Sesuai dengan namanya, metode ijmali (global) merupakan suatu metode penafsiran Al-Quran yang menguraikan kandungan ayat secara umum, singkat, dan ringkas mengenai hukum dan hikmah yang dapat ditarik. Bahasa yang digunakan juga mencakup bahasa-bahasa yang populer, sehingga menjadi mudah untuk dimengerti oleh pembaca.
Penggunaan bahasa yang ringan, membuat penafsiran menjadi mudah dipahami oleh beragam kalangan, baik yang berpengetahuan dalam bahkan berpengetahuan ala kadarnya sekalipun. Quraish Shihab dalam Kaidah tafsirnya mentamsilkan sang mufasir ijmali bagai menyajikan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya, dan telah di iris-iris pula, sehingga siap untuk segera santap.
Pada peraktiknya, metode ini diuraikan ayat per ayat, surat per surat sesuai urutannya, sehingga memperlihatkan hubungan makna antara urutan ayat dan tartib mushafi. Metode ini tidak perlu menyinggung asbabun nuzual atau munasabah-nya apalagi makna kosakata bahasa Al-Quran yang indah tiada tanding itu. Tak ayal, jika metode ini dikenal lebih jelas dan lebih mudah menjelaskan pesan ideal Allah dibalik ayat-ayat Nya.
Sekilas, tafsir ini memang hampir sama dengan model tafsir tahlili, perbedaannya adalah praktik penafsiran ijmali makna ayatnya diungkap secara ringkas akan tetapi cukup jelas, sedangkan yang digunakan metode tahlili ialah menguraikan makna ayat secara terperinci dari berbagai tinjauan dan berbagai aspek yang diulas secara luas.
Baca juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran
Metode Ijmali: Tafsir Era Rasulullah dan Relevansi Masa Kini
Saatnya beranjak mengenal realitas sejarah penafsiran ijmali. Konon, tafsir ijmali sudah tumbuh sejak zaman Rasulullah, bahkan merupakan metode pertama yang telah diaktualkan Rasulullah pada para sahabat. benarkah demikian?. Lantas, masih relevankah metode ini digunakan di era sekarang?, mari simak penjelasannya;
Sejatinya, kesadaran akan pentingnya tafsir sudah ada sejak masa Rasulullah. Para pakar sepakat menganggap metode ijmali sebagai metode pertama yang dipraktikkan oleh Rasulullah, tentu, menjadi metode perdana pula yang lahir dalam sejarah perkembangan dunia penafsiran.
Sebagai orang pertama yang memahami kandungan Al-Quran baik secara global ataupun terperinci, Rasulullah memiliki kewajiban untuk menjelaskan Al-Quran kepada para Sahabat. Metode ijmali dipilih Rasulullah karena di era itu bahasa Al-Quran tidak terlalu menjadi penghambat bagi para sahabat, mengapa? Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka, di masa itu para sahabat juga tahu betul hal apa yang melatar belakangi turunnya ayat tesersebut. Terang saja, manakala terdapat kandungan makna yang tidak dimengerti, sahabat langsung mengacu pada Rasulullah untuk menjelaskan maksud umum maupun kata asing Al-Quran yang tidak dipahaminya.
Waba’du, ketika sang al-Mufassir al-Awwal meninggalkan umatnya, dunia penafsiran semakin berkembang, ragam corak penafsiran setelah ijmali banyak terlahir seiring dengan zamannya, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga ulama terus berupaya memahami kandungan Al-Quran dengan menuangkan karya-karya tafsir berdasarkan pola yang meresponsi fenomena pada masanya.
Baca juga: Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya
Kendati demikian, metode ijmali yang praktis dan mudah dipahami rupanya tidak pernah mati, sebagian para mufasir telah merumuskan metode ijmali dalam beberapa karyanya, diantaranya seperti karya Muhammad Farid Wajdi, bertajuk Tafsir Al-Quran al-Azhim, karya Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, bertajuk Shafwah al-bayan li Ma’any Al-Quran, dan yang tidak asing lagi, Jalal al-Din as-Suyuthi, pengarang kitab tafsir al-Jalalain, yang kitabnya tetap populer hingga saat ini.
Menanggapi relevansi tafsir ijmali dilingkup perkembangan penafsiran era kontemporer, Quraish Shihab dalam kontekstualitas Al-Quran menjelaskan, di tengah peradaban masyarakat maju beserta penemuan-penemuan ilmiah yang telah mapan, menjadikan dasar pertimbangan yang sangat urgen dalam menafsirkan Al-Quran. Menurut beliau, validitas penafsiran dapat diterima, asal penafsiran tersebut memenuhi kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para mufasir.
Abdul Mustaqim menawarkan tiga toeri yang mampu menjadi tolak ukur validitas penafsiran. Pertama, teori koherensi, dalam teori ini penafsiran dikatakan benar apabila konsisten menerapkan metodologi yang dibentuk setiap mufasir. Kedua, teori korespondensi, sebuah penafsiran dikatakan benar bila terdapat kecocokan dan sesuai dengan penemuan fakta ilmiah. Ketiga, teori pragmatisme, sebuah penafsiran dikatakan benar bila secara praktis dapat memberi solusi bagi masalah sosial. Wallahu A’lam.