Memahami Istilah Bidah dalam Diskursus Para Ulama Tafsir Masa Lalu

Istilah Bidah
Istilah Bidah

Barangkali penggunaan Istilah bidah menjadi istilah yang sangat familiar dewasa ini. Terutama jika berkaitan dengan amalan-amalan furu’iyah dalam agama serta fenomena saling menjustifikasi kebenaran. Salah satu hadis yang berbicara tentang bid’ah dan kerapkali dikutip ialah hadis berikut:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i).

Namun ternyata Imam Jalaluddin al-Suyuthi telah memperbincangkan istilah ini dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an dan ini mengindikasikan bahwa perdebatan yang mengerucut pada klaim-klaim pem-bid’ahan sejatinya bukanlah barang langka dalam sejarah perkembangan Islam. Selain itu juga penggunaan istilah bidah tidaklah terbatas pada ranah fiqh semata.

Setelah ditelaah lebih mendalam, memang didapati bahwa ada perbedaan dalam penggunaan istilah bidah di masa lalu (salaf) dan di masa sekarang (khalaf). Jika di masa sekarang istilah bidah biasanya disasarkan pada masalah-masalah fiqhiyah (berkaitan dengan laku beragama), namun di masa lalu istilah bidah ini ternyata juga diperuntukkan untuk menjustifikasi golongan-golongan dalam masalah teologi/ ilmu Kalam yang akhirnya berpengaruh terhadap metode penafsiran Al-Qur’an.

Dalam kitabnya, Imam al-Suyuthi menerangkan bahwa salah satu syarat dasar bagi seorang Mufassir untuk menghasilkan sebuah tafsir yang baik (mahmudah) adalah memiliki keshahihan aqidah. Baginya, keshahihan aqidah ini penting, agar sang Mufassir dapat bersikap objektif dalam menafsirkan Al-Qur’an dan tidak condong pada kepentingan ideologinya.

Ia membuat sebuah kategorisasi dalam menilai seorang kesalahan Mufassir karena ideologinya. Pertama, mereka adalah golongan yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan makna yang telah mereka pradugakan dan praduga ini muncul dari madzhab teologi yang mereka anut. Salah satu contohnya adalah Mu’tazilah yang mengedepankan rasionya dalam menafsirkan Al-Qur’an. ( رعوا المعنى الذي رأوه)

Kedua, mereka adalah golongan yang menafsirkan Al-Qur’an dengan hanya melihat pada lafadz ayat dan tidak memperhatikan Siyaqul Kalam (konteks kalimat-baik berupa struktur kalimat secara menyeluruh maupun konteks historis atau asbabun nuzul). Jadi yang terpenting adalah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan makna bahasa Arabnya walaupun itu bukanlah pemaknaan yang tepat. (رعوا المعنى بمجرد اللفظ)

Maka keduanya sama-sama telah memelintir maqshudul Qur’an. Baik golongan pertama maupun kedua, dahulu dihukumi sebagai ahli bid’ah karena orientasi mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah untuk pembenaran dari praduga kebenaran mereka masing-masing.

Oleh karena itu, jelas bahwa terdapat perbedaan yang mencolok dari penggunaan istilah bidah di masa lalu dan masa sekarang. Dahulu, istilah bidah juga digunakan pada masalah teologi yang berimbas pada rusaknya penafsiran Al-Qur’an, adapun saat ini digunakan untuk menghakimi golongan yang berbeda dalam pengamalan agama yang sifatnya furu’iyah dalam fiqh.

Jika dibandingkan, perdebatan dan penisbahan klaim bid’ah pada zaman dahulu hanya terlihat dari kitab-kitab para ulama. Jadi masalah ini benar-benar menjadi perdebatan ilmiah karena saling beradu argumentasi dan referensi (mungkin karena belum ada medsos). Namun saat ini perdebatan semisal itu begitu menjamur bahkan menjangkiti orang-orang awam sehingga yang terjadi justru debat kusir.

Maka jika dipahami dengan seksama bahwa apa yang terjadi di masyarakat muslim Indonesia belakangan ini, merupakan imbas dari sikap ta’ashub (fanatisme). Sikap ini tak jarang dilandasi oleh semangat keagamaan yang tinggi dan tidak dibarengi oleh keilmuan yang mumpuni.

Jadi sikap terbaik yang bisa dilakukan umat Islam (dalam hal ini yang masuk kategori awwam) adalah mengikuti ulama yang shahih aqidahnya dan mumpuni keilmuannya serta yang tidak mengajarkan umat untuk berselisih namun berislah (harmonisasi), sembari memperdalam ilmu agar nantinya bisa menjadi agen-agen pelerai konflik dalam masyarakat karena keluasan ilmu dan kebijaksanaan yang dimiliki.

من قل علمه كثر اعراضه ومن كثر علمه قل اعتراضه على الناس

Orang yang sedikit ilmunya justru lebih berpotensi mencederai orang lain sedang yang ilmunya luas akan lebih bijak dalam bersikap“. Wallahu a’lam.