BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanMeluruskan Doktrin ‘Teror’ Millah Ibrahim (Bagian 1)

Meluruskan Doktrin ‘Teror’ Millah Ibrahim (Bagian 1)

Millah Ibrahim sebagai sebuah kosakata Alquran berisi ajaran luhur Nabi Ibrahim AS tentu sangat akrab di telinga kita. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin berbicara tentang Millah Ibrahim dalam konteks khusus, yaitu suatu terminologi doktrin baru yang berkembang di kalangan kelompok teror.

Millah Ibrahim dalam konteks khusus ini berawal dari sebuah buku yang ditulis Abu Muhammad al-Maqdisiy pada tahun 1431 H atau 2010 M dan kemudian menjadi salah satu buku utama dalam doktrinasi kelompok teror, terutama yang terafiliasi dengan organisasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Baca Juga: Memahami Sasaran dan Sarana Jihad dalam Prespektif Alquran

Abu Muhammad al-Maqdisiy bernama lengkap ‘Ashim bin Muhammad bin Tahir al-Barqawi, berasal dari Yordania dan dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan Salafi-Wahabi di Timur Tengah. Al-Maqdisiy terkenal karena pendapatnya yang mengkafirkan negeri kelahiran yang juga sponsor utama penyebaran Salafi-Wahabi, yaitu Arab Saudi. Karena ideologi dan doktrin yang dia sebarkan memotivasi perorangan dan kelompok untuk melakukan kejahatan teror. Dia beberapa kali dipenjara oleh pemerintah Yordania, penjara yang kemudian mempertemukannya dengan salah satu murid utamanya, yaitu Abu Mus’ab al-Zarqawi yang kelak membidani kelahiran ISIS.

Al-Maqdisiy lahir 3 Juli 1959 di Nablus, kehidupannya tidak pernah stabil dan terus berpindah-pindah. Awalnya dia pindah ke Kuwait dan kemudian pindah lagi ke Mosul Irak, tetapi keinginan yang sebetulnya adalah ke Arab Saudi, dan akhirnya tercapai berkat bantuan salah satu tokoh Salafi-Wahabi, Abdul Aziz bin Baz.

Di Arab Saudi lah al-Maqdisiy belajar dan memperdalam ideologi Salafi-Wahabi. Dia membaca buku-buku Ibn Taymiyah, Ibn al-Qayim dan terutama adalah buku-buku pendiri Salafi-Wahabi sendiri, yakni Muhammad bin Abdul Wahab, serta tokoh-tokoh Saudi lainnya.

Materi-materi Salafi-Wahabi yang dipelajarinya di Arab Saudi dalam waktu yang cukup lama sangat membekas dan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya, dan salah satu pengaruh itu sangat terlihat saat dia menulis buku Millah Ibrahim ini. Dari situ lah kemudian muncul konsensus kesimpulan bahwa ISIS lahir tidak lain kecuali dari rahim ideologi Salafi-Wahabi.

Baca Juga: Menelaah Kembali Konsep Darul Islam dan Darul Harb

Telaah Kritis

Buku Millah Ibrahim karya al-Maqdisiy ini dibaca secara luas oleh publik Indonesia setelah diterjemahkan secara berseri oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansor Daulah (JAD), organisasi yang menjadi afiliasi ISIS di negara Indonesia.

Aman sendiri alumni Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, kampus Salafi-Wahabi pertama di Indonesia yang berdiri tahun 1980 sebagai cabang dari Universitas Imam Muhammad bin Saud Arab Saudi. Sebelum menjadi Amir JAD dan dipidana hukuman mati, Aman bahkan sempat menjadi pengajar di kampus LIPIA tersebut, sampai akhirnya secara terang-terangan mengkafirkan pemerintah Indonesia sebagai pengamalan atau realisasi dari buku Millah Ibrahim ini.

Sebelum dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku, hasil terjemahan Aman awalnya diunggah di website pribadinya yaitu: www.millahibrahim.wordpress.com. Website tersebut kini sudah tidak bisa diakses namun masih banyak website alternatif yang memuat dan menjadi back-up bagi materi-materi yang ditulis atau diterjemahkan oleh Aman ini.

Buku bacaan wajib anggota JAD ini telah beredar luas di Indonesia melalui berbagai website dan kanal media sosial, dan telah meracuni banyak korban terutama dari kalangan pemuda yang mempunyai akses internet. Akibat buku ini banyak pemuda di Indonesia terinspirasi dan terdorong untuk melakukan aksi teror, setidaknya menganggap bahwa yang di luar keyakinannya adalah kafir dan halal darahnya.

Secara ringkas, ide buku ini adalah mengajak pembacanya untuk menganut dan mengikuti apa yang dipropagandakan sebagai konsep ‘Millah Ibrahim’ yang secara tekstual bisa diartikan agama atau ajaran Nabi Ibrahim.

Millah Ibrahim di dalam buku ini digambarkan dan dikonsepsikan sebagai ucapan dan tindakan dakwah Nabi Ibrahim yang prinsip utamanya menurut penulis buku ini adalah membebaskan diri, memusuhi dan memerangi berbagai tindakan kekafiran, yang diistilahkan dalam buku ini sebagai prinsip ‘bara’ah’ dan yang kemudian menurunkan konsep ajaran Islam yang baru berupa al-Wala wa al-Bara’.

Mereka mengklaim berdasarkan tafsir pribadi dan kapitalisasi beberapa ayat Alquran, bahwa mengikuti ucapan dan tindak-tanduk Nabi Ibrahim merupakan suatu kewajiban, dan saat ini tidak ada umat Islam yang mengikuti hal ini kecuali kelompok mereka sendiri, yang ada di bawah bimbingan dan lingkaran Abu Muhammad al-Maqdisiy, penulis kitab ini.

Millah Ibrahim dalam buku ini didefinisikan sebagai:

“Memurnikan ibadah kepada Allah saja dengan segala makna yang dikandung oleh kata Ibadah. Dan berlepas diri dari syirik dan para pelakunya.” (Halaman 28-29)

Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

Penulis buku ini memperkuat definisi yang dibuatnya dengan mengutip pernyataan pendiri Salafi-Wahabi sebagai induk ideologi terorisme dunia yang mengatasnamakan Islam, yakni Ibn Abdil Wahab. Yang menyatakan bahwa inti ajaran Islam ada dua, yaitu pertama, mengesakan Allah dan loyal di dalamnya (al-Wala’), dan kedua, mengecam dan mengkafirkan serta menampakkan permusuhan terhadap yang di luarnya (al-Bara’).

Dalam bahasa lain mereka mengistilahkan dengan tauhid i’tiqady (ideologi) dan ‘amaliy (aksi). Mereka mengkritik orang yang hanya beriman di hati namun tidak melakukan aksi terbuka untuk memusuhi dan memerangi pelaku kekafiran, dan menyebutnya sebagai taghut sebagaimana negara Arab Saudi, yang hanya mengajak pada tauhid namun tidak melakukan aksi memerangi kekafiran (idzhar al-dien), sehingga menurut mereka pincang dalam menerapkan al-Wala’ wa al-Bara’.

Dalam buku ini ditegaskan bahwa beriman saja tidak cukup, namun harus menampakkan permusuhan dan mencaci simbol-simbol kemusyrikan seperti terhadap undang-undang dan sistem hukum negara buatan manusia (taghut), sampai pelakunya kembali kepada hukum Allah, meninggalkan hukum manusia, berlepas diri darinya dan kafir terhadapnya.

Selama manusia masih mengikuti hukum tersebut, maka dilarang untuk berinteraksi dan berbaur dengan mereka (halaman 44). Bahkan bukan hanya tidak bergaul, tetapi juga wajib mencaci undang-undang buatan manusia tersebut secara terbuka dan mempropagandakannya agar semua masyarakat mengetahui, termasuk dengan melakukan serangan fisik sekalipun sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat menghancurkan patung berhala. Menurut buku ini, fitnah terbesar saat ini adalah fenomena menyembunyikan tauhid (halaman 48-49).

Ditegaskan dalam buku ini, bahwa perjuangan menegakkan tauhid sama sekali tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi harus terbuka dan keras, bahkan dalam bahasa mereka dengan memenggal leher. Upaya rahasia hanya boleh dilakukan saat perencanaan dan persiapan. Tetapi di luar itu semua harus terbuka dan salah satunya adalah dengan keharusan berjuang mewujudkan Daulah Islamiyah (negara Islam), yang sesuai keinginan mereka, guna memerangi kekafiran (halaman 66).

Dengan konsep al-Wala’ wa al-Bara’ ini konsekuensinya adalah men-demarkasi manusia terpisah dalam dua garis yang tegas, yaitu barisan orang beriman-bertauhid dan barisan orang kafir, fasik dan ahli maksiat. Dalam istilah mereka yang lain, menjadi jelas antara batas awliya’ al-rahman (kekasih Allah) dan awliya’ syaitan (kekasih setan musuh Allah). Dan dalam istilah yang lain jelas beda antara kaum yang berjenggot-celana cingkrang dan kaum ahli bid’ah yang tidak menerapkannya, di mana keduanya tidak boleh berinteraksi apalagi saling basa-basi (halaman 84).

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Ayat Isra Mikraj

Riwayat tentang Abu Bakar dalam Tafsir Ayat Isra Mikraj

0
Selain narasi dan uraian tentang peristiwa Isra Mikraj, hampir di setiap penjelasan tafsir surah al-Isra’ ayat 1, Abu Bakar menjadi nama yang tidak pernah...