sebagai penyair. Pemaknaan ini masih lestari hingga tahun 13 sebelum hijriah. Sebagaimana syair Ibnu al-Khari’ al-Taimiy dalam Syi’ru ‘Auf Ibn ‘Athiyyah:

يَا قُرَّ إِنْ تَشْعُرْ فَإِنِّيْ شَاعِرٌ # أَوْ إِنْ تُكَارِمْنِي فَغَيْرُكَ أَكْرَمُ

Wahai kekasihku, jika kau bersyair, maka aku adalah seorang penyair

Atau jika engkau berlaku mulia kepadaku, maka ada orang lain yang lebih mulia darimu.

Baca Juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Qur’anik

Enam ayat yang telah disebutkan di atas memaknai kata syi’ir sebagai syair. Pemaknaan ini mengafirmasi makna pra-Quranik. Makna ini dipertegas dengan adanya fenomena para penyair yang berusaha menandingi kesusastraan Alquran yang sangat tinggi. Ditambah lagi, syi’ir ketika itu marak berisi kebohongan, hal-hal yang erotis, kata-kata hiperbolis, dan kerap dijadikan sebagai media penjilat para penguasa.

Mereka berulang kali menuduh Nabi Muhammad saw. sebagai seorang penyair dan Alquran adalah produk syairnya. Sehingga, ketika Alquran menyebutkan kata syi’ir atau sya’ir, kedua kata ini berkonotasi negatif. Sebagaimana Asy-Syu’ara [26]: 224-226,

224) Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. 225) Tidakkah engkau melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan. 226) dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya?

Meski Alquran memberikan respons negatif terhadap syi’ir maupun para penyair Arab pra Qur’anik, Alquran juga berperan penting dalam menggeser tema-tema kesusatraan Arab pra Qur’anik yang dominan dengan tema-tema non-sense ke tema-tema yang lebih sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini ditandai dengan beberapa penyair Jahiliyyah yang masuk Islam di era Nabi Muhammad saw. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Asy-Syu’ara [26]: 227,

Kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi.

Baca Juga: Makna Doa dalam Kajian Semantik Alquran

Pasca Qur’anik

Periode pasca Qur’anik adalah periode masa sekarang. Makna kata syi’ir semakin berkembang. Banyak keilmuan bahasa Arab yang diilhami dari sastra tinggi Alquran. Perkembangan sastra Arab mengalami signifikansi yang pesat. Tema-tema kesusatraan dunia semakin meluas, bebas, dan terbuka dengan segala kemungkinan, mempengaruhi gaya dan tema sastra Arab.

Media sastra bangsa Arab hari ini tidak lagi berpaku pada model syair klasik, melainkan juga merambah ke model puisi atau prosa bebas. Walau demikian, syi’ir sebagai media sastra Arab sejak zaman klasik tetap ditulis dengan mempertahankan keindahan bahasa, makna yang mendalam dan tajam, meskipun lewat penggambaran metaforis. (Teori kesusastraan Arab: Sebuah Pengantar, Iftitah: 2022).

Weltanschauung Alquran Terkait Kata Syi’ir

Pandangan dunia (weltanschauung) Alquran terkait kata syi’ir dapat dilihat dari respons ayat-ayat Alquran yang menyebutkan syi’ir. Dari ayat-ayat yang ada, Alquran membagi dua pemaknaan terkait syi’ir; makna positif dan makna negatif.

Pemaknaan negatif dapat dilihat pada surah Yasin: 69 yang menjelaskan tentang ketidaklayakan syi’ir bila dinisbatkan kepada Alquran, sehingga di ayat lain kata syi’ir biasa disamakan dengan frasa lahw al-hadis (ungkapan kosong) yang terdapat dalam surah Luqman: 6.

Pemaknaan negatif yang lain dapat dilihat dari penyebutan kata syair  (شاعر)atau orang yang bersyair ataupun bentuk pluralnya (شعراء) yang berkonotasi sebagai orang yang berbohong dan orang-orang yang menyesatkan.

Sementara pemaknaan positif dapat dilihat dari Asy-Syu’ara: 227. Secara jelas ayat tersebut memberikan pengecualian pada syi’ir yang digubah oleh para penyair yang telah beriman dan beramal saleh. Meski faktanya Nabi Muhammad tidak pernah membuat syair ataupun menyenandungkannya, namun Alquran memberikan prinsip fundamental terkait sastra Arab klasik ini agar dapat diterima oleh Islam. Sebagaimana riwayat Ubay bin Ka’ab dalam Shahih Bukhari, Nabi Muhammad pernah menyampaikan:

إنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً

“Bahwa dari sebagian syair terdapat hikmah.” (H.R. Bukhari)

Dengan demikian, pandangan dunia (weltanschauung) Alquran terkait syi’ir sebenarnya sangat berkaitan dengan kondisi sang penyair dan isi konten syairnya. Ketika sang penyair dan syairnya bermasalah atau bahkan bertentangan dengan prinsip Islam, maka Islam tentunya menentang hal tersebut.

Wallahu A’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Ignaz Goldziher (1850-1921): Sebuah Historiografi Tafsir

0
Ignaz Goldziher bisa dikatakan sebagai salah satu pilar orientalis pada masanya selain dari Theodore Noldekke dan Snouck Hurgronje. Sebagai seorang orientalis yang hidup pada...