Makna Kebenaran dan Kebebasan Beragama dalam Alquran

Kebenaran dan kebebasan beragama dalam Alquran
Kebenaran dan kebebasan beragama dalam Alquran

Kata ‘benar’ (truth) dan ‘bebas’ (freedom) merupakan persoalan filosofis yang barangkali menjadi obsesi para pemikir dari dulu hingga sekarang. Bisa kita katakan bahwa ‘benar’ sangat tergantung secara subjektif atau dalam lingkup internal meski bisa diraih secara objektif-universal. Sementara ‘bebas’ sangat tergantung pada lingkungan eksternal, meski bisa diraih dalam lingkup internal. Kebebasan dan kebenaran dengan demikian merupakan dua hal berbeda yang kerap berbenturan, antara lain jika disangkutkan dengan agama.

Dalam hal beragama, ‘kebenaran’ yang bisa diartikan secara lentur dan sangat toleran—bahwa siapapun bisa mengklaim kebenaran—menjadi keras dan kaku ketika para pemeluk agama menuntut ‘kebebasan’. Kebenaran yang sangat tergantung dalam lingkup internal, menjadi melenceng dari kebenaran ketika dalam lingkup eksternal tidak diterima sebagai kebenaran. Sehingga, mereka yang merasa benar saling menuntut dengan menyudutkan ‘kebebasan’ pihak lain. Tidak jarang, hal ini meinmbulkan perpecahan hingga titik darah penghabisan demi menuntut kebenaran dan kebebasan.

Kebenaran agama ala Sahiron Syamsuddin

Dalam artikelnya yang berjudul “Klaim Kebenaran Agama yang Eksklusif Menurut Alquran: Aplikasi Pendekatan Ma’nā-cum-Maghzā pada Q.S. 2: 111-113”, bisa kita katakan bahwa Sahiron mampu memberikan jawaban yang toleran atas nama ‘kebenaran’.

Dengan menggunakan pendekatan ma’nā-cum-maghzā, ia mempertimbangkan tiga hal dalam menafsirkan Alquran; 1) makna historis atau makna asli, 2) signifikansi/pesan utama historis, dan 3) pesan utama kontemporer pada masa reinterpretasi.

Untuk mengungkap makna historis atau makna asli, Sahiron memberikan enam sampel potongan ayat;

  1. Wa qālū lan yadkhula l-jannata illā man kāna hūdan aw naṣāraā, yang bisa diterjemahkan menjadi “Mereka (yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani), tidak seorang pun akan masuk surga kecuali orang Yahudi dan Nasrani.”
  2. Tilka amāniyyuhum; “ini angan-angan mereka saja”
  3. Qul hātū burhānakum; “tunjukkan bukti kebenaranmu”
  4. (1) Balā man aslama wajhahū li Allāhi (2) wa huwa muḥsinun; yang pertama, ia menonjolkan bahwa kata ‘aslama’ tidak berarti masuk Islam secara ‘eksklusif’, tetapi tunduk kepada Tuhan, terlepas mereka orang Yahudi atau Kristen. Yang kedua, maksud dari muḥsin—sebagaimana dia kutip dari Ibn ‘Asyūr—tidak cukup hanya menyerahkan hati seorang hamba kepada Allah dan melakukan perbuatan baik, melainkan juga ikhlas.
  5. Fa lahū ajruhū ‘inda rabbihī wa lā khawfun ‘alayhim wa lā hum yaḥzanūna; “mereka yang mengabdikan diri akan dihargai oleh Allah, tidak ada rasa takut bagi mereka, dan bahwa mereka tidak akan bersedih di akhirat nanti.”
  6. Wa qālat al-yahūdu laysat al-naṣara ‘alā syay’in wa qālat al-naṣārā laysat al-yahūdu ‘alā syay’. Menurut Sahiron, orang Yahudi dan Kristen di Madinah pernah berkonflik dan masing-masing kelompok menuduh kelompok lain tersesat. Sikap semacam inilah yang dikecam oleh Alquran.

Baca juga: Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

Untuk signifikansi/pesan historis, Sahiron membagi konteks historis mikro dan makro dalam asbāb al-nuzūl. Konteks historis mikro menjelaskan perdebatan orang-orang Kristen Najrān dan para rabi Yahudi di Madinah tentang kebenaran agama masing-masing. Sementara konteks historis makro menjelaskan pertemuan antar komunitas keagamaan di Madinah yang seharusnya tidak digunakan sebagai ajang saling menyalahkan, melainkan diskusi.

Terakhir, pesan utama pada Q.S. 2: 111-113, meskipun terdapat redaksi yang menyatakan eksklusivitas beragama, ayat ini menyingkapkan pesan bahwa keselamatan di akhirat akan diperoleh siapa saja bagi mereka yang tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan perbuatan baik, terlepas itu Muslim maupun non-Muslim. Untuk lebih mendukung kesimpulan ini, Sahiron menyertakan Q.S. [2]: 62 dan 135-136.

Kebebasan beragama ala Bint al-Shāṭi’

Meski pernah dikritik oleh Sahiron dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis atas Metode Penafsiran Bint al-Shāṭi’ (2022), bahwa penerapan metode penafsiran Bint al-Shāṭi’ terhadap kasus ḥurriyyat al-‘aqīdah tidak meyakinkan—dalam arti tidak cukup kuat dijadikan sebagai landasan—tidak ada salahnya jika saya sedikit mengulas argumentasi Bint al-Shāṭi’ mengenai kebebasan beragama.

Secara ringkas, terdapat 10 poin berikut ini dalam buku Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Alquran (1997):

  1. Ayat-ayat yang menunjukkan jalan kebebasan beragama; Yunus: 99, Albaqarah: 256, Ali ‘Imran: 20, Annahl: 35, Almaidah: 92 dan Alsyura: 48.
  2. Ayat-ayat yang menunjukkan pembelaan dalam upaya menegakkan hak kebebasan berakidah, serta mengizinkan peperangan demi mengamankan hak kebebasan bagi para pemeluknya; Alkafirun: 1-6, Annahl: 125-127, Alhijr: 94, 97-98, Alan’am: 33-35, Alhajj: 39-40, Almumtahanah: 8, Alanfal: 61, Attaubah: 7.
  3. Sikap Islam yang juga membenarkan agama-agama samāwī terdahulu; Ali ‘Imran: 3-4, Fatir: 31, Almaidah: 46-48, Albaqarah: 91, Annisa: 46, Alahqaf: 30.
  4. Persatuan agama dengan kesatuan sumber dan tujuannya yang tetap beriman kepada Allah, tanpa membeda-bedakan para utusan Allah; Fuṣṣilat: 43, Al’ankabut: 46, Ali ‘Imran: 64.
  5. Ayat yang menunjukkan agar manusia mencari keyakinannya dengan benar; Alsyura: 13, Ali ‘Imran: 84 dan 136, Alan’am: 159, Arrum: 30-32, Annisa: 150-152, Albaqarah: 285.
  6. Penghapusan Islam terhadap otoritarianisme para pendeta yang berwenang memberi kartu ampunan dan penghapusan dosa sebagai hak kebebasan umat Muslim; Albaqarah: 186, lihat juga Alsyura: 25, Ṭāha: 82.
  7. Allah-lah yang Mahatahu hambanya yang tersesat dan memperoleh hidayah; Annajm: 29, lihat juga Alqalam: 7, Annahl: 125.
  8. Allah Mahakuasa untuk memberikan ampunan terhadap hambanya, juga, memberi siksaan kepada mereka yang membangkang terhadap perintah-Nya; Almaidah: 40, lihat juga Annisa: 48-116, Azzumar: 53.
  9. Alquran menghapus model kependetaan demi kebebasan akidah, hati dan akalnya; Alan’am: 61 dan 107, Azzumar: 41, Alsyura: 6 dan 48, Alghasyiah: 22, Annisa: 80, Alan’am: 104, lihat juga Attaubah: 113-114.
  10. Yang berhak memberi syafā’at hanyalah Allah semata; Yūnus: 3, Sabā’: 23, Alanbiya’: 28, Albaqarah: 255, Almudatsir: 43 dan 48, Yāsin: 23, Alan’am: 51 dan 70, Ghāfir: 18, Assajdah: 4, Albaqarah: 254, Azzumar: 33, Ṭāha: 109.

Catatan

Mengenai kebenaran beragama ala Sahiron, yang meskipun ia mengakui bahwa hasil dari penafsiran tersebut sama—walau proses berbeda—dengan Muḥammad Syahrur, hal yang sama juga ditemui dalam penafsiran Mawlanā Abū l-Kalām Azad (1888-1958) ketika menafsirkan Q.S. 2: 111-112 dalam Tarjumān al-Qur’ān.

Sahiron juga mengakui terdapat penafsiran yang eksklusif, seperti halnya Ibn Kaṡīr ketika menafsirkan Q.S. 2: 62. Hal yang tidak jauh berbeda juga penulis temukan dalam penafsiran Jawwād Mughniyah ketika menafsirkan Q.S. 3: 85 (bahwa kesatuan agama tidak patut dibenarkan) dalam Tafsīr al-Kāsyif.

Terlepas dari itu, menurut Sahiron, klaim kebenaran eksklusif semacam itu harus dihindari demi keharmonisan masyarakat yang pluralistik. Sampai sini, bisa kita katakan bahwa ‘kebenaran’ yang dikehendaki Sahiron masih terdapat pintu pro dan kontra untuk sampai pada ‘kebebasan’ di setiap keyakinan pemeluk agama masing-masing.

Baca juga: Mari Berlomba dalam Kebaikan dan Sudahi Saling Klaim Kebenaran!

Sementara terkait kebebasan beragama ala Bint al-Shāṭi’, jika mengamati komentar dan kutipan ayat yang dijelaskan olehnya, agaknya terasa meyakinkan bahwa Islam menghendaki kebebasan beragama. Namun, seiring pembacaan di setiap poinnya, Bint al-Shāṭi’ seolah menggiring pembaca kepada kebenaran tunggal; bahwa Islam memang agama yang lebih baik dari agama lain.

Prasangka semacam ini semakin diperkuat oleh argumen Sahiron bahwa metode penafsiran Bint al-Shāṭi’ terhadap kebebasan beragama kurang meyakinkan. Menurut Sahiron, Bint al-Shāṭi’ gagal dalam menerapkan metode irtibāṭ al-āyah wa al-suwār. Secara kontradiktif, Bint al-Shāṭi’ tidak mengutip Q.S. 3: 19 dan 85 yang isinya cukup polemis tersebut, dalam membahas kebebasan beragama. Malahan, Q.S. 3: 19 dan 85 tersebut ditafsirkan olehnya secara eksklusif ketika mendukung penafsiran Q.S. Alma’un [107]:1. Sampai sini bisa kita katakan bahwa ‘kebebasan’ yang dikehendaki Bint al-Shāṭi’sulit untuk sampai pada ‘kebenaran’ objektif. Wallahu a’lam.