Beberapa kasus kekerasan yang pernah terjadi tidak jarang mengatasnamakan agama, terutama atas dasar perintah Alquran. Peristiwa 9 September 2001 di New York, Bom Bali di Indonesia, hingga pengeboman di Makassar pada awal 2021 merupakan sebagian kecil dari tindakan radikal yang mengatasnamakan agama. Pengeboman di Makassar ini menewaskan dua orang dan menyebabkan puluhan orang luka-luka. Jika hal ini dibiarkan, tentu sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Lalu, bagaimana makna ayat-ayat di dalam Alquran tentang perintah perang? Apakah bisa diterapkan di zaman sekarang?
Pengelompokan Ayat-ayat ‘Kekerasan’
Seringkali ayat-ayat Alquran dijadikan sebagai landasan untuk melegitimasi perbuatan radikal yang telah terjadi. Karena itu, penting untuk memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan konteks dan pensyariatannya. Setidaknya, ada dua kelompok ayat yang jika dimaknai secara leksikal, dekat dengan ‘kekerasan’.
Pertama, ayat-ayat jihad. Menurut Seyyed Hosen Nasr dalam The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (h. 313-314), terdapat 36 ayat Alquran yang mengandung kata ja-ha-da (jihad). Menurut Raghib al-Asfahani, arti kata jihad ialah mengerahkan segala upaya untuk mengalahkan musuh. Seperti dalam QS. Alhajj [22]: 78, QS. Attaubah [9]: 41 dan QS. Alanfal [8]: 72. (al-Mufradat fi Garib al-Quran, Jilid 1, h. 187).
Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat
Kedua¸ ayat-ayat perang. Selain ayat-ayat jihad, ayat-ayat yang kerap kali dijadikan dalil untuk mendukung aksi radikal adalah ayat-ayat perang. Istilah perang berasal dari bahasa Arab, yakni qital. Kata qital ini disebutkan dalam Alquran sebanyak 12 kali (CD Alquran, Holy Quran). Secara bahasa menurut al-Asfahani dalam kitab al-Mufradat fi Garib al-Quran (h. 655), lafaz al-qatl bermakna melenyapkan ruh/kehidupan dari tubuh seseorang. Ayat-ayat perang ini di antaranya ialah QS. Alhajj [22]: 39-40, QS. Albaqarah [2]: 190, QS. Annisa [4]: 75, QS. Alanfal [8]: 39, QS. Muhammad [47]: 4, dan lain-lain.
Kekerasan atas Nama Alquran
Menurut M. Quraish Shihab dalam kitabnya Wawasan Al-Qur’an (h. 506), aksi-aksi radikal atas nama agama yang sering terjadi dikarenakan oleh kesalahfahaman dalam memahami ayat-ayat tentang jihad maupun tentang perang. Misalnya saja, jihad hanya hanya difahami sebagai perjuangan fisik. Padahal makna jihad itu luas, seperti jihad menghadapi setan bahkan jihad melawan hawa nafsu.
Di antara ayat-ayat kekerasan yang seringkali disalahartikan serta dijadikan legitimasi oleh pihak Muslim untuk melancarkan aksi radikal ialah QS. Muhammad [47]: 4 sebagai berikut:
فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَضَرۡبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَثۡخَنتُمُوهُمۡ فَشُدُّواْ ٱلۡوَثَاقَ فَإِمَّا مَنَّۢا بَعۡدُ وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلۡحَرۡبُ أَوۡزَارَهَاۚ
Artinya: “Apabila kam bertemu dengan orang kafir, maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga, apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka ata menerima tebusan sampai perang berhenti.”
Jika ayat ini dipahami secara tekstual dan diamalkan, maka akan menimbulkan kekacauan di muka bumi. Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zilalil Quran (Juz. 26/h. 3281) makna “pertemuan” dalam ayat di atas ialah pertemuan untuk berperang dan bertempur. Bukan pertemuan biasa. Dan pada saat ayat ini turun, kaum musyrikin jazirah Arab terbagi atas kelompok yang memerangi Islam (harby) dan kelompok yang berdamai dengan Islam sehingga mereka aman (dzimmy). Yang harby inilah sebagai objek dalam ayat ini, itu pun saat kondisi memang sedang berperang.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari
Bahkan, peperangan dalam ayat inipun masih tergolong manusiawi. Menurut Nur Cholis Majid dalam bukunya, Kristen Bertanya Muslim Menjawab (h. 400) menyebut bahwa perintah memenggal kepala pada ayat ini pada hakikatnya memiliki nilai moral yang tinggi. Sebab, terbukti secara ilmiah bahwa memenggal bagian leher merupakan cara membunuh yang paling cepat sehingga korban tidak terlalu menderita kesakitan. Dengan demikian, ayat ini tidak dapat dipahami secara tekstual saja. Andaipun memang dalam kondisi di tengah perang, maka hakikat membunuhnya pun masih menjunjung tinggi nilai moralitas.
Selain QS. Muhammad 4, yang juga sering dijadikan legitimasi aksi radikal atas nama Alquran ialah QS. Attaubah [9]: 5 sebagai berikut:
فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡهُرُ ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ وَخُذُوهُمۡ وَٱحۡصُرُوهُمۡ وَٱقۡعُدُواْ لَهُمۡ كُلَّ مَرۡصَدۚ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُور رَّحِيم
Artinya: “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Perintah berperang dalam ayat ini bukanlah wajib, melainkan mubah saja. Sebab, larangan untuk berperang di bulan Haram lalu kemudian dibolehkan kembali untuk berperang setelah bulan haram tersebut telah habis. Terlebih lagi, makna membunuh orang musyrik yang dijumpai dan mengepung mereka ialah dalam konteks peperangan, bukan selainnya. Itupun setelah Rasulullah saw. menyampaikan dakwah. Bahkan, menurut ayat ini, Allah Swt. masih memberikan kesempatan bagi kaum musyrikin yang belum puas dengan dakwah atau belum mendengarkan dakwah. Jika mereka menolak pun, mereka masih diberikan hak keamanan terhadap jiwabnya serta bebas memeluk keyakinannya. Begitulah yang disebutkan dalam Tafsir a-Maraghi (Terj. K. Anshori Umar Sitanggal, Toha Putra, 1998).
Alquran sebagai Kitab Pengusung Kedamaian
Menurut Nur Cholis Majid (h. 403) walaupun terdapat ayat yang agaknya berbau kekerasan, namun pada hakikatnya ayat tersebut mengusung misi perdaiaman. Hal ini disesuaikan dengan konteks sosial masrakat Jazirah Arab yang pada saat penurunan ayat terbiasa dengan peperangan untuk mencapai tujuannya (Kristen Bertanya Muslim Menjawab/h. 403). Bahkan, makna jihad menurut Rodin dalam karyanya Islam dan Radikalisme (h. 50) sangatlah luas, seperti berjuang untuk melindungi kaum duafa, membangun sarana dakwah, mendorong kualitas hidup kaum muslimin yang berkaitan dengan kemajuan beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, tidak ada satu pun ayat Alquran yang menyatakan bahwa peperangan merupakan cara untuk mengubah agama suatu masyarakat.
Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita serta menyadarkan kita bahwa ayat-ayat ‘kekerasan’ haruslah dimaknai secara kontekstual. Jangan sampai keinginan yang kuat dalam beragama menjadikan pelaku agamanya menjadi sosok yang brutal dan berlawanan dengan prinsip agama itu sendiri, yakni mengusung nilai-nilai kedamaian. Wallahu a’lam.