BerandaUlumul QuranKolom PakarMaqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang : Mengembangkan Kemampuan Akal dalam Berkomunikasi

Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [2]: Mengembangkan Kemampuan Akal dalam Berkomunikasi

Pada tulisan sebelumnya sudah dibahas maqashid Al-Quran dari ayat perang yang pertama, yaitu Hifz al-Din wa Tathwir Wasailih (mempertahankan agama dan mengembangkan segala sarana untuk kemajuan agama). Di artikel ini akan dilanjutkan pada maqashid Al-Quran dari ayat perang yang kedua, hifz al-Aql wa tatwiruh (mengembangkan kemampuan akal dengan baik).

Dari konsep-konsep maqashid Al-Quran yang ada, penulis menawarkan tujuh poin utama: lima bagian disintesakan dari maqashid al-shari‘ah yaitu al-din, al-nafs, al-‘aql, al-‘irdh, dan al-mâl, ditambah dengan dua poin lain: al-huquq al-insaniyah dan ‘imarat al-‘alam. Ketujuh maqshid tersebut tidak  cukup dengan hanya di-idafah-kan kepada term hifz sebagaimana yang dikenal dalam ilmu maqashid  al-sharî‘ah.  

Kata hifz lebih menonjolkan sisi pasif dan bukan aktif. Sedangkan perkembangan dunia saat ini tentunya menuntut manusia untuk bergerak aktif dan bukan hanya menjadi pribadi yang pasif dan menunggu apa yang akan terjadi. Dengan demikian, penulis mempertimbangkan gagasan Jasser Audah yang menawarkan term development  atau tathwir untuk menyandingi term hifz dengan menerapkan teori sistem.


Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan


Ayat-ayat yang digunakan sebagai contoh di sini masih sama, yaitu ayat perang yang tersebar surat at-Tawbah ayat 5, 29, 36 dan 41, di samping itu juga berlaku untuk ayat-ayat yang bertema sama.

  1. Surat at-Tawbah [9]: 5

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

  1. Surat at-Tawbah [9]: 29

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

  1. Surat at-Tawbah [9]: 36

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

“….dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”

  1. Surat at-Tawbah [9]: 41

اِنْفِرُوْا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”


Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Beruntunglah Bagi Mereka yang Menjadi Pakar di Bidangnya


Hifz al-‘Aql wa Tathwiruh

Maqashid AlQuran yang kedua adalah agar manusia bisa mengembangkan kemampuan akalnya dengan baik. Pencapaian akal yang baik harus didukung dengan pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan menarik ‘ibrah dari perjalanan sejarah manusia. Dalam banyak ayat, Al-Quran memberikan apresiasi kepada mereka yang menjaga dan menggunakan akalnya dengan baik. Seperti pada ayat:

 يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al- Mujadilah [58]: 11).

Menggunakan akal sehat merupakan perintah atas semua umat Muslim dalam segala keadaan. Akal sehat juga dibutuhkan ketika mengontekstualisir ayat Al-Quran, termasuk ayat perang dengan masanya dan juga masa kini. Aktivitas ini  penting  untuk  menjadikan Al-Quran mu’ashir li nafsih,  wa mu‘ashir lana fî al-waqt dhatih. Hal ini disampaikan oleh al-Jabiri dalam Madkhal Ila Al-Quran al-Karim. Menafikan akal dalam proses mendialogkan antara teks dan realita sama artinya dengan menafikan salah satu spirit dari tujuh semangat maqashid Al-Quran.

Dalam konteks keindonesiaan, mengadopsi begitu saja perintah “radikal” yang terekam dalam ayat perang, berarti “membunuh” akal itu sendiri. Tipologi masyarakat Indonesia yang “cepat panas” dan “suka dipuji” seharusnya lebih harus diperhatikan dalam proses penafsiran ayat-ayat tersebut.

Dalam menghadapi masyarakat dengan tipe demikian sejatinya juga telah diakomodir oleh salah satu diksi yang dicontohkan Al-Quran dalam berkomunikasi dengan penganut agama lain dalam ayat:

قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ () قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ () قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّۗ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيْمُ

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah: ‘Allah’, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: ‘Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang amal yang kamu perbuat’. Katakanlah: ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”. (QS. Saba’ [34]: 24-26).


Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran


Jika kita perhatikan lebih saksama, ayat tersebut mengajarkan bagaimana seharusnya memilih diksi yang tepat dalam mengomunikasikan tentang Islam kepada non-Muslim. Tentunya proses seleksi untuk menentukan diksi yang tepat di antaranya menggunakan pertimbangan akal.

Kandungan ayat tersebut menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah seakan mengajarkan kita untuk berkata: “Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu; mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu. Kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya”. Ungkapan yang tentu saja “lebih sopan” dibanding dengan: “Kamilah yang benar, dan kamu sekalianlah yang sesat”.

Kesimpulan ini ditarik dari pemilihan kata ajramna yang berarti pelanggaran-pelanggaran untuk mendeskripsikan ajaran agama Islam, dan justru penggunaan kata ta‘malun yang berarti amal baik untuk menjelaskan keyakinan orang-orang non-Muslim. Allah sama sekali tidak mengajarkan kita untuk menggunakan kata “dosa” atau pun “pelanggaran” ketika menunjukkan eksistensi kaum non-Muslim demi menghindari apriori terhadap Islam juga untuk menjaga perasaan mereka.

Hal ini bukan berarti bahwa kita menganggap agama kita sebagai ajaran yang salah. Tapi merupakan sebuah etika ketika berhadapan dan berkomunikasi kepada “yang lain” tentang perbedaan yang ada. Dalam konteks pribadi, mengimani agama Islam sebagai agama yang benar adalah sebuah keharusan, karena keimanan mutlak didasari oleh keyakinan akan kebenaran.

Namun demikian, mengekspos keyakinan pribadi tersebut dengan mendiskreditkan mereka yang berbeda keyakinan bukanlah pilihan bijak dalam komunikasi antaragama. Kita bebas memuji agama kita “di dalam”, dan di saat yang sama kita diajarkan untuk tidak berlebihan dalam memaksakannya “ke luar”. Memperkenalkan the polite Islam, justru menjadi sebuah pilihan bijak dalam proses dakwah masa kini.

Dengan demikian, menderadikalisir ayat-ayat “radikal” layak untuk dipertimbangkan khususnya dalam ranah tafsir Nusantara untuk Indonesia yang berkemajuan.

Wallahu A’lam

Ulya Fikriyati
Ulya Fikriyati
Doktor bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Madura
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...