Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar istilah mutasyabih? Jika jawabannya ialah ayat-ayat yang samar maknanya, maka saatnya Anda menjawab pertanyaan selanjutnya, apa bedanya dengan istilah mutasyabihat? Kalau jawaban Anda sama, mungkin tulisan ini cocok untuk Anda baca hingga akhir.
Mutasyabih dan mutasyabihat adalah istilah yang populer dalam kalam kajian Ulum Al-Qur’an. Biasanya kedua istilah ini digunakan dalam pembahasan ayat-ayat yang samar maknanya. Namun ada pula pembahasan lain yang cukup sering juga menggunakan kedua istilah ini, yaitu pada pembahasan kemiripan redaksi ayat-ayat Alquran.
Baca Juga: M. Abid al-Jabiri dan Konsep Muhkam-Mutasyabih
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab, juz 13, 503 kedua istilah tersebut berasal dari satu akar kata, yaitu syabiha yang berarti “samar” atau “serupa”.
Dari kedua makna ini, istilah mutasyabih dan mutasyabihat seharusnya dapat diposisikan sebagai dua entitas berbeda dalam Ulumul Qur’an. Mutasyabih untuk membahas kesamaran makna, dan mutasyabihat untuk keserupaan kata.
Secara gramatikal memang tidak ada kesalahan jika menggunakan istilah mutasyabihat dalam membahas tentang ayat yang maknanya samar. Hal ini disebabkan karena istilah tersebut biasa disandingkan dengan kata “ayat” sehingga disebut “ayat mutasyabihat” dalam konstruksi na’at wal man’ut (sifat dan sesuatu yang disifati).
Meski demikian jika dilihat melalui sudut pandang leksikal, istilah ayat mutasyabihat tersebut tetap akan membawa kepada ruang kesalahpahaman, apakah yang dimaksud adalah ayat-ayat yang ber-tasyabuh (samar) dari segi makna, yang menjadi lawan dari ayat muhkamat, atau yang dimaksud istilah tersebut adalah ayat-ayat yang tasyabuh (mirip) secara teks?
Menurut penulis, istilah mutasyabih lebih tepat untuk membicarakan ayat-ayat Alquran yang samar maknanya, karena dalam pembahasan tersebut istilah mutasyabih sudah memiliki pasangan yang menyandinginya, yaitu muhkam.
Sedangkan istilah mutasyabihat lebih tepat untuk menyebut ayat yang memiliki kemiripan redaksi sesuai bentuknya yang jamak, karena ayat-ayat tersebut sangat banyak jumlahnya. Bahkan menurut al-Kirmani sebagaimana dikutip oleh Nashruddin Baidan bahwa 90% ayat Alquran adalah mutasyabihat (beredaksi mirip).
Argumentasi ini bukannya dibangun tanpa dasar, as-Suyuthi dalam karyanya, al-Itqan fi Ulumil Qur’an menggunakan kata mutasyabih dalam bab al-muhkam wal mutasyabih dan istilah al-mutasyabihat dalam bab tersendiri tentang ayat-ayat yang mirip. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah mutasyabih dan mutasyabihat memang dibedakan, setidaknya oleh ulama setingkat As-Suyuthi.
Baca Juga: Penggunaan Takwil Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat, Berikut Penjelasannya
Menanggapi kesalahkaprahan penggunaan istilah-istilah keagamaan, menurut Siswanto Masruri dalam artikelnya, Paradigma Liberal dalam Pendidikan Global hal tersebut salah satunya disebabkan terlalu beragamnya terminologi kegamaan. Hal seperti ini akhirnya membuat masyarakat bingung, padahal menurutnya, berbagai istilah tersebut mempunyai substansi yang sama.
Kesimpulan Siswanto Masruri tersebut tidak sepenuhnya benar, istilah mutasyabih dan mutasyabihat meski memiliki kemiripan, tapi tidak seratus persen sama maksudnya. Dalam penggunaan istilah mustasyabih dan mutasyabihat, yang terjadi adalah pemahaman yang terkunci terhadap satu makna, sehingga mengira istilah lain yang teksnya mirip sebagai sesuatu yang sama.
Baik di kalangan masyarakat umum maupun pelajar seringkali mengartikan kedua istilah tersebut sebagai ayat Alquran yang maknanya samar, lalu berdebat mengenai hukum penakwilannya. Terkadang mereka bahkan tidak mengetahui bahwa terdapat kajian mengenai kemiripan redaksi ayat Alquran yang juga diistilahkan sebagai mutasyabihat.
Terakhir, penulis berpikir bahwa penetapan perbedaan kedua istilah tersebut perlu diwacanakan. Sudah sepantasnya keduanya digunakan berdasarkan pembahasannya dalam Ulum Al-Qur’an. Ini juga akan lebih mempermudah langkah pengkaji ilmu Alquran dalam memahami keduanya.
Wallahu a’lam.