BerandaTafsir TematikMeluruskan Paradigma Keliru tentang Konsep Ekonomi Islam

Meluruskan Paradigma Keliru tentang Konsep Ekonomi Islam

Ketika berbicara mengenai ekonomi, maka secara tidak langsung kita akan dibawa pada bermacam-macam aliran yang menghuni mazhab ekonomi dunia. Masing-masing mazhab ekonomi tersebut memiliki pandangan atau prinsip yang dapat membedakan dari satu kelompok dengan kelompok yang lain. Gagasan-gagasan itu muncul dari latar belakang dan sosio-kultural yang menyesuaikan kebutuhan zaman dan pemikiran para penggagasnya.

Kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan lain sebagainya hadir mewarnai corak perkembangan ekonomi dunia. Islam sendiri juga memiliki aturan dan batas-batas yang sudah terkonsep sedemikian rupa. Akan tetapi, banyak persepsi yang berkembang tentang masyarakat muslim sendiri yang tak mengindahkan konsep ekonomi Islam, dan lebih memilih untuk menggunakan konsep di luar Islam seperti yang disebutkan di atas.

Hal ini bisa kita saksikan dalam kehidupan masyarakat muslim yang menghuni daerah perkotaan yang menjalankan berbagai bisnis tanpa mengindahkan aturan-aturan halal-haram yang sudah ditentukan oleh syariah Islam. Oleh karena itu, sebelum masuk terlalu jauh membahas detail-detail yang ada dalam ekonomi Islam, alangkah lebih baiknya jika kita memperbaiki mindset maupun pemahaman tentang aturan Islam terkait masalah ekonomi.

Baca juga: Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam

Kebanyakan orang menganggap bahwa mazhab ekonomi Islam memiliki pemahaman yang melarang seseorang untuk kaya, cinta dunia, dan menganjurkan pemeluknya untuk terus hidup dalam kesederhanaan (kemiskinan). Lebih dari itu, umat Islam seolah-olah tidak percaya dan merasa pesimis untuk bisa sukses dalam berbisnis jika memaksakan untuk menggunakan konsep ekonomi Islam.

Padahal, Allah menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman dan undang-undang yang seyogianya dijadikan pegangan umat Islam dalam mengarungi kehidupan di dunia, termasuk juga dalam urusan perekonomian. Sementara itu, ekonomi Islam sendiri berupa konsep-konsep yang telah diejawantahkan oleh para pakar dari nas-nas yang terkandung dalam Alquran dan hadis. Hal inilah yang seharusnya menjadi refleksi bagi umat Islam yang sudah sepantasnya menaati apa yang sudah ditetapkan dalam prinsip ekonomi Islam.

Kekeliruan dalam Memahami Ajaran Zuhud

Usut punya usut, kalangan yang tak percaya terhadap ekonomi Islam mendasarkan argumennya dengan nas-nas ayat maupun hadis yang secara eksplisit menganjurkan untuk hidup zuhud dan tidak terlalu serius memikirkan harta. Tampaknya mereka salah tangkap terkait makna tersurat dari nas-nas tersebut. Salah satu yang sering disalahpahami adalah surah Al-Ankabut [29] ayat 64:

وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ وَاِنَّ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ ۝٦٤

Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan. Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya seandainya mereka mengetahui.

Ayat di atas secara eksplisit ingin mengatakan bahwa dunia dan seisinya hanyalah sebuah bayang-bayang yang tidak nyata. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Syaikh Muhammad Asy-Syawi dalam tafsirnya, An-Nafahat Al-Makkiyah:

“Ketahuilah wahai manusia bahwa hakikat kehidupan di dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan, manusia banyak tersibukkan darinya dan berpaling dari negeri akhirat yang ia adalah kehidupan sebenarnya yang tidak fana, sekiranya manusia mengetahui hakikat itu, maka mereka tidak akan mengutamakan yang fana atas yang kekal”.

Baca juga: Isyarat Larangan Monopoli Ekonomi dalam Alquran

Akan tetapi, apakah ayat di atas mengarah pada larangan untuk menjadi kaya? Untuk menemukan titik temu akan makna hakikat dari ayat di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu untuk disampaikan.

Pertama, terkait banyaknya perintah dan larangan untuk menjauhi dunia seperti ayat di atas perlu dilakukan kajian ulang. Artinya, larangan yang dimaksud tidak lantas dipahami secara radikal yang membuahkan pemahaman bahwa tidak boleh mendekati dunia sama sekali. Yang dimaksud teks-teks tersebut ialah larangan untuk memasukkan dunia ke dalam hati seorang mukmin dan menjadikannya sebagai tujuan pokok. Manusia tidak boleh menjadikan hal-hal yang bersifat duniawi mengalahkan urusan ukhrawi. Karena memang, semua yang tampak oleh mata saat ini tidak lain hanyalah bayang-bayang semata.

Inilah yang diwanti-wanti oleh Nabi agar seseorang selalu semangat menjalani kehidupan duniawi sembari tetap bersikap qana’ah (menerima) dan tidak merasa memiliki akan harta yang diperoleh. Dengan sikap legowo, maka seorang muslim akan menerima dengan lapang dada apa pun hasil yang ia terima dari jerih payahnya. Tidak hanya itu, jika seseorang merasa bahwa kekayaan di dunia hanyalah titipan dari Tuhan, maka ia tidak akan merasa begitu kehilangan ketika menyalurkannya pada jalan kebaikan atau tertimpa sebuah musibah.

Islam Tidak Melarang Muslim Menjadi Kaya Raya

Kedua, tidak ada satu pun dalil dalam Islam yang melarang pemeluknya untuk menjadi kaya raya. Yang banyak ialah anjuran untuk mencari harta sebanyak-banyaknya sealah-olah ia akan hidup selamanya. Nabi pernah bersabda:

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ، الْغَنِيَّ، الْخَفِيَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya dan tersembunyi (tidak dilihat oleh banyak orang).” (H.R. Muslim).

Hadis ini di satu sisi menganjurkan umatnya untuk menjadi kaya agar memiliki mentalitas yang kuat. Dan di sisi yang lain, beliau menekankan bahwa sikap sombong dan ria merupakan tindakan yang tercela. Sehingga, ketika ada seseorang mendapat karunia menjadi kaya, hendaknya dia tidak berfoya-foya dan menghambur-hamburkan kekayaannya dengan tujuan pamer.

Baca juga: Legalitas Konsep ‘Hilah’ dalam Alquran

Dapat diambil kesimpulan bahwa Islam tidak melarang pemeluknya untuk menjadi kaya. Bahkan sebaliknya, Islam memerintahkan untuk bekerja keras dengan mencari harta sebanyak-banyaknya agar nantinya dapat membantu saudara-saudaranya melalui zakat, sedekah, wakaf, dan lain-lain.

Maka, sudah jelas bahwa Islam tidak menganjurkan untuk hidup miskin karena akan membuat seseorang lemah. Ditambah, Nabi pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Na’im: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”

Ketika doktrin seperti ini yang berkembang, maka diharapkan dapat membentuk mental masyarakat muslim yang kuat dan tangguh dengan tidak bergantung pada manusia lainnya. Dan rasa-rasanya, jika tidak dibarengi dengan menaati konsep ekonomi yang berlandaskan syariah Islam, maka kesuksesan tersebut tidaklah bermakna apa-apa.

Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah
Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

kaidah Asbabunnuzul

Telusur Kaidah Asbabunnuzul dalam Kitab-Kitab ‘Ulūm al-Qur’ān

0
Dalam ilmu Alquran, di bagian kaidah Asbabunnuzul terdapat suatu kaidah yang lebih khusus lagi, yaitu al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafdz dan al-‘Ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Mulanya...