BerandaTokoh TafsirM. Abid al-Jabiri dan Konsep Muhkam-Mutasyabih

M. Abid al-Jabiri dan Konsep Muhkam-Mutasyabih

Abid Al-Jabiri ialah salah seorang pemikir muslim kontemporer. Dari sekian penelitian yang mengkaji biografi dan pemikirannya, beliau hampir selalu dilabel sebagai seorang filsuf. Tidak banyak yang menyoroti pemikirannya tentang kajian Alquran. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mengangkat tema tersebut, utamanya tentang bagaimana pandangan al-Jabiri terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dalam Alquran.

Pandangan Abid al-Jabiri terhadap Muhkam dan Mutasyabih

Al-Jabiri mengawali pembahasan muhkam dan mutasyabih dengan menunjukkan beberapa perdebatan mengenai tema-tema yang sepadan dan banyak diperbincangkan di kalangan ulama era klasik, baik dari kalangan para mufasir, ahli fikih, hingga ahli kalam.

Problematika muhkam dan mutasyabih dalam Alquran merupakan perdebatan yang sama kompleks dengan pembahasan nasikh dan mansukh dalam Alquran. Keduanya (muhkam-mutasyabih dan nasikh-mansukh) merupakan tema yang sering dikaji. Disebabkan karena kompleksnya perdebatan itu, sehingga tidak ditemukan definisi-definisi patennya di masa awal Islam (Al-Jabiri, Fahm Al-Qur’an al-Karim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul, 166).

al-Jabiri kemudian membahas tentang wacana Alquran dan kemunculan takwil. Menurutnya, wacana Alquran merupakan respons Tuhan terhadap realitas kehidupan bangsa Arab. Respons tersebut meliputi segi bahasa, sistem sosial, budaya, dan peradaban.

Al-Jabiri mencontohkannya dengan konsep tauhid yang merupakan respons Tuhan terhadap sistem dan kebudayaan penyerupaan Tuhan (Fahm al-Qur’an al-Karim, 166). Bangsa Arab kala itu menyerupakan bentuk Tuhan ke bentuk-bentuk seperti batu. Mereka membentuk batu-batu menjadi patung-patung berhala untuk disembah yang dinamai Latta, Uzza, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, Alquran ketika merespons pembicaraan tentang Tuhan menggunakan kata-kata (lafaz), persamaan (‘ibarah), dan gaya bahasa (uslub al-lughah) dalam mengekspresikan pesan-pesannya, dengan menggunakan sistem bahasa di kalangan orang Arab saat itu.

Jika menggunakan lafal tidak melahirkan solusi, maka Alquran kemudian menggunakan persamaan (ibarah). Ibarah yang ada dalam ayat-ayat Alquran tersebut tidak bertentangan dengan gramatikal orang Arab (Fahm al-Qur’an al-Karim, 169).

Perdebatan pemikiran Islam kemudian muncul di masa selanjutnya, ketika pemikiran tentang akidah keagamaan menjadi topik perdebatan di masa kekhalifahan Bani Umayyah. Perdebatan tersebut menimbulkan terjadinya gesekan antarpemikiran dan di antara pengikutnya. Dari sini kemudian timbul dan berkembang pembahasan takwil.

Jika penelitian sebelumnya mengatakan bahwa Al-Jabiri menggunakan pendekatan sejarah dalam kitab Fahm al-Qur’an. Maka bisa dikatakan dalam pembahasan tentang muhkam dan mutasyabih, al-Jabiri tetap konsisten menggunakan pendekatan tersebut.

Menurut al-Jabiri, problematika mengenai sejarah pemikiran Islam sudah ada sejak awal. Oleh karena itu, untuk menyelesaikannya perlu menelusuri kembali pada masa Nabi. Diketahui bahwa hal tersebut muncul di periode Madinah. Yaitu, ketika kaum muslimin mulai menduduki wilayah Madinah yang merupakan mayoritas penduduknya beragama Yahudi.

Orang-orang Yahudi di Madinah mulai mempertanyakan hal ihwal Alquran. Mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai Alquran khususnya perihal akidah kepada Nabi dan umat Islam.

Menurut al-Jabiri, mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu bertujuan untuk membingungkan umat Islam (Fahm al-Qur’an al-Karim, 167). Dari sinilah kemudian umat Islam mulai berpikir keras untuk menjawabnya dengan merujuk terhadap wacana yang ditunjukkan oleh Alquran, termasuk berupaya untuk menakwilkannya.

Al-Jabiri berpendapat bahwa takwil di kalangan umat Islam mengacu terhadap tiga rujukan; bahasa, tradisi Islam, dan tradisi sebelum Islam. Pertama, bahasa, yakni dengan menganalisis stuktur bahasa Alquran. Kedua, tradisi Islam, yaitu menakwilkan menggunakan tingkah laku Nabi (hadis) dan dan perkataan sahabat (athar). Ketiga, yakni tradisi lama sebelum Islam, maksudnya tradisi yang berkembang dalam kebudayaan Arab sebelum datangnya Islam. Ini dikenal dengan istilah “israiliyyat” (Fahm al-Qur’an al-Karim, 168).

Pemahaman terhadap Alquran cenderung digunakan untuk maksud yang bermacam-macam, seperti penafsiran, takwil, dan asas-asasnya. Keberagaman atau perbedaan rujukan dalam menakwilkan ayat Alquran di atas, jelas menimbulkan perbedaan dan perselisihan di antara ulama. Pemahaman yang berbeda itu mempunyai pengaruh besar dalam pemahaman terhadap Alquran.

Baca juga: Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko

Penafsiran al-Jabiri terhadap Q.S. Ali Imran [3]: 7

Sebagaimana para ulama lainnya, al-Jabiri juga menyebutkan bahwa perdebatan dan perselisihan mengenai pendefinisian muhkam dan mutasyabih disandarkan terhadap Q.S. Ali Imran [3]: 7:

“Dialah (Allah) yang menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Nabi Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Kitab (Alquran) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Alquran). Semuanya dari Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul-albab.” (Q.S. Ali Imran [3]: 7).

Al-Jabiri mengatakan, “Perdebatan yang sangat panjang untuk memahami lafal al-muhkam, al-mutayabih, um al-kitab, al-ta’wil, dan al-rasyihuna fi al-ilmi. Perdebatan menjadi lebih panjang dengan menambahkan pertanyaan mana ayat yang muhkam dan mana ayat yang mutasyabih? Dan siapa mereka yang dimaksud “al-rasyihuna fi al-ilmi?(Fahm al-Qur’an al-Karim, 168).

Al-Jabiri menjelaskan perdebatan ini sangatlah luas sekali. Para pemikir muslim terdahulu mengkajinya dengan tanpa adanya batasan dan sering mendistorsikan makna. Menurut al-Jabiri, mereka memaknai kata “ayat” ( آيَاتٌ ) dengan suatu yang menjadi bagian dari Alquran.

Al-Jabiri tidak menemukan makna tersebut dalam serangkap wacana Alquran. Menurutnya, semua ibarah dalam Alquran menunjukkan bahwa kata ayat tersebut bermakna “tanda” (al-alamah). Maka, Ketika kata ayat dimaknai “bagian dari Alquran”, pembahasannya akan mengalami perluasan dan tidak ada batasan (Fahm al-Qur’an al-Karim, 168).

Oleh karena itu, al-Jabiri berpendapat bahwa perlunya siyaq untuk membatasinya. Siyaq adalah urutan ayat yang saling berhubungan. Menurutnya, pemahaman yang tidak menggunakan siyaq akan menimbulkan penakwilan liar. Untuk memahami makna ayat di atas secara komperehensif perlu melihat hubungan dan runtutan ayat tersebut (siyaq al-kalam).

Memahami Q.S. Ali-Imran [3]: 7 harus menghadirkan ayat-ayat yang lain pula. Menurut al-Jabiri, Q.S. Ali Imran [3]: 7 bisa dipahami dengan melihat Q.S. Ali Imran [3]: 1-7. Dia berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut sangat jelas hubungannya dengan beberapa tanda yang terdapat dari ketujuh ayat tersebut.

Pertama, tanda tauhid. Kedua, tanda kebenaran Alquran di antara kitab Injil dan Taurat. Ketiga, tanda kelahiran. Keempat, tanda orang-orang yang sesat. Tanda-tanda tersebut ialah persoalan akidah. Itulah ayat al-muhkamat (tanda jelas), yakni mengenai pokok-pokok Alquran (baca: akidah). Dari penjabaran di atas, al-Jabiri memahami makna ayat sebagai “tanda” (al-‘alamah), kemudian dicarilah tanda-tanda itu dengan memperhatikan siyaq.

Baca juga: Mengenal Kitab Fahm Al-Qur’an Al-Hakim, Tafsir Nuzuli Karya M. Abid Al-Jabiri

Kesimpulan

Al-Jabiri memahami ayat muhkam dan mutasyabih dalam Q.S. Ali Imran [3]: 7 sebagai tanda (al-‘alamah) yang sesuai dengan proses alam dan yang gaib. Kemudian, al-Jabiri memang mengakui adanya ayat yang musykil (sukar dipahami) dalam Alquran, tetapi hal ini bukan berarti tidak bisa dipahami sama sekali.

Adapun takwil terhadap Alquran dilakukan dengan merujuk kepada dua cara, (1) memperhatikan siyaq, yaitu menganalisis suatu ayat dengan memperhatikan konteks tema pembahasan yang terdapat pada sebelum atau setelah ayat tersebut. (2) Memperhatikan asbab al-nuzul, yaitu menganalisis konteks sosio-historis saat ayat tersebut diturunkan.

Bagaimanapun metode yang ditawarkan oleh al-Jabiri, tidak bisa ditolak bahwa dia mempunyai sumbangsih besar terhadap studi Alquran; dan lebih luasnya lagi di pemikiran Islam kontemporer. Wallahu a’lam.

Baca juga: Empat Klasifikasi Ayat-Ayat Humanis dalam Surah Al-Insan Versi M. Abid Al-Jabiri

Ahmad Mushawwir
Ahmad Mushawwir
Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...