BerandaUlumul QuranMengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

Mengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

Dewasa ini, tren pendekatan tafsir al-Qur’an telah banyak ditawarkan oleh para cendekiawan, salah satunya adalah ma’na cum maghza. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Sahiron Syamdudin, tokoh heremeneutik Indonesia. Ma’na cum maghza merupakan hasil racikan dari beberapa pemikiran mufasir modern kontemporer sebelumya. Dalam tulisannya Sahiron mengatakan jika pendekatan ini adalah simplifikasi serta pengembangan dari pemikiran Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdullah Saeed dan Muhammad al-Ṭalbi (Sahiron: 2020). Hal tersebut dapat terlihat dari penggunaan istilah maghza yang mencuplik pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd.

Sahiron Syamsuddin menuturkan ma’na cum maghza ialah suatu pendekatan di mana seorang mufassir berupaya menyelisik makna dan pesan utama saat al-Qur’an diturunkan, kemudian mengembangkan pesan utama tersebut untuk konteks masa kini. Secara sederhana, pendekatan ini berupaya mendialogkan teks dan konteks. Sebagaimana kita ketahui hakikat suatu tafsir adalah menjembatani antara teks yang ‘bisu’ dengan realitas yang terus berkembang tanpa batas.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa tugas pertama seorang mufassir adalah memahami maksud makna suatu ayat dan pesan di dalamnya yang ‘diinginkan’ oleh Allah atau setidaknya yang dipahami oleh bangsa Arab sebagai audiens pertama yang mendapatkan pesan tersebut. Setelah itu, kreativitas intelektual seorang mufassir dituntut untuk mampu mendialogkannya dengan kondisi saat ia menafsirkan.

Untuk mencapai maksud tersebut, dalam buku Pendekatan Ma’na Cum Maghza Atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer Sahiron Syamsuddin mengenalkan tiga aspek yang harus diperhatikan oleh setiap mufassir yang menggunakan pendekatannya. Di antaranya adalah al-ma’na al-tarikhiy (makna historis), al-maghza al-tarikhi (siginifikansi fenomenal historis), al-maghza al-mutaharrik (signifikansi fenomenal dinamis). Ketiga aspek ini masing-masing memiliki tahapan metodis untuk menyingkap maksud yang ditujunya. Berikut penjelasan Sahiron untuk menyingkap ketiga hal tersebut.

Pada aspek al-ma’na al-tarikhiy dan al-maghza al-tarikhiy, langkah pertama yang harus dilakukan mufassir yaitu menganalisa aspek kebahasaan teks al-Qur’an. Mulai dari ma’na kosakata hingga struktur kaidah bahasa yang dipahami dan digunakan oleh bangsa Arab abad ke-7 M.

Kedua, untuk mempertajam analisanya, seorang mufasir melakukan intratekatualitas, yaitu membandingkan penggunaan kata yang sedang dikaji dengan ayat senada lainnya.

Ketiga, seorang mufassir melakukan intertekstualias. Ia berupaya mengambil informasi dari sumber di luar al-Qur’an, seperti hadis, syair Arab, israiliyat atau teks lainnya yang eksis pada saat proses pewahyuan.

Keempat, seorang mufassir memperhatikan konteks, situasi kondisi yang terjadi ketika al-Qur’an diturunkan. Pengetahuan asbab nuzul dan sejarah Arab sangat dibutuhkan untuk tahap ini.

Kelima, mufassir mencoba mengungkap pesan utama (maqsad atau maghza ayat) yang terkandung di dalamnya berdasarkan analisa bahasa dan konteks sebelumnya.

Kemudian untuk menyingkap aspek al-maghza al-mutaharrik atau pesan yang selaras dengan konteks masa kini, seorang mufasir perlu menempuh tahapan berikut.

Pertama, seorang mufassir menentukan kategori ayat yang sedang ditafsirkannya masuk dalam ranah tauhid, hukum atau kisah.

Kedua, seorang mufassir berupaya mengembangkan definisi pada ma’na tarikhiy. Selain itu, ia berupaya mengembangkan cakupan pesan utama atau al-maghza al-tarikhiy demi kebutuhan masa kini. Berkembangnya nilai sosial yang terjadi di masyarakat saat kini menjadi perhatian utama mufassir pada tahapan ini.

Ketiga, seorang mufassir diharapkan jeli mengungkap makna simbolik suatu ayat yang ditafsirkan.

Keempat, mufassir mengintegrasikan penafsirannya dengan ilmu bantu yang selaras dengan tema ayat agar mendapatkan perspektif yang lebih luas.

Tawaran pendekatan tafsir dengan langkah-langkah yang disebutkan sebelumnya memperlihatkan konstruksi penafsiran yang cukup sistematis. Berangkat dari pemahaman teks yang selanjutnya disinergikan dengan pemahaman konteks dan ragam keilmuan tertentu sehingga bermuara pada penafsiran yang lebih kontekstual dan komprehensif serta senafas dengan zamannya.

Dengan ma’na cum maghza, mufassir terkesan tidak abai dan mengapresiasi terhadap khazanah keilmuan tafsir klasik pada satu sisi, dan tidak menutup diri dari perkembangan pengetahuan di sisi lain. Sahiron Syamsuddin berupaya menguak aspek ma fi al-Qur’an serta ma haula al-Qur’an yang menjadi kebutuhan penting untuk memperoleh pemahaman ayat yang hendak ditafsirkan.

Namun, tidak dipungkiri pendekatan tafsir al-Qur’an ini bisa jadi ditemukan celah kelebihan dan kekurangannya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim dalam diskursus ilmu pengetahuan, wa bil khusus ranah ilmu tafsir yang selalu mengalami perkembangan dan kompleksitas dalam penerapannya.

Meski demikian, ma’na cum maghza paling tidak membantu para mufassir terhindar dari pemahaman yang literal dan mampu memberi kontribusi solutif terhadap permasalahan kontemporer berasaskan ajaran al-Qur’an. Sehingga spirit al-Qur’an sebagai kitab salih li kulli zaman wa makan dapat dirasakan oleh insan sepanjang masa. Wa Allahu a’lam.

Arif Rijalul Fikry
Arif Rijalul Fikry
Alumni Studi Quran Hadis (SQH) UIN Sunan Kalijaga. Berminat pada kajian Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...