BerandaKhazanah Al-QuranMembaca Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0: Sajian Ringan Generasi Terkini

Membaca Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0: Sajian Ringan Generasi Terkini

Penerbit Quanta di tahun 2021 ini menerbitkan salah satu bacaan yang ciamik untuk generasi muda. Terbitan itu bukan sekadar buku religi populer biasa, melainkan berbasis pada bidang ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Buku tersebut berjudul “Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0: Sehimpun Esai Qur’ani untuk Generasi Terkini” yang ditulis oleh sarjana alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saymsuri.

Penulis muda asal Madura ini mendapatkan apresiasi dari Sang Guru KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Ulama Ahli Al-Qur’an ternama di Indonesia. Dalam pengantarnya, Kiai Ahsin Sakho menyaksikan perkembangan pada diri Syamsuri yang ia kenal sebagai mahasiswa aktif dan rajin di perkuliahan hingga lulus dan menulis buku ini.

Sedikit kutipan pengantar dari Kiai Ahsin untuk buku ini, “Buku yang ada di tangan pembaca ditulis dengan baik oleh Sdr Syamsuri. Judul bukunya menarik dan menantan. Betapa tidak? Penulis telah memilih topik-topik yang bernuansa kekinian. Penulis telah berupaya untuk mengurai setiap topik dengan gaya bahasa yang lugas dan jelas disertai dengan argumentasinya,” kata Kiai Ahsin Sakho.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Anjuran Membersihkan Ruas Jari Saat Bersuci

Isi Buku Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0

Syamsuri yang merupakan alumni pesantren Al-Mardliyah, Pesantren Tahfiz Al-Qur’an As-Sa’idiyah Sampang Madura, dan Pesantren Darullughah Waddirasatil Islamiyah Pamekasan menyajikan bahasa yang ringan namun bernas dalam buku ini. Buku dengan cover warna biru ini menhimpun 46 esai dengan pembahasan isu yang beragam. Namun di balik keragaman isu tersebut, Syamsuri menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rambu-rambu yang mengatur keharmonisan jalannya kehidupan. Tanpa rambu, manusia akan melampaui batas. Tak akan pernah ada toleransi, tak akan tercipta sebuah keharmonisan, jika seseorang mengabaikan petunjuk-petnujuk Al-Qur’an.

Penegasan ini secara gamblang ia sebutkan di sinopsis bukunya. Selain itu, ia juga membubuhkan satu esai tersendiri terkait hal ini di bab pertama dengan judul Al-Qur’an sebagai Rambu-Rambu Kehidupan. Sebagai bab pertama, Syamsuri seakan-akan memondasi bangunan rumahnya dengan sangat baik, sebelum ia susun bab-bab selanjutnya.

Sementara pada bab-bab selanjutnya, pembahasan lebih meriah dengan judul-judul yang dalam bahasa periklanan sungguh eye catching. Misalnya saja Benarkah Al-Qur’an Sumber Autentik Pluralisme?, Jangan Merasa Berjasa Terhadap Agama, Dosa atas Nama Agama, Jihad yang Disalahpahami, Benarkah ‘Jidat Hitam’ Tafsir dari ‘Atsar As-Sujud’?, Berdoa atau Mengatur Tuhan?, hingga Boleh Sombong Asal…

Baca juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Judul-judul esai tersebut hanyalah contoh sebagian saja dari total keseluruhan yang ada. Pola yang disajikan oleh Syamsuri bukan terfokus pada satu ayat yang kemudian dibahasnya, melainkan mendekatkan dengan persoalan sembari ia bahas ayat-ayat yang bersangkutan. Dalam beberapa tulisan, ia menyebutkan kutipan dari tafsir ternama. Misalnya saja pada judul Menelisik Makna Wasilah dalam Al-Qur’an.

Ia menampilkan QS. Al-Isra’ [17]: 57 yang berbunyi,

﴿ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهٗ وَيَخَافُوْنَ عَذَابَهٗۗ اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوْرًا ٥٧ ﴾

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.”

Kata wasilah dalam ayat ini bermakna jalan agar lebih dekat menuju Tuhan. Syamsuri dalam penafsiran ini, menampilkan juga pendapat Ibnu Jarir at-Thabari. Kemudian Syamsuri membahas contoh-contoh jalan menuju Tuhan melalui berbagai perantara. Ia mencontohkan bisa melalui uzlah (menyendiri dari keramaian),  zikir bi al-sir (zikir dalam hati) layaknya yang diajarkan oleh Sykeh Bahauddin An-Naqsyabandi, zikir bi al-jahr (zikir dengan nyaring) seperti yang diajarkan oleh Sykeh Abdul Qadir Al-Jaylani. Ia juga megutip salah satu qasidah burdah yang berisi tawassul terhadap kemuliaan Nabi Muhammad. Dalam pembahasan ini, Syamsuri tampak menampilkan paham keagamaan yang dekat dengan tradisi masyarakat Indonesia, yakni dekat dengan sufi-tarekat.

Penulis juga mengamati ada banyak esai yang menjadi alternatif-penawar dari problem dewasa ini. Saat ini kita memang dimudahkan teknologi, namun disisi lain juga mudah berpenyakit hati. Beberapa esai dalam buku ini mungkin bisa menjadi jawabannya, seperti Jangan Bangga dengan Pujian  Jangan Sedih dengan Cacian, Benarkah Sabar ada Batasnya, Jangan Menjadi Diri Sendiri, dan Musuh Jangan Dicari Ketemu Musuh Jangan Lari.

Baca juga: Pemikiran Roberto Tottoli Tentang Perkembangan Istilah Asbabun Nuzul

Di penghujung buku ini, Syamsuri menutupnya dengan menarik. Ia menulis sutu judul Pada Akhirnya Semua Masuk Surga. Syamsuri membuka buku dengan menyebut Al-Qur’an sebagai rambu-rambu kehidupan, dan menutupnya bahwa surga bukan milik perorangan dan sekelompok tertentu. Surga milik Allah dan hanya Dia yang menentukan siapa yang berhak menempatinya. Di sini ia ingin menunjukkan betapa luas kasih sayang Allah.

Demikian sedikit ulasan tentang buku Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0 karya Syamsuri. Semoga bermanfaat

Wallahu a’lam bi al-shawab[].

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU