BerandaUlumul QuranManhaj Haraki Ala Muhammad Husein Fadhlullah dalam Tafsir Min Wahyil Quran

Manhaj Haraki Ala Muhammad Husein Fadhlullah dalam Tafsir Min Wahyil Quran

Setelah menguraikan profil kitab dan tokoh Muhammad Husein Fadhlullah dalam tulisan terdahulu, artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut soal metode (manhaj) yang hadir memberi semangat realistis-praktis dalam memberi pemaknaan terhadap ayat Alquran. Metode ini dikenal dengan istilah manhaj haraki, suatu metode yang diterapkan Sayyid Husein dalam karya tafsirnya, Min Wahyi Alquran, sebagai upaya menghidupkan Alquran dalam akal, hati dan kehidupan manusia.

Terminologi dan Asumsi Dasar Manhaj Haraki

Pada artikel sebelumnya dijelaskan bahwa manhaj haraki adalah suatu metode tafsir tahlily (terperinci), dimana seorang mufasir melakukan penafsiran dengan bertumpu pada naungan penjelasan maksud Allah yang tertuang dalam Alquran. Metode ini mengikuti pergerakan mufasir di masyarakat sesuai dengan pergerakan Alquran untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan umat kontemporer. Demikian ini bersandar pada definisi yang diberikan Muhammad Ali Iyazi dalam kitabnya, al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum.

Pada dasarnya, penafsiran Sayyid Husein yang berbasis pergerakan terinspirasi dari manhaj haraki Sayyid Qutb. Namun, maksud haraki dalam Quranic studies adalah penafsiran yang berbasis pergerakan dengan tujuan menghidupkan ruh/intisari Alquran yang bertumpu pada maksud ayat. Maka, titik poin dari manhaj haraki adalah penafsiran yang membumi, yang terfokus pada amali waqi’i (tindakan nyata) atau aspek praktis dari suatu ayat.

Asumsi yang dibangun Sayyid Husein adalah ayat Alquran bukanlah kata-kata yang memiliki makna beku/stagnan (tatajammad), lebih dari itu, ia merupakan kata-kata yang bergerak/bermanufer (tataharrak). Asumsi ini membangun usaha untuk sampai pada tujuan Alquran sebagai kitab petunjuk. Teks Alquran tidak lagi dianggap sebagai wahyu yang mati, tetapi sebagai wahyu yang hidup sehingga harus ditafsirkan sesuai kebutuhan zaman. Upaya yang relatif kuat dalam mengambil inspirasi makna ayat Alquran sebagai sumber pergerakan manusia dalam menghadapi problematika kehidupan, Hasan Hanafi menyebut Sayyid Husein berusaha mentransfer logos ke praktis.

Karakteristik Manhaj Haraki

Salah satu ciri khas yang merepresentasikan manhaj haraki dalam tafsir Min Wahyi Alquran adalah adanya beberapa kata yang sering disebut di sela-sela penjelasan tafsirnya, yaitu taharraka, tataharraka, harakah, harakiyyah. Berikut beberapa karakteristik manhaj haraki yang tertuangkan dalam tafsir Min Wahyi Alquran:

  1. Istiqlaliyyatu Alquran (independensi Alquran)

Prinsip ini biasa dikenal dengan penafsiran Alquran bi Alquran/Alquran yufassiru ba’duhu ba’dan. Pada dasarnya, Alquran adalah nas yang mampu berdiri sendiri dan tidak menggantungkan diri pada nash yang lain. Demikian menunjukkan bahwa Alquran memiliki otoritas tertinggi dalam menafsirkan Alquran itu sendiri. Pengertian ini tidak bermaksud meremehkan posisi riwayat dan khabar, hanya saja menerapkan sikap selektif dalam menggunakan suatu riwayat sebagai sumber kedua bagi umat Islam.

  1. Al-Zuhuru Alqurany (makna lahiriah Alquran)

Sayyid Fad}lullah mempunyai karakter pembacaan yang berpegang teguh pada makna lahiriah teks. Aspek ini menjadi dasar dari metode pergerakan (haraki) yang tertuang dalam tafsirnya. Demikian ini tidak berarti ia meniadakan kebolehan atas pemahaman yang melampaui makna lahiriah.

Ia berupaya agar penafsiran Alquran tidak terfokus pada kaidah linguistik berupa perdebatan panjang mengenai gramatikal maupun balaghah yang dapat menjauhkan dari tujuan utama diturunkannya Alquran. Ia terfokus pada makna lahiriah Alquran di mana tidak akan ditemukan ruang untuk membicarakan Alquran sebagai kitab penuh rumus linguistik serta ungkapan-ungkapan yang jauh dari konteks, sehingga tidak ditemukan cahaya dalam menjelaskan tabiat makna.

  1. Al-siyaqu Alquran (konteks Alquran)

Proses pemahaman terhadap suatu perkataan tidak dapat dipisahkan dari mempertimbangkan konteks/realitas dimana dan bagaimana perkataan tersebut dilahirkan. Jika tidak, hasilnya akan mengarahkan pada pemahaman yang kaku (tekstualis). Demikian ini tidak berarti -dalam Quranic studies– seorang mufassir dapat merubah konteks dengan tujuan menguatkan penafsirannya. Konteks yang dimaksud adalah ketika menafsirkan Alquran, seorang mufassir tidak bisa lepas dari konteks yang melatar belakangi suatu ayat diturunkan dan saat mufassir melakukan penafsiran.

  1. Al-istiha’ (mencari inspirasi)

Uslub ini dalam paradigma kontemporer disebut dengan kontekstual (mencari aspek-aspek inspiratif suatu ayat). Cara kerjanya adalah mengalihkan dimensi material menuju dimensi non-material (maknawi) dan dari pengalaman historis pada masyarakat di mana Alquran diturunkan -termasuk penyelesaian problematika masyarakat tersebut- menuju pengalaman baru dalam menghadapi tantangan dan problematika kekinian. Sehingga, sasaran uslub ini adalah mencari makna di balik ayat (ruh dan spirit suatu ayat), tidak sekedar makna literal ayat.

Implikasi Manhaj Haraki dalam Pembacaan Ayat Alquran

Manhaj haraki Sayyid Husein secara signifikan berimplikasi terhadap pembacaannya dalam menguak serta menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu ayat. Sehingga melahirkan pembacaan yang responsif menjawab isu-isu kontemporer, terlebih pada hal-hal yang menyangkut persatuan dan perdamaian umat seperti kesetaraan gender, HAM, pluralisme dan sebagainya.

Salah satu pembacaan yang representatif terhadap prinsip manhaj haraki adalah ihwal perempuan. Sayyid Husein menjadikan realitas sebagai partner saat menafsirkan Alquran, seperti saat menafsirkan Q.S. an-Nisa’ [4]: 34. Realitas sosial di masa kontemporer menunjukkan bahwa banyak dari perempuan mengemban peran ganda yakni sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir. Dua peran yang diemban sekaligus secara tidak langsung akan mengurangi tanggung jawab sebagai al-madrasatu al-ula bagi anak-anaknya. Sering kali ditemui fenomena anak-anak dititipkan di lembaga penitipan anak, tidak mendapatkan ASI sesuai kebutuhannya sampai pada kurangnya kasih sayang orang tua. Dalam merespon problem demikian, Sayyid Husein mengatakan:

ولسنا هنا لنقرر حرمة عمل المرأة، أو لنحاربه  من ناحية المبدأ، ولكن لنؤكد على الحقيقة الإسلامية التي لا تعتبر أنه الأفضل، في حال تعارضه مع نمو وتطور حياة الأسرة الروحية والمادية.

“Hal ini tidak berarti kami mengharamkan pekerjaan bagi seorang wanita, atau menolak hal tersebut sejak awal, akan tetapi kami hanya menegaskan esensi (hakikat) ajaran Islam yang tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang utama, dalam konteks yang berlawanan dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan keluarga baik secara spiritual maupun material.”

Dalam kondisi demikian, Sayyid Husein tidak mengharamkan seorang wanita bekerja sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Ia hanya menegaskan bahwa pekerjaan tidak utama bagi wanita. Karena pada realitanya, seorang wanita telah dibebankan pada urusan mengurus anak dan rumah. Wallahu A’lam.

Rika Leli Dewi Khusaila Rosalnia
Rika Leli Dewi Khusaila Rosalnia
Alumni Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya. Minat kajian bidang pemikiran-keagamaan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

0
Islam terus menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut laporan Pew Research Center, populasi muslim global diproyeksikan meningkat sekitar 35% dalam 20 tahun,...