BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaKembali kepada Al-Qur'an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Istilah kembali kepada Al-Qur’an atau dalam bahasa Arab dikenal Al-Ruju’ ila Al-Qur’an pada dasarnya disepakati oleh setiap Muslim, dari kelompok manapun. Akan tetapi, berbeda-beda caranya yang ditempuh menuju ‘kembali’ tersebut. Di sini, Amin Abdullah mengatakan bahwa yang paling tepat digunakan oleh Muslim Indonesia untuk kembali ke Al-Qur’an adalah dengan model kontekstualis-progresif.

Pandangan Amin Abdullah tersebut diuraikan dalam tulisannya yang berjudul Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah. Ia mengatakan bahwa model tafsir kontekstualis-progresif mengadopsi teori system yang ditawarkan oleh Jasser Auda, terutama enam fitur rumusan hukum Islam yang dimasukkan pada cara kerja model tafsir kontekstualis-progresif. Tulisan ini akan mengulas pemikiran Amin Abdullah dalam kerangka kembali kepada Al-Qur’an.

Mengenal Amin Abdullah

Bagi sarjana Indonesia (mungkin juga dunia) nama Amin Abdullah tidaklah asing, beliau adalah pemikir dan cendikiawan muslim Indonesia era modern kontemporer. Ia dilahirkan pada 28 Juli 1953 di Pati, Jawa Tengah. Beliau menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga dari tahun 2005-2010, Guru Besar Ilmu Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, aktif di Muhammadiyah sebagai wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari 2000-2005, dan lainnya.

Baca Juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

Karya-karyanya cukup banyak, baik dalam bentuk buku, artikel jurnal berstandar nasional maupun internasional, maupun lainnya. Di antaranya adalah Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (2006), Re-strukturisasi Metodelogi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (2007), Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan (2013), Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah (2015), dan lainnya.

Adapun tulisan Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah: dari Qira’ah Taqlidiyyah ke Tarikhiyyah-Maqashidiyyah penulis dapati dalam dua buku, yakni buku Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepimpinan non-Muslim yang diterbitkan oleh PT Mizan Pustaka, Bandung, pada tahun 2015, dan buku Kitab Suci dan Para Pembacanya yang diterbitkan oleh Stelkendo Kreatif, Yogyakarta, pada tahun 2019.

Enam Fitur Kontekstualis-Progresif

Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa enam fitur kontekstualis-progresif Amin Abdullah diadopsi dari tawaran Jasser Auda. Adapun keenam fitur tersebut adalah fitur kognitif, kemenyeluruhan, keterbukaan, hierarki-saling berkaitan, multi-dimensionalitas, dan kebermaksudan atau tujuan utama.

Mengenai fitur kognitif, Amin Abdullah mengatakan bahwa penafsir AlQur’an perlu mampu memisahkan terlebih dahulu antara ‘Wahyu’ dan ‘Kognisi’ terhadap wahyu. Antara ‘wahyu’ dan ‘penafsiran manusia tentang wahyu’. Dengan adanya pemahaman kognisi ini, akan menjawab permasalahan akut dalam pemahaman dan keyakinan keagamaan, antara sisi ‘kemutlakan’ dan sisi ‘kenisbian’.

Mengenai fitur kemenyeluruhan, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini merupakan berkebalikan dari pamahaman ayat-ayat secara atomistik, yakni penggunaan satu nash saja untuk menyelesaikann permasalahan. Karena itu, perlu menerapkan holism melalui operasionalisasi ‘tafsir tematik’ yang tidak lagi terbatas pada ayat-ayat hukum, melainkan juga melibatkan seluruh ayat Al-Qur’an, termasuk yang memuat sosial dan budaya, sebagai pertimbangan dalam memutuskan pemahaman yang komprohensif.

Mengenai fitur keterbukaan, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini untuk memperluas jangkauan makna ‘urf, yang tidak lagi bermakna adat kebiasaan yang berbeda dengan adat kebiasaan Arab, melainkan juga seluruh pandangan dunia dan wawasan keilmuan seseorang. Pandangan duani dan wawasan ini harus bersifat kompoten, yaitu dibangun di atas basis fondasi ‘ilmiah’.

Mengenai fitur hierarki-saling berkaitan, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini dapat memperbaiki dua dimensi dari maqashid syari’ah, yakni perbaikan jangkauan wilayah liputan maqashid, dan perbaikan wilayah jangkauan yang diliput oleh maqashid. Pada perbaikan pertama, terdiri dari maqashid umum, maqashid khusus, dan maqashid partikular. Pada perbaikan kedua, memperluas maqashid dari yang semula bersifat individual ke sosial dan publik.

Mengenai fitur multi-dimensionalitas, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini dapat menjadi tawaran solusi atas dilemma dalil-dalil yang bertentangan. Dengan demikian, hukum Islam menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi problematika kontemporer yang kompleks, bahkan dalil-dalil yang selama ini tidak difungsikan dapat difungsikan melalui fitur multi-dimensionalitas ini.

Mengenai fitur kebermaksudan atau tujuan utama, Amin Abdullah mengatakan bahwa fitur ini ditujukan kepada sumber-sumber Islam primer, misalnya Al-Qur’an. Sehingga surah ataupun ayat-ayat yang membahas tentang keimanan, kisah para nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta, seluruhnya akan menjadi bagian dari sebuah ‘gambar utuh’. Beberapa prinsip dasar tujuan utama dapat disebutkan di sini seperti rasionalitas, asas kemanfaatan, keadilan, dan moralitas.

Kembali Kepada Al-Qur’an

Melalui enam fitur yang telah dikemukakan terdahulu, Amin Abdullah mengatakan bahwa sesungguhnya enam fitur tersebut merupakan satu entitas keuturan alat berpikir, yang saling terkait dan saling menembus antara satu sama lain, yang kemudian membentuk satu kesatuan sistem berpikir. Pada akhirnya, Muslim dituntut untuk menyelesaikan persoalan kontemporer, paling tidak ada lima.

Baca Juga: Tiga Faktor Terjadinya Perluasan Makna Kata dalam Al-Qur’an Menurut Mardjoko Idris

Lima persoalan tersebut yakni persoalan pemerataan dan kualitas pendidikan, eksistensi Negara bangsa, martabat kemanusiaan, hubungan antar-umat berbagai agama, dan kesetaraan gender. Kelimanya ini membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Untuk itulah, car abaca Al-Qur’an dengan model tafsir kontekstualis-progresif sangat diperlukan.

Di antara masa turunnya wahyu pertama hingga masa kini terdapat ribuan tafsir yang diolah oleh akal pikiran manusia di dalam menatap zamannya. Tidak hanya turunnya ayat demi ayat yang mempunyai konteks sosial dan budaya masing-masing, tetapi masing-masing tafsir juga mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Kita pun, menurut Amin Abdullah, hidup di era sekarang juga mempunyai konteks kita sendiri yang khas dan berbeda dari lainnya.

Konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, dan perkembangan ilmu pengetahuan perlu ikut serta membentuk car abaca dan cara memahami isi pesan dan risalah autentik Al-Qur’an, yang menunjukkan sekaligus meniscayakan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dengan model konetkstualis-progresif. [] Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...