BerandaUlumul QuranMengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma'na Cum Maghza

Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Al-Qur’an hadir sebagai pedoman hidup yang bukan hanya berlaku bagi umat Islam saja, melainkan sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, yang berarti rahmat bagi seluruh alam. Sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan, tentu Al-Qur’an harus diinterpretasikan berdasarkan kebutuhan zaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan, namun tentu harus tetap memperhatikan sisi historisitas pada saat Al-Qur’an diturunkan. Sederhananya, dalam menafsirkan Al-Qur’an perlu memperhatikan teks dan konteks, baik konteks masa dulu maupun konteks masa sekarang.

Untuk menjawab hal ini, maka Sahiron Syamsuddin yang merupakan Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekaligus sebagai Ketua Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia menawarkan teori pendekatan penafsiran yang cukup menjanjikan untuk berkembang, yakni Ma’na Cum Maghza. Pendekatan Ma’na Cum Maghza ini merupakan teori penafsiran dengan pendekatan hermeneutika.

Dalam hal ini, Sahiron mendefinisikan bahwa Ma’na Cum Maghza merupakan pendekatan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an yang mana seorang mufassir berupaya untuk menguak makna serta pesan utama pada saat Al-Qur’an diturunkan. Pesan utama tersebut kemudian dikembangkan dalam konteks kekinian. Sederhananya, pendekatan ini berupaya menghadirkan keseimbangan dalam memahami teks dan konteks.

Sebagaimana tertulis di judul, bahwa dalam tulisan sederhana ini, penulis akan memaparkan mengenai prinsip pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza. Dalam setiap keilmuan, tentu terdapat prinsip yang mendasari keilmuan itu sendiri, pun demikian dengan pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza. Sebab, prinsip merupakan hal yang sangat fundamental dan penting guna mendasari suatu keilmuan, dan juga sebagai pedoman, baik dalam cara berpikir maupun dalam mengembangkan keilmuan itu sendiri.

Dengan demikian, sangatlah penting bagi seorang penafsir untuk mengetahui bagaimana prinsip dari pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza. Hal ini agar tidak salah kaprah dalam memahami dan menerapkan pendekatan ini dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Baca juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia

Lima Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Adapun prinsip pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza yang disampaikan Sahiron Syamsuddin, setidaknya terangkum dalam lima hal penting berikut:

Pertama, penafsiran haruslah berdasarkan ilmu (dulu dan sekarang). Prinsip ini juga dibuktikan Sahiron dalam merumuskan konsep Ma’na Cum Maghza. Sebagaimana diketahui bahwa Ma’na Cum Maghza ini dasar keilmuannya bermula dari keilmuan dan pemikiran para ulama mufassir modern kontemporer sebelumnya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan beliau dalam bukunya yang berjudul ‘Pendekatan Ma’na Cum Maghza Atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer’, bahwa Ma’na Cum Maghza ini merupakan pengembangan serta penyempurnaan dari pendekatan penafsiran yang ditawarkan para tokoh aliran quasi-obyektivis progresif seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad al-Talibi.

Aliran quasi-obyektivis progresif tersebut merupakan aliran yang dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak menjadikan makna literalnya sebagai pesan utama, melainkan berusaha memahami apa yang tersirat di balik makna literal tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan konteks kekinian. Makna tersebut disebut ratio legis oleh Fazlur Rahman, kemudian disebut maqashid oleh al-Talibi, dan Abu Zayd menyebutnya dengan istilah Maghza.

Pemikiran-pemikiran mufassir terdahulu ini kemudian dikembangkan Sahiron dan direlevansikan dengan keilmuan sekarang dan konteks kekinian, hal ini agar maghza (pesan utama) Al-Qur’an dapat terealisasikan agar maslahat tetap ada dalam segala dimensi kehidupan.

Kedua, al-muhāfazah ‘alā al-qadīm al-sālih wa al-akhż bi al-jadīd al-aslah dalam konteks penafsiran, yakni “menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik.” Prinsip ini tentu perlu diterapkan dalam pendekatan penafsiran, sebagaimana yang juga diterapkan dalam Ma’na Cum Maghza.

Dalam pendekatan ini, Sahiron tetap memelihara dan mengadopsi tradisi baik yang dihasilkan para mufassir terdahulu, serta menerapkan hal-hal baru, yakni dengan mengembangkan pemikiran-pemikiran mufassir terdahulu dengan mengelaborasikannya dengan kajian hermeneutik. Di mana dalam Ma’na Cum Maghza ini Sahiron menerapkan teori hermeneutik yang memberikan keseimbangan dalam memahami Al-Qur’an baik dalam segi tekstual maupun kontekstual dengan tujuan agar pesan makna (maghza) Al-Qur’an dapat tercapai.

Baca juga: Mengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

Ketiga, penafsiran haruslah untuk kemaslahatan manusia dan alam, bukan untuk menimbulkan kekacaun. Sebagaimana kita tahu, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang berfungsi sebagai rahmatan lil’aalamiin. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. untuk umat manusia dalam bentuk kitab suci. Adapun yang menjadi dasar hal ini yaitu Q.S Al-Anbiya’ [21]: 107,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S Al-Anbiya’ [21]: 107).

Pada ayat tersebut, sangatlah jelas bahwa terdapat makna kerasulan, yang mana pada makna kerasulan itu berarti ada misi atau ajaran yang dibawa. Yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah Al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah yang berfungsi sebagai rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam. Dari sini, sangatlah jelas bahwa Al-Qur’an adalah rahmat, sebagai bukti kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Maka, dalam hal ini jika kita teliti lebih dalam, tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur’an yang mengandung kesengsaraan, karena sejatinya seluruh ayat Al-Qur’an merupakan bentuk kebahagiaan, bentuk kasih sayang Allah Swt. terhadap hamba-Nya.

Oleh karena hal ini, penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang dihasilkan para mufassir haruslah mengandung nilai rahmat dan maslahat, karena Al-Qur’an hadir sebagai rahmat. Dengan demikian, ketika ada seorang penafsir yang hasil penafsirannya malah mengacaukan atau membuat keributan, sejatinya bukanlah Al-Qur’an yang bicara, melainkan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.

Keempat, penafsiran itu dinamis dan berkembang. Seiring berjalannya waktu tentu penafsiran terhadap suatu ayat akan terus berkembang berdasarkan problematika keagamaan yang muncul di masyarakat. Oleh karena hal ini, sangatlah penting keilmuan penafsiran terhadap Al-Qur’an harus terus dikembangkan agar mampu memberikan penafsiran yang maslahat dan penuh rahmat, karena Al-Qur’an hadir tidak lain sebagai rahmatan lil ‘aalamiin untuk kehidupan alam semesta.

Kelima, penafsiran adalah relatif kebenarannya, karena yang absolut hanyalah Allah dan ilmu-Nya. Tidak ada penafsiran yang benar seutuhnya, yang ada apakah penafsiran yang dihasilkan mengandung nilai maslahat atau tidak? Karena kebenaran yang sejati dan absolut hanyalah milik Allah Swt.

Kesimpulan

Dari pemaparan tulisan sederhana ini, dapat kita simpulkan bahwa yang menjadi titik utama dari kelima prinsip pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza ala Sahiron ini adalah kemaslahatan. Maka dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa yang menjadi tujuan utama dari pendekatan Ma’na Cum Maghza ini adalah berupaya memberikan hasil penafsiran yang mengandung nilai rahmat dan maslahat.

Al-Qur’an hadir dan dibawa oleh Sang pembawa rahmat, yakni Nabi Muhammad Saw. Maka, Al-Qur’an yang dibawanya pun merupakan bukti rahmat yang diwahyukan-Nya untuk kemudian disampaikan kepada umat manusia dan seluruh alam untuk dijadikan pedoman hidup yang shalih li kulli zaman wa makan. (wallaahu a’lam bisshawaab).

Baca juga: Kebolehan Hermeneutika untuk Memahami Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab

Dede Eva Apipah Awaliah
Dede Eva Apipah Awaliah
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...