BerandaKhazanah Al-QuranMempertanyakan Klaim Tertua Naskah Jalalain Museum MAD

Mempertanyakan Klaim Tertua Naskah Jalalain Museum MAD

Temuan naskah tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Demak (selanjutnya disingkat MAD) sebagaimana pernah penulis ulas di Temuan Tafsir Jalalain Tertua di Museum Masjid Agung Demak agaknya masih menyisakan pertanyaan, benarkah naskah Jalalain tersebut naskah tafsir tertua atau bahkan naskah pegon tertua? Kebenaran atas jawaban pertanyaan ini memiliki implikasi yang cukup tinggi.

Pasalnya klaim ‘tertua’ atas naskah ini sangat bernilai karena ‘membatalkan’ status tertua yang disandang beberapa naskah berdasar segmen yang dimiliki. Segmen tafsir misalnya, yang tertua saat ini diketahui adalah naskah berkode MS Li. 6.45 koleksi Thomas Erpenius yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge.

Dari segmen Jalalain, naskah ini lebih tua dari naskah asal Cirebon yang disalin oleh Haji Muhammad Hasan Basri tertanggal 1033 H. atau setara 1624 M. sebagaimana telah diulas oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban. Sedangkan dari segmen pegon, naskah Museum MAD ini lebih tua dari naskah Muqaddimah al-Hadlromiyyah berkode Sloane 2645 tertanggal 1545 tahun Jawa atau setara 1623 sebagaimana telah diulas Nur Ahmad.

Baca juga: Manuskrip Tafsir Jalalain Sunan Bonang di Masjid Agung Demak

Klaim tertua naskah Jalalain Museum MAD ini didasarkan pada catatan kolofon yang menyebut sanah alf, yang kemudian ditulis kembali pada tulisan yang tertera pada display naskah “Selesai ditulis pada saat terbitnya Matahari (waktu dhuha) / Hari Sabtu, tanggal 20 bulan Sa’ban tahun 1000 Hijriah”. Termasuk tambahan tulisan “Karangan : Sunan Bonang, Tuban”, yang entah didasarkan dari mana.

Spesifik pada usia naskah Jalalain tersebut-karena hanya usia saja yang hendak penulis ulas pada tulisan kali ini-agaknya perlu dikaji kembali. Hal ini karena menurut informasi yang diberikan Anasom pada upaya digitalisasi yang telah ia lakukan pada tahun 2022 silam disebutkan bahwa naskah tersebut menggunakan alas kertas Eropa dengan countermark (cap tandingan) tertulis B.D.G & Zn (posisi huruf n berada di atas huruf Z).

Dari sini, menarik untuk dicermati apakah penggunaan kertas Eropa telah dijumpai di masa itu, yakni pada tahun 1000 Hijriah atau setara dengan 1590-an Masehi. Karena jika merujuk pada keterangan yang dikutip oleh Uka Tjandrasasmita dari Pigeaud, penggunaan kertas Eropa di Indonesia baru dimulai pada abad ke-17 Masehi dan terus meningkat sampai abad ke-19 Masehi sebab adanya pendudukan pemerintah kolonial yang turut memberikan dampak pada lingkungan keraton. Sehingga besar kemungkinan bahwa pada masa tersebut kertas Eropa belum digunakan.

Baca juga: Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

Penelusuran terhadap cap tandingan kertas juga mengalami kesulitan karena katalog kertas yang penulis punya hanya didasarkan pada watermark (cap kertas), dan bukan countermark (cap tandingan), yakni milik W. A. Churchill berjudul Watermark in Paper in Holland, England, France, etc. in the XVII and XVIII Centuries and their Interconnection dan milik Edward Heawood berjudul Watermarks Mainly of the 17th dan 18 th Centuries. Ini juga berarti bahwa katalog yang tersedia hanya berkisar pada abad ke-17 dan 18 Masehi.

Analisis terhadap pemaknaan antar baris (interlinear translation) juga tampaknya tidak dapat dilakukan karena tinta yang digunakan agaknya berbeda dengan tinta yang digunakan pada teks utama, yakni teks Alquran dan teks tafsir yang dituliskan pada naskah. Namun jika dipaksakan, model pemaknaan yang digunakan agaknya menunjukkan pada model pemaknaan abad ke-16 Masehi, tetapi belakangan.

Penggunaan beberapa diksi yang identik dengan tarkib (posisi kata dalam kalimat) tertentu, seperti utawi, iku, ing, hale, dan derapun menjadi alasan yang cukup kuat. Model pemaknaan di abad ke-16, sebagaimana informasi Nur Ahmad tidak demikian. Tidak ada penggunaan diksi semacam ini, kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas. Apalagi dalam naskah Jalalain Museum MAD ini model pemaknaan yang demikian digunakan secara konsisten.

Baca juga: Analisis Makna Pegon pada Naskah Tafsir Jalalain

Jika penggunaan kertas pada naskah dipertanyakan, lantas bagaimana dengan catatan kolofon yang menyebutkan sanah alf? Mengenai hal ini penulis belum menemukan jawaban pasti kecuali hanya menawarkan takwil pembacaan catatan tersebut. Bukan dibaca alf yang berarti seribu melainkan dibaca alif yang berarti tahun Alif sebagaimana tahun Jawa atau mungkin dalam penanggalan lain.

Akan tetapi, takwil ini pun harus dilakukan kajian terhadap perhitungan tahun tersebut dan hal itu di luar kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis mengajak pembaca sekalian untuk bersama-sama menelaah naskah Jalalain koleksi Museum MAD ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU