BerandaUlumul QuranMemahami Ummi sebagai Gelar Istimewa Nabi Muhammad

Memahami Ummi sebagai Gelar Istimewa Nabi Muhammad

Disebutkan dalam Dala’il al-Khairat bahwa terdapat sebanyak 201 nama yang dimiliki Nabi Muhammad. Sebagaimana asmaulhusna yang disandarkan kepada Allah, penyematan nama-nama Nabi ini tidak lepas dari kemualian Nabi Muhammad sendiri. Pepatah Arab berkata, “Banyaknya nama menunjukkan keagungan pemiliknya.”

Nama-nama tersebut ada yang bisa ditemukan dalam Alquran dan juga dalam hadis. Dalam Q.S. al-Muzzammil [73]: 1 misalnya, Allah memperkenalkan Nabi sebagai muzzammil (orang yang berselimut), sebagai muddaṡṡir (orang yang berselimut) dalam Q.S. al-Muddaṡṡir [74]: 1, sosok yang ra’ūf dan raīm (Q.S. at-Taubah [9]: 128), sebagai ramah (bentuk sayangnya Allah kepada umat manusia) dalam Q.S. Yūnus [10]: 58, dan lain-lain.

Sementara itu, nama-nama yang diperkenalkan ulama berdasarkan hadis misalnya Muhammad, Ahmad, al-Ḥāsyir, al-‘Āqib, al-Māhī, al-Muqaffā, Nabiyy at-Taubah, dan Nabiyy ar-Raḥmah (Jāmi’ al-Uūl fī Aādī ar-Rasūl, 12/90).

Al-Ummi; Gelar Istimewa Nabi

Dari 201 nama yang diperkenalkan Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli ini, terdapat satu nama yang menjadi perhatian banyak ilmuwan, baik muslim maupun nonmuslim. Pasalnya nama tersebut menjadi salah satu jaminan bahwa lafal Alquran bukanlah buatan Nabi Muhammad sendiri. melainkan datang langsung dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril. Nama tersebut adalah al-ummi.

Dalam Alquran, gelar istimewa Nabi yang satu ini disebutkan sebanyak dua kali di tempat yang berurutan, yakni dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 157-158. Pada ayat yang pertama (157), kata al-ummi diperkenalkan langsung oleh Allah dalam menggambarkan sosok utusan terkasih-Nya kepada umat manusia. Sementara pada ayat kedua (158), kata ini disebut sendiri oleh Nabi karena adanya perintah dari Allah.

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ

(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca-tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. (Q.S. al-A’rāf [7]: 157).

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai manusia, sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Tidak ada tuhan selain Dia, serta Yang menghidupkan dan mematikan. Maka, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi ummi (tidak pandai baca-tulis) yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. al-A’rāf [7]: 158).

Baca juga: Para Penulis Alquran di Zaman Nabi Muhammad

Bagi Nabi, tidak bisa baca-tulis menjadi sebuah keistimewaan. Sementara bagi yang lain adalah sebuah kekurangan yang menjadikannya tercela. Sebagaimana sifat sombong ketika disandarkan kepada Allah dan yang lain-Nya, akan menimbulkan penilaian yang berbeda.

Bagi Nabi, sifat ummi merupakan bagian dari mukjizat terbesarnya. Bagaimana tidak? Alquran yang dibacakan kepada sahabatnya kala itu, dalam jumlah yang sedikit demi sedikit sesuai jumlah yang turun, dengan urutan yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri, tidak pernah berubah.

Urutan tersebut bahkan tidak ada perubahan kata maupun kalimat ataupun pengurangan dan penambahan sedikitpun selama tidak ada perintah dari Allah. Bagi kebanyakan orang, konsistensi semacam ini sangatlah berat sekali. Terlebih hal tersebut berlangsung dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.

Asal Usul Penisbatan al-Ummi

Qaḥṭān ‘Abdurraḥmān ad-Dūrī dalam Ummiyyāt ar-Rasūl Muammad menyebutkan empat penyebab penisbatan ummi kepada Nabi. Pertama, kata ini dinisbatkan kepada bangsa Arab kala itu yang umumnya tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Realita ini disebutkan Allah dalam Q.S. Ali Imran [3] 20, Q.S. Ali Imran [3]: 75, dan Q.S. al-Jumu’ah [62]: 2. Di sana Allah menyebut bangsa Arab sebagai al-ummiyyīn.

Kedua, kata tersebut dinisbatkan kepada sosok ibu (al-umm). Tidak ada satupun bayi yang terlahir ke dunia dalam kondisi sudah mampu membaca dan menulis kecuali Nabi Isa (Q.S. Maryam [19]: 30-33) yang sedari bayi sudah bisa berkomunikasi. Kondisi tidak mengenal baca-tulis ini berlangsung pada diri Nabi Muhammad hingga beliau wafat.

Baca juga: Unsur Linguistik dalam Tradisi Baca-Tulis Alquran

Ketiga, dinisbatkan kepada ummat dalam arti bawaan penciptaan. Saat menjelaskan kata ummat, Imam Rāgib al-Aṣfihānī menyitir Q.S. al-An’ām [6]: 38 yang menggunakan kata umam.

Di sana al-Aṣfihānī menjelaskan bahwa makna kata yang menjadi bentuk jamak dari ummat ini adalah “setiap jenis dari umat-umat (aneka ragam hewan) tersebut akan selalu dalam kondisi sebagaimana awal mula penciptannya” (Mufradāt Alfā al-Qur’ān: 86). Sebagaimana diketahui, kemampuan hewan-tanpa dilatih-tidak akan keluar dari kebiasaannya.

Keempat, kata ummi dinisbatkan kepada Umm al-Qurā (kota Makkah) yang penduduknya tidak bisa baca-tulis kala itu.

Baca juga: Perdebatan Akademik Tentang Apakah Nabi Muhammad Buta Huruf atau Tidak

Allah menyifati Nabi Muhammad sebagai ummi sebanyak dua kali, yakni dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 157 dan 158. Kemudian nama ini diperkuat oleh informasi hadis-baik dari pengakuan Nabi sendiri atau sahabatnya-sebanyak enam kali (Ummiyyāt ar-Rasūl Muammad: 7-11). Kesemuanya itu menunjuk pada sosok yang tidak bisa membaca dan menulis.

Hal ini diperkuat oleh pandangan ahli bahasa terhadap term al-umm (Ibn Manẓūr, Lisān al-’Arab), firman Allah dalam Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 48, dan pendapat ulama dari tiga generasi; sahabat, tabi’in, dan tabi’u tabi’in. Aneka pendapat ini bisa ditemukan dalam Tafsir aabarī dan ad-Durr al-Manṡūr, saat menjelaskan Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 48 dan term al-ummi dalam Q.S. al-A’rāf [8].

Pandangan Ulama tentang Ke-ummi-an Nabi

Mengenai pandangan Ulama terhadap ke-ummi-an Nabi, tidak ada satupun ulama yang berbeda pendapat perihal ke-ummi-annya sebelum Nabi dilantik sebagai utusan Allah. Sedangkan setelah pelantikan, para ulama terpecah menjadi dua golongan. Mayoritas berpendapat bahwa Nabi masih tetap pada ke-ummi-annya. Sementara yang lain, tidak menilai demikian. Nabi pada akhirnya bisa baca-tulis.

Di kalangan kelompok yang kedua ini saling silang pendapat mengenai sebab kemampuan baca-tulisnya Nabi. Kelompok pertama seperti Al-Baji, al-Harawi, Abu al-Fatḥ an-Naisaburi, dan Umar bin Syabbah, berpendapat bahwa kemampuan tersebut diperoleh tanpa belajar. Sehingga hal ini menjadi mukjizat Nabi yang lain.

Baca juga: Diskusi Rasm Tentang Makna Ke-ummiy-an Nabi Muhammad saw.

Mereka berpegangan pada riwayat Imam Bukhari dari sahabat Ali tentang perjanjian Hudaibiyah, hadis tentang pahala sedekah (H.R. Ibn Majjah dari sahabat Anas bin Malik), hadis arahan Nabi kepada Mu’awiyah dalam menulis wahyu, dan petunjuk-petunjuk lainnya.

Kelompok kedua dari minoritas ini berpendapat bahwa kemampuan dalam baca-tulis sebagai hasil belajar Nabi. Bahkan menurut mereka, Nabi menguasai 72 atau 73 bahasa. (al-‘Āmilī, Miftāh al-Karāmah; 10/10-11).

Demikian gambaran sekilas pemahaman ulama terhadap salah satu gelar istimewa yang disematkan Allah kepada Rasul kesayangan-Nya. Wallāhu a’lam []

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU