BerandaTafsir TematikMeneguhkan Kembali Konsep Kalimatun Sawa’ dalam Surat Ali Imran Ayat 64 pada...

Meneguhkan Kembali Konsep Kalimatun Sawa’ dalam Surat Ali Imran Ayat 64 pada Konteks Keindonesiaan

Dalam surat Ali Imran ayat 64, terdapat lafadz kalimatun sawa’ yang berarti “satu kata yang sama”. Istilah kalimatun sawa’ dalam penafsiran modern pernah dipopulerkan oleh mufassir nusantara seperti Hasbi as-Shiddiqy. Al-Siddiqy menggunakan istilah kalimatun sawa’ sebagai konsep kesepakatan di tengah perbedaan keyakinan. Secara sederhana, kalimatun sawa’ berarti suatu titik temu di tengah perbedaan untuk menghindari perselisihan agar mencapai kemaslahatan bersama.

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat majemuk. Penduduknya terdiri dari berbagai etnis, adat istiadat, suku bangsa, agama, dan budaya. Satu sisi, pluralitas yang dimiliki Indonesia adalah anugerah kekayaan dari Yang Maha Kuasa. Di sisi lain, kemajemukan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, karena sangat rawan menimbulkan konflik dan perpecahan. Di Indonesia, konsep kalimatun sawa’ ini bukanlah barang yang baru. Ia telah diluncurkan oleh para founding father bangsa sebagai titik temu dalam membangun negara kesatuan ini. Namun, kekerasan dan konflik yang kerap kali muncul di Indonesia mendakwakan bahwa kalimatun sawa’ selayaknya mulai disapa dan diteguhkan kembali bagi generasi penerusnya.

Baca juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

Tafsir surat Ali Imran ayat 64: kalimatun sawa’ sebagai titik temu

Sebelum masuk penjelasan tafsir, berikut lafadz surat Ali Imran ayat 64:

قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”

Dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 64, para mufassir nusantara juga bisa dijadikan rujukan sahih. Mereka adalah Syaikh Nawawi al-Bantani dengan Tafsir Marh al-Labd, Hasbi as-Shiddieqy dengan Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nuur, Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar, dan M. Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbah.

Asbabun nuzul ayat di atas terjadi ketika Rasulullah berada di Madinah. Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa konteks ayat ini diturunkan kepada Nasrani Najran. Mereka tidak mau menerima ajakan Rasulullah untuk memeluk Islam dengan terus berdalil dan tidak mau membayar jizyah (pajak). Selain kepada Nasrani Najran, ayat ini juga ditujukan kepada kaum Yahudi Madinah yang juga berselisih paham dengan Nasrani Najran perihal agama Nabi Ibrahim. Hal ini pun akhirnya melibatkan Rasulullah sebagai kepala negara untuk mencari jalan keluar atas perselisihan yang terjadi. Akhirnya turunlah perintah Allah untuk meninggalkan perdebatan dan mencari suatu bentuk penengah. Dan penengah tersebut dinamakan “kalimatun sawa”.

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Senada dengan an-Nawawi, Hasbi as-Shiddiqy menafsrikan “kalimatun sawa” sebagai suatu pernyataan yang adil dan seimbang. Dalam penjelasannnya yang lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selain keadilan dan keseimbangan, dapat juga berarti untaian pembicaraan yang disepakati oleh rasul dan kitab yang telah diturunkan, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran. Istilah ini dapat diartikan sebagai konsep kesepakatan di tengah perbedaan keyakinan untuk menghindari perselisihan agar mencapai kemaslahatan bersama.

Konsep as-Shiddiqy ini disepakati pula oleh Buya Hamka. Ia menyataka bahwa betapapun terdapat perbedaan dalam agama Yahudi, Nasrani, dan Islam, pada kulitnya, pasti terdapat satu kalimat, satu kata yang sama yang menjadi titik pertemuan ketiga agama samawi tersebut. sekiranya ketiganya rela dan sudi kembali kepada satu kalimat tersebut niscaya tidak aka nada perselisihan di antara ketiganya.

Meneguhkan kembali kalimatun sawa’ dalam konteks keindonesiaan

Keempat mufassir nusantara di atas sepakat bahwa “kalimatun sawa” adalah titik temu atau suatu kata sepakat. Dalam konteks Rasulullah di Madinah, penjelasan “kalimatun sawa” dijabarkan pada ayat selanjutnya yaitu “tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukannya, serta tidak menjadikan tuhan-tuhan selain Allah”.

Persamaan tersebutlah yang menjadikan ketiganya dapat bekerjasama dalam membangun sebuah negara yang madani di Madinah. Mereka akan tetap pada keyakinannya masing-masing namun saling bertoleransi dalam urusan duniawiyah. Kareana dalam agama Islam sendiri memang tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluknya seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 256.

Dalam konteks Indonesia “kalimatun sawa” ini ternyata telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa menjadi sebuah bentuk landasan negara. Cendekiawan muslim Sayyid Hosen Nasr menyatakan bahwa kalimatun sawa adalah a common words. Sedang Nurcholish Madjid mengistilahkan “kalimatun sawa” sebagai common platform (platform umum). Common platform tersebut tertera pada Pancasila terutama pada sila pertama karena menjadi dasar keempat sila selanjutnya. Ia menyatakan bahwa dalam sila pertama tersebut terdapat unsur relijiusitas.

Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten

Dalam agama Islam sila pertama tersebut mengandung unsur tauhid uluhiyah yang membawa konsekuensi pada kepatuhan kepada Allah serta menjalankan perintahnya termasuk bersikap baik pada sesama manusia. Sila pertama juga menjadi titik temu karena ia menjadi common platform bagi warga negara Indonesia yang mempunyai karakteristik keberagamaan meski dengan keyakinan yang berbeda.

Jika merujuk pada pendapat Quraish Shihab dalam mendefinisikan ahlul kitab dalam tafsir al-Misbah, maka konsep Pancasila sebagai “kalimatun sawa” adalah tepat. Karena menurutnya, ahlul kitab pada surat Ali Imran ayat 64 tersebut tidak hanya ditujukan kepada ketiga agama Yahudi, Nasrani, dan Islam saja seperti pendapat Hasbi as-Shiddiqy dan Buya Hamka. Namun lebih luas pemaknaannya kepada seluruh kaum yang mempunyai kitab suci sebagai kepercayaanya. Dan “kalimatun sawa” dalam surat Ali Imran ayat 61 tersebut menurut Quraish Shihab akan terus relevan hingga akhir zaman.

Melihat realitas Indonesia yang hari ini masih banyak konflik dan kekerasan karena perbedaan keyakinan. Rasanya perlu merefleksikan dan meneguhkan kembali konsep “kalimatun sawa” yang kita miliki hari ini. Pertama sebagai satu cara untuk menghindari perselisihan paham dan menjaga kesatuan. Kemudian yang kedua adalah sebagai wujud syukur kita kepada Allah Yang Maha Esa karena diberikan anugerah pluralitas dan masyarakat yang multikultur nan majemuk. Wallahu a’lam[]

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

ilustrasi tradisi namatang

Mengenal Tradisi Namatang Masyarakat Lombok

0
Menjelang Magrib di berbagai daerah, masih dapat dijumpai sekawanan anak-anak yang pergi ke surau-surau atau rumah gurunya untuk mengaji Alquran. Di antara mereka, ada yang...