BerandaUlumul QuranMakna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah

Makna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah

Pembahasan pengulangan lafaz dalam al-Qur’an  sudah lama dipermasalahkan oleh banyak peneliti (Orientalis). Mereka menganggap pengulangan ini sebagai problem teks. Berbeda dengan para ulama pengkaji Al-Quran, mereka berpendapat bahwa pengulangan lafaz adalah bagian dari aspek kesusastraan Al-Quran.

Maḥmūd bin Ḥamzah al-Karmānī (w. 505 H.) yang telah melakukan invetarisasi pengulangan lafaz yang dikategorikan per-surah, ia menemukan 589 pengulangan lafaz, dari surat al-Fātiah sampai surat al-Nās. Ibn Qutaibah (213-276 H.) berpendapat bahwa pengulangan yang terdapat dalam al-Qu’an berfungsi untuk menguatkan kandungan yang sudah dipaparkan sebelumnya dan memberi pemahaman yang mendalam.

Menurut Badr al-Dīn al-Zarkasyi, pengulangan lafaz (tikrār) lebih kuat secara makna (ablagh) dibandingkan dengan tawkīd (penggunaan kata penguatan). Hal ini karena pengulangan lafaz membangun makna dan maksud, sedang tawkīd menentukan keinginan makna dari kata/kalimat yang terdahulu dan menghilangkannya.

Baca Juga: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya

Mutawalli al-Sya’rawi berpendapat bahwa pengulangan lafaz yang terdapat al-Qur’an hanya pengulangan secara lafaz, bukan pengulangan secara kandungan. Pendapat-pendapat ini menarik untuk dikaji, bagaimana konsistensi dan metode yang digunakan dalam mengeloborasi pengulangan dalam al-Qur’an.

Dalam pandangan al-Sha’rāwī, basmalah dimaknai  dengan pertolongan dari Allah Swt yang Maha Kuasa untuk setiap hambanya dalam melakukan segala sesuatu. Pertolongan-Nya bagi siapa pun, dan kapanpun selalu terbuka baik itu bagi seorang muslim yang taat maupun seseorang yang terjerumus melakukan maksiat.

Penafsiran ini sama dengan apa yang diutarakan Muḥammad ‘Alī al-Shābūnī, bahwa pembacaan basmalāh dalam setiap melakukan segala hal merupakan bentuk permintaan pertolongan kepada Allah Swt, pertolongan itu bagi setiap makhluk-Nya. Artinya, dua penafsir ini sepakat bahwa basmalāh merupakan perwujudan bahwa pertolongan Allah Swt selalu terbuka untuk setiap makhlukNya.

Itulah pemaknaan lafaz al-ramān al-raīm yang terdapat pada ayat pertama dari surah al-Fātiah, ayat  pertama ini juga mempunyai konteks yang mengelilinginya, baik itu hadis yang memberikan informasi tambahan mengenai basmallāh, maupun letak ayat ini pada surah pertama yang ada pada al-Qur’an.

Menurut al-Sha’rāwī, lafaz al-ramān al-raīm dalam basmalāh atau ayat pertama memiliki makna yang berbeda dengan makna dari lafaz al-ramān al-raīm dalam surah al-Fātiah pada ayat ketiga.

Lafaz ini pada basmalāh, mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah Swt berupa rahmat (kasih sayang) dan ampunan Allah Swt. Sehingga, jika seorang hamba terjerumus/khilaf melakukan maksiat, tidak usah malu dan takut untuk memohon pertolongan dengan mengucapkan basmalāh.

Sungguh Allah Swt menginginkan hamba-Nya agar senantiasa memohon pertolongan dengan nama-Nya di setiap aktivitas. Jika seseorang jatuh pada jurang kemaksiatan, maka dia bertanya bagaimana kalau saya memohon pertolongan dengan basmalāh, sedangkan saya telah melakukan maksiat? Bagi  Al-Sha’rawi perkara ini termasuk pada bab rahmat, maka Allah Swt akan senantiasa mengampuni dan membantu.

Al-Sha’rawi dalam menafsirkan lafaz al-ramān al-raīm dalam ayat ketiga dari surah al-Fātiah, menghubungkan lafaz tersebut dengan kata rabb al-‘ālamīn. Menurutnya kata rabb al-‘ālamīn itu Dzat yang mengadakan semuanya, yang sebelumnya tidak ada. Allah Swt merupakan Rabb bagi orang yang beriman maupun orang kafir (tidak beriman). Oleh karenanya, Allah Swt pula yang memberikan mereka (orang beriman dan kafir) makanan, baik itu nikmat dan kasih sayang, itu semua bukan karena mereka yang meminta haknya.

Baca Juga: Makna dan Urgensi Perumpamaan dalam Al-Quran

Al-Sha’rāwī memberikan contoh nikmat dan kasih sayang yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh semuanya, seperti nikmat sinar matahari dan hujan itu dirasakan bagi orang yang beriman maupun yang tidak. Jadi setiap nikmat yang itu berasal dari sisi rubūbiyyah Allah itu diperuntukkan bagi setiap ciptaannya di dunia, dan itu merupakan kasih sayang yang Allah berikan.

Allah Swt merupakan Rabb bagi semuanya, baik itu untuk hamba yang taat maupun hamba yang melakukan maksiat, dan itu juga perujudan kasih sayangnya, jadi dapat dipahami, lafaz al-ramān al-raīm pada ayat ke tiga merupakan kasih sayang Allah kepada makhluknya. Wallahu A’lam.

Angga Marzuki
Angga Marzuki
Dosen di IAI Bunga Bangsa Cirebon, Alumni Pondok Pesantren Ma'had Shighor, Gedongan, Cirebon.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU