BerandaKhazanah Al-QuranMemahami Falsafah Jawa “Urip Iku Urup” Melalui Tafsir Surah Al-Isra Ayat 7

Memahami Falsafah Jawa “Urip Iku Urup” Melalui Tafsir Surah Al-Isra Ayat 7

Kian banyak mutiara terpendam dalam falsafah-falsafah jawa yang kaya akan makna kehidupan. Namun sayangnya hal itu belum banyak terdengar dalam dunia akademik. Demikian ini karena makna-makna falsafah jawa masih sayup-sayup terdengar. Alih-alih, hanya dikira mitos belaka oleh generasi kekinian.

Di antara falsafah tersebut adalah “Urip Iku Urup”. Sekilas ungkapan tersebut terdengar aneh, namun jika ditelisik memiliki makna kehidupan yang sangat mendalam. Tercatat dalam sejarah kuno bahwa kalimat tersebut berasal dari Sunan Kalijaga. Ia merupakan salah satu Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Dalam catatan sejarah, dideskripsikan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 Masehi. Ia merupakan putra dari Raden Ahmad Sahuri (Adipati Tuban VIII) dan Dewi Nawangarum (putri Syaikh Abdurrahim Al-Maghrabi). Sunan Kalijaga dikenal oleh masyarakat Jawa akan kegigihannya dalam menyiarkan Islam melalui pendekatan kultural.

Jadi, tidak pelak ia memperlakukan adat-istiadat yang tidak bermoral dipoles menjadi adat-istiadat yang bermoral dan tentunya bermuatan ajaran Islami. Misalnya wayang kulit yang notabene adalah pertunjukkan tentang cerita Ramayana dan Mahabarata yang bernuasa Hindu, lalu dipoles menjadi cerita-cerita Islami dan menjadi media dakwah.

Baca juga: Tafsir Ahkam : Apakah Boleh Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan Atau Dilagukan?

Mengulik Makna Urip Iku Urup

Kembali pada fokus tulisan ini, yaitu kalimat “Urip Iku Urup” yang digaungkan oleh sang pujangga, Raden Mas Syahid tersebut. Kata pertama adalah “Urip” yang berarti hidup. Tentu siapa yang tidak kenal dengan namanya “hidup”? Barangkali orang-orang akan berkomentar; “Kenapa sih masih dibicarakan. Hidup ya hidup, tinggal dijalani saja, tidak perlu diambil pusing. Itu saja kok repot!”

Tentu pernyataan semacam itu cenderung pragmatis, tidak berpikir jauh dan lebih dalam terhadap arti sebuah kehidupan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah Swt., selain ditugaskan untuk menyembahNya, juga untuk menjadi makhluk sosial, sebagaimana tertuang pada firmanNya, QS. Al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

” … Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”.

Melangkah pada kata kedua, “Urup” yang menginformasikan bahwa hidup pada sejatinya adalah untuk “menerangi”. Menerangi di sini merupakan majaz atau perumpamaan bahwa, hidup itu memberi manfaat kepada alam sekitar. Nabi Muhammad saw., bersabda:

وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah dapat memberikan kemanfaatan bagi yang lainnya” (HR. Ahmad dan Ad-Daruquthni).

Kalimat jargon Sunan Kalijaga tersebut juga mengandung nilai-nilai Al-Qur’an yang tidak lain merupakan kitab pedoman umat Islam. Salah satunya adalah surah Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.

Baca juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia

Tafsir Surah Al-Isra’ Ayat 7

Berdasarkan bunyi ayat di atas, dipahami bahwa pada dasarnya jika seseorang berbuat baik, maka otomatis ia telah berbuat baik bagi dirinya dan orang lain. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 14:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ فَأَطَعْتُمُ اللهَ وَلَزِمْتُمْ أَمْرَهُ وَتَرَكْتُمْ نَهِيْهِ- أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ، لِأَنَّكُمْ تَنْفَعُوْنَهَا بِذَلِكَ فِى دُنْيَاهَا وَآخِرَتَهَا

Jika kalian berbuat baik, lalu kalian memelihara (petunjuk) Allah dan kalian penuhi perintahNya serta meninggalkan laranganNya. Maka, kalian telah berbuat baik bagi diri kalian sendiri. Karena, dengan itu semua, kalian dapat mengambil manfaat untuk kalian sendiri di dunia dan akhirat.

Balasan Allah Swt., kepada orang yang berbuat baik tidak hanya berupa pahala, tetapi juga dapat berupa rasa aman dan tenteram di dunia, serta mendapatkan rezeki dan kekuatan yang tidak disangka-sangka. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 14-15:

أَمَّا فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ اللهَ يَدْفَعُ عَنْكُمْ أَذَى مَنْ أَرَادَكُمْ بِسُوْءٍ، وَيَرَدُّ كَيْدَهُ فِى نَحَرِهِ، وَيُنَمِّى لَكُمْ أَمْوَالَكُمْ، وَيَزِيْدُكُمْ قُوَّةَ إِلَى قُوَّتِكُمْ

Dengan itu semua, dapat diambil manfaat untuk kalian sendiri di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan menjauhkan kalian dari penganiayaan dari orang yang bermaksud jelek pada kalian, dan Allah akan menolak tipu daya orang yang akan (kalian) hadapi. Dan Allah juga mengembangkan harta kalian serta menambahkan kekuatan pada kalian.

Begitu pula di akhirat, seorang yang melakukan kebaikan akan ditunggu kelak di akhirat oleh surga-surga beserta ridhaNya Swt. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 15:

وَأَمَّا فِى الآخرةِ فَإِنَّ اللهَ يُثِيْبُكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِىْ مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ، وَيَرْضَى عَنْكُمْ (وَرِضْوانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ) .

Adapun di akhirat, sesungguhnya Allah akan membalas (kebaikan) kalian dengan surga-surga yang di bawahnya terdapat sungai-sungai (yang mengalir) dan Allah meridhai kalian. (sebagaimana firman Allah Swt), Ridhanya Allah itu lebih besar (dari segalanya).

Jika kita mencerna dengan baik-baik isi penafsiran al-Maraghi, serta menarik ke pembahasan utama, yakni pesan tersirat dari “Urip Iku Urup”, maka disimpulkan bahwa hidup itu sangat dianjurkan dapat memberi dampak positif pada sekitar. Karena kemanfaatan tersebut akan dibalas oleh Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat, dengan balasan yang tidak dapat diduga-duga.

Namun sebaliknya, jika tidak dapat memberi kebaikan kepada orang lain. Maka tentunya tidak boleh berbuat buruk kepada orang lain. Karena akan juga dibalas oleh Allah SWT. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 15:

وَإِنْ عَصَيْتُمْ رَبَّكُمْ وَفَعَلْتُمْ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَإِلَى أَنْفُسِكُمْ تُسِيْئُوْنَ، لِأَنَّكُمْ تُسْخِطُوْنَهُ، فَيُسَلِّطُ عَلَيْكُمْ فِى الدُّنْيَا أَعْدَاءَكُمْ، وَيُمَكِّنُ مِنْكُمْ مَنْ يَبْغِى بِكُمْ السُّوْءَ، وَيُلْحِقُ بِكُمْ فِى الآخرةِ العَذَابَ المُهِيْنَ.

Jika kalian durhaka kepada Tuhan kalian dan berbuat sesuatu yang dilarangnya. Maka, kalian berbuat buruk pada diri kalian sendiri. Karena, kalian membuat (Allah Swt) murka, sehingga Dia akan memberi celah kepada musuh-musuh kalian di dunia, serta memberi peluang kepada orang yang mencari-cari keburukan kalian, dan (pada akhirnya) Allah timpakan kepada kalian adzab yang sangat hina di akhirat kelak.

Penutup

Dari pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan itu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Seseorang dapat bebas memilih ke arah mana kehidupannya berlabuh, demikian pula akibat yang akan ia terima dari perbuatannya. Yang pasti, kebaikan seseorang di dunia, laksana lentera yang dapat menerangi perjalanannya dalam mengarungi gelapnya malam. Toh lenteranya kecil, tetapi setidaknya ia dapat berjalan bersama orang sekitarnya.

Baca juga: Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis

Ahmad Faizal Basri
Ahmad Faizal Basri
Alumni IAT STAI Al Fithrah Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU