Bintu Syathi dapat dikatakan sebagai sarjana perempuan Islam yang pengaruhnya terhadap tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak kalah dari pengaruh laki-laki. Ia termasuk tokoh Islam yang ikut mewarnai peradaban Islam dengan banyak menulis karya dari berbagai disiplin keilmuan, seperti sejarah, femenisma, tafsir Al-Qur’an, dan lainnya. Bahkan, ia disebut sebagai penafsir perempuan pertama yang memiliki kitab tafsir.
Salah satu karyanya adalah Maqal Fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah. Buku ini diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Manusia, Senstivitas Hermeneutika Al-Qur’an (1997). Di sini, Bintu Syathi menganalisis istilah Al-Qur’an yang merujuk pada makna manusia, yakni basyar, Al-Nas, Al-ins/Al-Insiyah, dan Al-Insan. Sekalipun bermuara pada makna manusia, tetapi berbagai istilah tersebut mengandung pemahaman yang berbeda-beda.
Baca Juga: Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah
Di sini, saya akan membahas klasifikasi istilah Al-Qur’an yang merujuk pada manusia, sebagaimana dalam kajian yang dilakukan oleh Bintu Syathi. Tujuannya sederhana, tulisan ini ingin menunjukkan adanya kekhasan tersendiri dari setiap makna ungkapan Al-Qur’an menjadi bagian penting yang menarik diperhatikan oleh pengkajinya.
Bintu Syathi dan Maqal Fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah
Bintu Syathi merupakan nama pena yang dimiliki oleh perempuan yang ‘Aisyah ‘Abdurrahman. Nama Bintu Syathi merujuk kepada tempat ia dilakhirkan dan dibesarkan, sehingga Bintu Syathi bermakna anak perempuan dari pinggir (sungai). Meskipun menulis berbagai bidang keilmuan, ia lebih dikenal ahli dalam bidang sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an. Ia menjadi professor sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain Syams, mesir, sekitar 1970-an.
Di antara karya-karyanya adalah A’dha’ Al-Basyar (1968), Al-Ab’ad Al-Tarikhiyyah wa Al-Fikriyyah li Ma’rakatina (1968), Al-Tafsir Al-Bayaniy li Al-Qur’an Al-Karim (Vol. I (edisi I: 1962, edisi II: 1966, edisi III: 1968), Al-Tafsir Al-Bayaniy li Al-Qur’an Al-Karim, Vol. II (1967), Kitabuna Al-Akbar (1967), Al-Qur’an wa Al-Tafsir Al-‘Asriy (1970), Al-I’jaz al-Bayaniy li Al-Qur’an (1971), Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (1973), Maqal fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah (1969), dan lainnya.
Perjalanan intelektualnya disebut banyak dipengaruhi oleh suaminya, Amin Al-Khully, seorang ahli sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an sekaligus penulis Manahij Tajdid (1961). Karya Maqal Fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah (1969) dapat dikatakan sebagai karya yang terinspirasi dari suaminya. Dalam karya tersebut, Bintu Syathi menjelaskan jati diri dan karakter manusia dengan merujuk pada basyar, Al-Nas, Al-ins/Al-Insiyah, dan Al-Insan.
Setelah menganlisis beberapa istilah tersebut, Aisyah Abdurrahman kemudian membahas beberapa hal-hal penting terkait manusia, yaitu (1) Khalifah di Bumi, (2) Bersujudlah kepada Adam, (3) Allah Menciptakan Manusia, (4) Mengajarnya Al-Bayan, (5) Amanat Manusia, (6) Kebebasan Manusia, (7) Kebebasan, Penghambaan, (8) Kebebasan Akidah, (9) Kebebasan Akal dan Pendapat, (10) Kebebasan Kehendak. Pada bab Jalan Manusia memuat (1) Keberadaan dan Ketiadaan, (2) Debat Kebangkitan, (3) Sifat dan Esensi, (4) Alam Ruh, (5) Manusia Kontemporer: Agama, Ilmu Pengetahuan.
Sehubungan dengan kajiannya di atas, muncul komentar bernada positif dari sarjana yang mengkajinya. Misalnya, Muhammad Yusron (2006) mengatakan bahwa Bintu Syathi memiliki prinsip dan metode yang bagus yang dapat digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Demikian halnya Miftahul Jannah (2017) menilai bahwa metode analisis teks Bintu Syathi relevan dan realistis untuk digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Istilah yang Digunakan Al-Qur’an tentang Manusia
Dalam kajiannya, Bintu Syathi menunjukkan bahwa istilah-istilah yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam menjelaskan manusia memiliki makna dan tujuannya tersendiri, yang memperlihatkan luar biasanya bahasa dan sastra yang dimiliki Al-Qur’an. Di sini, jati diri dan karakter manusia dalam Al-Qur’an dikaji melalui istilah basyar, Al-Nas, Al-ins/Al-Insiyah, dan Al-Insan.
Mengenai istilah basyar, Bintu Syathi memahaminya sebagai manusia secara biologis, yang bermuara pada dimensi material manusia. Istilah basyar meliputi semua manusia di bumi ini atau seluruh anak cucu Adam. Di dalam Al-Qur’an sendiri, istilah basyar disebutkan sebanyak 35 kali, yang 25 di antaranya dinilai sebagai sisi kemanuisaan yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Istilah basyar dalam Al-Qur’an juga dinilai sebagai kesamaan antara Muslim dan non-Muslim.
Mengenai istilah Al-Nas, Bintu Syathi memahaminya sebagai manusia yang merujuk kepada nama jenis dari keturunan Adam. Dalam artian, manusia sebagai Al-Nas merupakan salah satu spesies makhluk di alam ini, sebagaimana ia rujuk dari QS. Al-Hujurat: 13. Dalam Al-Qur’an, istilah Al-Nas ditemukan sebanyak 240 kali. Sayangnya, banyaknya istilah Al-Nas disebutkan dalam Al-Qur’an tidak membuat Bintu Syathi untuk menjelakan secara lebih jauh.
Mengenai istilah Al-Ins/Al-Insiyah, Bintu Syathi memahaminya sebagai manusia yang maknanya bersebarangan dengan Al-Jis. Dalam Al-Qur’an, istilah Al-Ins dan Al-Jin selalu disebutkan beriringan. Istilah Al-Jin bermakna kesamaran yang seram atau kebuasan, sementara Al-Ins bermakna kelembutan. Lebih jauh, Al-Jin dapat dipahami sebagai semua makhluk yang tak kasat mata, termasuk alien. Sementara Al-Ins/Al-Insiyah dapat dipahami sebagai manusia yang berkarakter lembut, diketahui, dan seterusnya.
Baca Juga: Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im
Mengenai istilah Al-Insan, Ia memahaminya sebagai manusia yang berasal dari Al-Ins. Dalam artian, manusia sebagai Al-Insan merupakan perkembangan dari Al-Ins yang menjadikannya manusia secara utuh. Istilah Al-Insan disebutkan 65 kali dalam Al-Qur’an. Manusia sebagai Al-Insan dapat saja berbeda antar sesamanya manusia, hal ini disebabkan perbedaan fisik dan kecerdasarnya. Sehingga, Al-Insan melampui basyar dan Al-ins. Dari sini, Al-Insan menunjukkan manusia yang menerima beban taklif dan amanah di muka bumi, yang menempatkan dirinya sebagai khalifah.
Paparan singkat mengenai kajian Bintu Syathi mengenai istilah manusia dalam Al-Qur’an di atas, minimal, memperlihatkan makna-makna tersendiri yang dimilikk setiap ungkapan Al-Qur’an. Ini memperkuat asumsi bahwa setiap ungkapan Al-Qur’an dipilih secara tepat, dan digunakan untuk maksud dan tujuan yang tepat pula. Dengan demikian, beragamnya istilah yang merujuk pada manusia juga menunjukkan beragamnya jati diri dan karakter manusia itu sendiri. [] Wallahu A’lam.