BerandaTafsir TematikDua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7...

Dua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7 – 10

Jiwa yang dalam bahasa agama disebut nafsu, adalah sebuah kekuatan dan merupakan potensi manusia. Jiwa mendorong manusia untuk berkeinginan dan berbuat. Manusia yang bernafsu pasti selalu berkeinginan.

Seseorang yang ingin keluar dari rumahnya menuju suatu tempat, hal itu karena dorongan nafsu. Setiap keinginan yang muncul dari seseorang disebabkan karena dorongan nafsunya.

Harus diketahui bahwa nafsu memiliki dua potensi, yang dianugerahkan Allah Swt sejak diri ketika manusia telah diciptakan oleh Allah Swt dengan sempurna di dalam rahim (kandungan) ibu. Hal ini seperti yang digambarkan oleh Allah di dalam QS. al-Syams [91]: 7-10:

 (7)وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا

(8)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

(9)قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

(10)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Dua potensi manusia yang digambarkan oleh Allah di dalam ayat-ayat di atas ialah potensi buruk (fujur) dan potensi baik (taqwa). Dua potensi manusia inilah yang mendorongnya berbuat jahat dan berbuat baik. Setiap manusia yang memiliki jiwa yang sehat pasti memiliki dua potensi itu. Dua potensi itulah yang meliputi manusia dalam segala keadaan.

Manusia yang beruntung adalah manusia yang mampu menyucikan dirinya dengan senantiasa menjaga potensi baik. Sehingga ia dapat terus melakukan perbautan baik. dan menghindarkan dirinya dari perbuatan jahat akibat dorongan dari potensi buruk.

Dua potensi manusia ini akan melahirkan dua jenis perbuatan, yaitu perbuatan yang baik dan perbuatan yang buru. Potensi baik dari jiwa akan melahirkan akhlak-akhlah mulia (terpuji) yang di dalam bahasa agama disebut akhlaq mahmudah dan potensi buruk dari jiwa akan melahirkan akhlak buruk (akhlaq madzmumah).

Baca Juga: Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Jiwa yang baik akan selalu mendorong pemiliknya untuk selalu berbuat baik, dan ini akan menghasilkan pahala dan ganjaran kebaikan, sedangkan jiwa yang buruk akan selalu mendorong pemiliknya untuk selalu berbuat buruk, dan ini akan menghasilkan dosa yang pada akhirnya akan mendapatkan siksaan dari Allah.

Rasulullah adalah seorang manusia biasa, seperti manusia yang lain, yang diberi tugas kenabian dan kerasulan untuk memperbaiki akhlak. Sebagai penuntun manusia untuk memiliki akhlak yang mulia, maka Rasulullah harus memiliki terlebih dahulu akhlak yang mulia.

Ia adalah panutan bagi semua umatnya sejak masanya hingga akhir zaman. Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang sangat mulia dan terpuji, yang tidak ada tandingan dan bandingannya.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Allah di dalam Surat al-Qalam [68]: 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Begitu pentingnya akhlak mulia ini, sehingga Allah mengutus Nabi Muhammad untuk memperbaiki akhlak manusia. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Rasulullah dalam sabdanya riwayat Imam Malik: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Akhlak yang sangat mulia yang dimiliki Rasulullah menjadikan beliau manusia panutan bagi seluruh umatnya, baik dalam ucapannya, perbuatannya, dan sikapnya. Banyak sekali hadis-hadis Rasulullah yang menggambarkan tentang akhlak Rasulullah yang sangat mulia itu.

Rasulullah sebagai panutan telah ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya di dalam QS. Al-Ahzab [33]: 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Jadi, dapat dikatakan bahwa akhlak adalah cerminan, gambaran jiwa manusia yang terpendam yang terwujud dalam bentuk yang nyata oleh mata, terdengar oleh telinga, baik dalam bentuk perbuatan, sikap, perilaku, dan ucapan-ucapan. Akhlak yang mulia merupakan cermin dari kemuliaan jiwa seseorang. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah cermin dari jiwa yang buruk.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...