Q.S al-Nisa: 1 merupakan salah satu ayat yang familiar didengar oleh umat Islam khususnya pada momen jumatan. Namun terkadang hanya pesan yang sifatnya vertikal saja yang ditekankan, sedangkan pesan yang sifatnya horizontal dalam kaitannya dengan habl min al-nas masih belum terlalu sering didengungkan. Untuk itu artikel ini akan membahas sisi yang masih belum terjamah tersebut dan membacanya dengan kacamata filosofis untuk menekankan dimensi kemanusiaan yang merupakan salah satu wacana hangat dewasa ini.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
Penggalan awal Q.S al-Nisa: 1 ini menginformasikan mengenai salah satu tuntutan yang dibebani kepada manusia. Tuntutan ini bukan tanpa alasan, namun didasarkan pada fakta bahwa Allah merupakan sang Khaliq sekaligus Rabb yang memelihara manusia sehingga bisa berkembang biak. Fakta ini menjawab pertanyaan filosofis tentang asal-muasal manusia sekaligus tugas yang harus dilaksanakan manusia di muka bumi ini.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Benarkah Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Nabi Adam?
Selain itu, penggalan ayat ini juga menginformasikan proses konkrit dari sejarah lahirnya manusia dan hukum alam mengenai akar dari perkembang biakan manusia. Mensarikan narasi Tabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an bahwa representasi Adam As. dan Hawa—yang diciptakan dari bagian tubuhnya—sebagai sejarah lahirnya manusia menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara manusia secara filosofis. Artinya satu dengan lainnya memiliki hak yang sama dan tidak ada alasan untuk membedakan antara satu dengan lainnya dalam aspek apapun baik etnis maupun gender.
Narasi ini memberikan penekanan akan dimensi kemanusiaan di mana manusia satu dengan lainnya memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan yang boleh menjadi sebab bagi satu manusia atau satu etnis tertentu untuk merendahkan manusia atau etnis manusia lainnya. Maka dalam hal tuntutan untuk bertakwa, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya mengatakan bahwa tidak ada satu pun manusia yang lepas dari tuntutan tersebut. Jika dikontekstualisasikan pada kehidupan di Indonesia—sebagai negara hukum, artinya manusia berkedudukan sama di depan hukum tidak ada perbedaan yang bisa membuat manusia lepas dari tuntutan hukum apapun kedudukannya dalam kehidupan sosial.
Kemudian pada penggalan kedua ayat ini (وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ), ada pengulangan sekaligus penambahan tuntutan bagi manusia. Pengulangan terjadi pada objek dari perintah اتَّقُوا di mana kata Allah dan Rabb merupakan kata yang sama dalam substansi yang dimaksud, meskipun dalam penekanan makna apabila dikaji secara semantis memiliki perbedaan sebagaimana artikel Rabb yang pernah penulis publikasikan. Namun meskipun objek yang dituju sama, terdapat perbedaan alasan di baliknya. Pada penggalan kedua ini, ada aspek lokalitas yang diadopsi oleh al-Qur’an.
Aspek lokalitas tersebut ditemukan pada penafsiran al-Razi yang memasukkan pendapat bahwa tasa’ul billah merupakan budaya Arab yang terbiasa mengucap nama Allah dalam berbagai urusan. Maka tidak mengherankan jika ada perdebatan terkait hukum nahwu dari kata وَالْاَرْحَامَ, sebab perilaku tasa’ul ini kadang juga disertai ucapan ar-rahim sebagai nama lain Allah.
Namun, dalam tulisan ini penulis lebih condong menggunakan pendapat yang menempatkan وَالْاَرْحَامَ ber-athaf dengan lafadz Allah daripada bih. Sebab secara makna akan lebih mengena khususnya jika diaplikasikan dalam wacana kemanusiaan. Hal itu didasari dengan data bahwa وَالْاَرْحَامَ dimaknai sebagai hubungan silaturrahim yang begitu erat kaitannya dalam konteks kemanusiaan.
Maka menarik sebenarnya jika konteks lokalitas tadi dibawa pada konteks umum. Jadi dalam segala urusan yang dilakukan manusia, ia tidak bisa lepas dari ketergantungannya kepada Allah sebagai pemelihara dan pengawasnya (اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا), juga tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan manusia lain sebagai sunnatullah bahwa manusia ialah makhluk sosial.
Dengan begitu, penekanan atas tuntutan menjaga hubungan baik antar sesama manusia memiliki makna yang dalam serta landasan yang kuat. Sebab sebagaimana pada penjelasan penggalan pertama bahwa manusia dengan manusia lainnya memiliki keterikatan dari hakikat filosofis yang sama dari sisi asal-muasal dan maupun proses perkembangannya, serta didukung oleh penjelasan penggalan kedua yang menunjukkan bahwa manusia dengan manusia lain juga punya sunnatullah sebagai makhluk sosial yang tidak pernah terpisahkan dalam urusan duniawi.
Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa Ayat 3: Pesan Utama Al-Qur’an yang Sering Dilupakan
Oleh sebab itu, pesan mendalam yang didapat dalam ayat ini-khususnya pada ranah wacana kemanusiaan—ialah bahwa manusia harus saling bahu-membahu, kasih-mengasihi, menjaga satu sama lain serta merawat harmonisasi hubungan di antara mereka. Manusia tidak memiliki alasan untuk merendahkan manusia lainnya atau bahkan membinasakan kelompok yang berbeda darinya akibat adanya perbedaan dalam hal SARA maupun gender, maupun pemikiran—sebagai konsekuensi dianugerahinya akal, li kulli ra’s ra’y.
Maka konteks ketakwaan tidak bisa hanya dimaknai secara vertikal hanya kepada sang Khaliq semata namun juga harus diaktualisasikan dalam wujud ketakwaan horizontal. Sebab itulah wujud keseimbangan kehidupan yang diidealkan oleh al-Qur’an. Mungkin Q.S Al-Nisa: 1 ini saja sudah cukup untuk dijadikan sebagai bahan untuk mengisi khutbah Jum’at. Wallahu a’lam.