BerandaTafsir TematikMemahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran

Memahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran

Secara etimologi, kata ikhlas yang sudah menjadi bahasa baku bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab, yaitu “ikhlāsh” (إِخْلاَصٌ). Kata ikhlas dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “hati yang bersih (jujur); tulus hati”. Keikhlasan yaitu ketulusan hati, kejujuran, kerelaan”. Dari sini dapat dipahami bahwa ikhlas tempatnya di hati, dan merupakan salah satu perbuatan hati.

Di dalam bahasa Arab, kata ikhlas (إِخْلاَصٌ) adalah bentuk dasar dari kata kerja akhlasha (أَخْلَصَ) – yukhlishu (يُخْلِصُ). Kata ini mengandung banyak arti, yaitu “mengerjakan sesuatu dengan hati yang bersih, memurnikan, mengambil intisari sesuatu, dan memilih”.

Jadi, kata ikhlas berarti “pengerjaan sesuatu dengan hati yang bersih, pemurnian hati dengan tulus, dan pengambilan intisari sesuatu. Sebagai contoh adalah ungkapan yang berbunyi أَخْلَصَ الْمُدَرِّسُ فِي التَّدْرِيْسِ (Akhlasha al-mudadris fi al-tadris), yang berarti “Guru itu ikhlas di dalam mengajar.”

Kata إِخْلَاص itu sendiri terambil dari kata dasar khalasha (خَلَصَ)- yakhlushu (يَخْلُصُ), khulushan (خُلُوْصًا), yang mengadung beberapa arti, yaitu “murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain, bersih, jernih, dan bebas dari sesuatu”.

Sebagai contoh ialah ungkapan yang berbunyi: هَذَا مَاءٌ خَالِصٌ (Ini adalah adalah air bening), yaitu air yang tidak bercampur dengan sesuatu yang lain. Kalau sudah bercampur dengan sesuatu yang lain, maka air itu tidak disebut lagi “al-khalish”.

Baca Juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa kata ikhlas ditujukan untuk menunjukkan makna kesucian dan ketulusan hati dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Ikhlas itu dikaitkan dengan perbuatan, yaitu upaya yang dilakukan untuk menyucikan dirinya dari sifat-sifat mencampuri kemurnian dan ketulusan hati. Orang yang memiliki sifat ikhlas disebut “mukhlish”, yaitu orang yang hatinya selalu bersih dan suci dalam melakukan perbuatan.

Sifat ikhlas itu hanya ditujukan kepada satu hal saja. Kalau seseorang menyatakan bahwa “Dia ikhlas kepada Allah melakukan sesuatu”, hal itu menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukannya hanya ditujukan untuk Allah dan karena Allah swt, tidak ada campur baurnya dengan tujuan atau untuk yang lain.

Hati saya ikhlas berarti hatinya yang tertuju kepada Allah dan amal yang dilakukannya hanya untuk Allah. Hati seseorang yang ikhlas itu suci, bersih, dan bening bagaikan air putih, bersih, dan bening yang ada di dalam sebuah gelas, yang belum dicampur dengan cairan lainnya. Kalau sudah bercampur dengan sesuatu yang lain, bukan disebut ikhlas lagi.

Bentuk kata إخلاص tidak ditemukan di dalam Al-Quran. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk yang lain yang merupakan derivasinya, seperti خلصوا (khalashu), خالص (khaalish), أخلصوا (akhlashuu), مخلص (mukhlish), dan مخلصون (mukhlishuun). Bentukan-bentukan (derivasi) dari kata إخلاص yang terdapat di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 31 kali yang terulang dalam berbagai ayat dalam berbagai surah.

Allah swt. menyatakan dalam berbagai ayat tentang pentingnya sikap ikhlas dalam beragama dan beramal. Sikap ikhlas ini menjadi penting karena sesuatu amal akan menjadi bermakna karena keikhlasan niat, dan ketulusannya. Di antara ayat-ayat yang menerangkan tentang ikhlas itu ialah ayat-ayat berikut:

QS. Al-Nisa’ [4]: 146 yang menggunakan kata أخلصوا (akhlashuu):

إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَٱعۡتَصَمُواْ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُواْ دِينَهُمۡ لِلَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَسَوۡفَ يُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١٤٦

“Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan [berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”

QS. Al-Zumar [39]: 11 yang menggunakan kata مخلصا (mukhlishan):

قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

QS. Ghaafir [40]: 65 yang menggunakan kata مخلصين (mukhlishiin):

هُوَ ٱلۡحَيُّ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱدۡعُوهُ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَۗ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦٥

“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Pendapat Tsa’lab yang dikutip Mahmud al-Mishri menyatakan bahwa al-mukhlishiin adalah orang-orang yang menyerahkan ibadah mereka kepada Allah swt. Hati mereka telah disucikan dan dibersihkan oleh Allah swt. Karena itu, al-mukhlishiin itu disebut juga sebagai orang-orang pilihan (terpilih).

Baca Juga: Tuntunan Membina Keluarga dalam Al-Quran: Surat At-Taghabun Ayat 6

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang dalam memeluk agama Allah dan mengerjakan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah swt., harus didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kebersihan hati. Oleh sebab itu, ikhlas merupakan landasan sebuah amal. Amal yang dilakukan harus didasarkan atas keikhlasan yang hanya kepada Allah swt. Sebuah amal yang dilakukan tanpa dilandasi keikhlasan, ketulusan, dan kemurnian hati menjadi amal yang sia-sia.

Secara terminologi kata ikhlas diartikan oleh para ulama, yang dihimpun oleh Mahmud al-Mishri, sebagai berikut:

Al-Kafawi, yang dikutip oleh Mahmud al-Mishri, menyatakan bahwa ikhlas adalah beribadah dengan meniatkan penyembahan terhadap sesuatu yang disembah. Kata ini, menurutnya, diartikan, sebagai penyucian rahasia, perkataan, dan amal.

Abu Utsman al-Maghrabi, yang juga dikutip oleh Mahmud al-Mishri, menyatakan bahwa ikhlas dalah sikap seseorang yang melupakan pandangan seluruh makhluk Allah terhadap amal yang ia lakukan lantaran selalu merasa dilihat dan diawasi oleh Tuhannya. Jadi, bila ia menghiasi amalnya demi manusia dengan sesuatu yang tidak ada di dalam dirinya, berarti ia telah jatuh dari pandangan Allah swt.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S Albaqarah Ayat 205: Sifat Munafik dan Perusak Lingkungan

0
Dewasa ini, kerusakan lingkungan semakin marak ditunjukkan. Kebanyakan dari kerusakan lingkungan tersebut disebabkan oleh ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan lingkungan yang...