BerandaTafsir TematikMakna-Makna Simbolis dalam Redaksi Surah Alfatihah

Makna-Makna Simbolis dalam Redaksi Surah Alfatihah

Surah Alfatihah mempunyai banyak keutamaan. Salah satu keutamaan yang dimilikinya adalah menjadi surah yang sering diulang-ulang di setiap salat. Alfatihah, menurut sebagian besar imam madzhab, merupakan rukun salat, sehingga tidak boleh ditinggalkan.

Keutamaan Alfatihah juga dapat diketahui apabila ditelaah lebih dalam makna dari redaksi kalimat-kalimat yang merangkainya. Surah Alfatihah ternyata memiliki banyak rahasia-rahasia yang terpendam di dalamnya (lathaif). Di antaranya, Alfatihah mengajarkan umat Islam bagaimana cara bermunajat kepada Allah.

Awali setiap kegiatan dengan basmalah

Surah Alfatihah diawali oleh ayat “Bismillah ar-rahman ar-rahim”. Menurut Syeikh Ali ash-Shabuni, ada sebuah isyarat perihal diawalinya Alquran dengan basmalah, yaitu mengajarkan seorang muslim untuk mengawali segala perbuatan dan ucapannya dengan membaca basmalah (Tafsir Ayat al-Ahkam, 1/27).

Nabi Muhammad bersabda dalam sebuah hadis yang sangat masyhur:

 كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر ” أي : قليل البركة ، أو معدومها

Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillah’, maka amalan tersebut terputus (kurang) keberkahannya.” (H.R. al-Khatib).

Hikmah dari peralihan kata ganti

Berikutnya, rahasia Alfatihah dalam ayat kelima. Bila diperhatikan, ayat-ayat sebelumnya memakai kata ganti orang ketiga (dlamir ghaib). Kemudian pada ayat kelima, kata ganti itu berubah (iltifat) menjadi kata ganti orang kedua (mukhatab). Pada ayat inilah seorang muslim seakan-akan tengah berdialog secara langsung dengan Allah dengan mengucapkan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepadamulah kami menyembah, dan hanya kepadmulah kami memohon pertolongan.” (Q.S. Alfatihah [1]: 5).

Iltifat (perubahan kata ganti) adalah bagian dari ilmu balaghah atau sastra Arab. Dengan menggunakan itu, kalam menjadi beragam dan tidak monoton, dan makna yang terkandung dalam ayat lebih dapat memengaruhi jiwa dan menarik hati.

Menurut Abu Hayyan, iltifat yang terdapat dalam Alfatihah tersebut dapat diibaratkan seseorang yang tengah memuji temannya secara tidak langsung: pujian-pujian itu diucapkan seolah-olah tidak ditujukan kepada temannya, sehingga temannya tidak merasa sedang dipuji. Kemudian pada akhirnya ia mengucapkan bahwa pujian-pujian itu hanya untuk temannya tersebut.

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Perubahan kata ganti ini, beliau melanjutkan, adalah bagian dari laku sopan (seorang hamba) untuk mencapai kepada tujuan (Allah). Sudah sepatutnya seorang muslim terlebih dahulu memuji-muji Allah sebelum meminta hajat kepada-Nya supaya dikabulkan.

Dari sini juga dapat diambil pelajaran bahwa dalam memuji-muji seseorang, sebaiknya dilakukan di belakang orang tersebut. Setidaknya ada dua alasan: supaya tidak dicap sebagai “penjilat” dan menyelamatkan orang yang dipuji agar tidak merasa sombong.

Masih pada ayat yang sama, bentuk kalimat (shighat) pada ayat kelima adalah lafaz plural (jamak), yaitu  نعبد(kami menyembah) dan نستعين (kami meminta pertolongan), tidak menggunakan lafaz tunggal, seperti أعبد  (aku menyembah) dan أستعين (aku meminta pertolongan).

Syeikh Ali ash-Shabuni menjelaskan, penggunaan bentuk jamak menunjukkan arti pengakuan seorang hamba bahwa dirinya memiliki keterbatasan untuk sendirian berdiri dan meminta pertolongan serta hidayah di hadapan Allah. Karena ketidakmampuan itulah, seorang hamba kemudian bergabung kepada ahli tauhid (jamaah) dan berdoa bersama mereka, “…Kami semua menyembah kepadamu dan meminta pertolanganmu.” (Tafsir Ayat al-Ahkam, 1/30).

Baca juga: Habib Luthfi bin Yahya: Surah Alfatihah Ajarkan Persatuan dan Kerukunan

Seorang hamba yang menyadari segala dosa dan khilafnya bakal merasa tidak pantas berdoa kepada tuhannya. Ia sadar bahwa nikmat yang diberikan Allah tidak dimaksimalkan untuk melakukan pekerjaan yang diridai-Nya, sehingga ia merasa tidak mampu mengetuk pintu pengabulan doa sendiri. Atas kesadaran inilah seorang hamba  kemudian berdoa secara berjamaah dengan harapan Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan.

Ini dapat dijadikan dalil keutamaan berdoa secara berjamaah. Selain karena sering dilakukan oleh para ulama, berdoa secara berjamaah juga dapat mengantarkan doa supaya cepat terkabul. Sebab, barangkali di antara orang yang berdoa terdapat seseorang yang cepat diijabah doanya oleh Allah; atau paling tidak, berjamaah dapat menjadi sebuah bukti ketidakmampuan dan kelemahan seorang hamba menghadap dan meminta kepada Tuhannya.

Adab berdoa kepada Allah

Kemudian, pelajaran dari surah Alfatihah dapat dipetik juga dari ayat ketujuh.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Yaitu jalan orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang dimurkai dan orang-orang yang sesat.” (Q.S. Alfatihah [1]: 7).

Di dalam ayat tersebut, nikmat disandarkan kepada Allah, أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (engkau beri nikmat atas mereka), sedangkan murka dan kesesatan tidak disandarkan secara langsung kepada Allah, kendati Allah merupakan subyek dari laku tersebut.

Allah berfirmanغَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ,, (bukan jalan orang dimurkai dan orang-orang yang sesat). Seharusnya, agar sesuai dengan sebelumnya, أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, firman berikutnya berbunyi: غَضِبْتَ عَلَيْهِمْ وَ أَضْلَلْتَهُمْ (engkau memurkai mereka dan menyesatkannya). Namun, Allah tidak melakukan itu karena bermaksud mengajarkan umat Islam tentang satu hal, yaitu adab.

Baca juga: Simbolisasi Kekayaan dalam Surah Alkahfi ayat 34

Ini merupakan adab dalam berdoa. Melalui ayat tersebut, Allah mengajarkan etika bagaimana berdoa yang baik. Sifat-sifat yang buruk hendaknya tidak disandarkan kepada Allah, sekalipun Allah yang melakukannya. Akan tetapi, dalam hal kebaikan, hendaknya disandarkan sepenuhnya kepada Allah. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian ulama, “Kebaikan semuanya dari Allah, sedangkan keburukan bukan berasal dari-Nya.”

Adab semacam ini juga dapat ditemukan di dalam ayat Alquran yang lain. Salah satunya di dalam surah Asysyu’ara saat Allah menghikayatkan perkataan Sayyidina Ibrahim. Allah berfirman:

الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80)

(Allah) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberiku petunjuk; Dia yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Q.S. Asysyu’ara [62]: 78-80).

Baca juga: Surah At-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

Ayat ke 80, supaya konsisten dengan ayat sebelumnya, seharusnya berbunyi,وَإِذَا أَمْرَضَنِي (dan jika Dia membuatku sakit), tetapi hal itu tidak dilakukan lantaran adab kepada Allah. Meskipun pada hakikatnya Allah yang membuat seseorang mengalami sakit dan sebagainya, tetapi hendaknya sifat-sifat buruk tersebut tidak disandarkan langsung kepada-Nya.

Demikianlah pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dalam hal bermunajat kepada Allah. Apabila nilai-nilai etis ini diperhatikan ketika bermunajat kepada Allah, insyaallah apa yang disampaikan dalam doa akan lebih mudah dikabulkan. Wallahu’alam.

Ali Ahmad Syaifuddin
Ali Ahmad Syaifuddin
Mahasiswa di Mahad Aly Situbondo; gemar dengan fikih dan ushul fikih. Bisa disapa di aasyaifud@gmail.com
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU