BerandaKhazanah Al-QuranPembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Pada artikel sebelumnya, kita sudah mengulas mengenai Akhlak Nabi yang mempersatukan umat dengan pembangunan Masjid Quba’. Artikel kali ini kita akan lebih menguraikan mengenai pembangunan masjid dan keragaman manusia.

Pembangunan masjid pertama yang dilakukan oleh Nabi merupakan momen yang sangat penting. Pembangunan masjid yang dilakukan oleh Rasulullah saw didasarkan atas keimanan dan ketakwaan kepada Allah.

Kerelaan kita dalam melakukan proses pembangunan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat pembinaan persatuan dan kesatuan masyarakat merupakan landasan utama untuk menggalang dan membina persatuan bangsa.

Terutama dalam rung lingkup yang kecil untuk membina persatuan dan kesatuan masyarakat dan umat yang tinggal di sekitar masjid. Sebagaimana Rasulullah menggalang persatuan dan kesatuan umatnya sekitar 15 abad yang lalu dengan membangun masjid sebagai salah satu sarana pembinaannya.

Pembangunan masjid dalam masa pembangunan di era reformasi yang sedang kita jalani sekarang ini juga tidak kalah pentingnya. Sebab, pembangunan masjid dan pembinaannya dapat dijadikan wadah dan sarana untuk membina dan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, terutama dalam rangka membina persatuan dan kesatuan warga dan umat yang ada di sekitarnya.

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Fondasi dan batu pertama yang diletakkan hari ini harus dapat melahirkan batu-batu berikutnya sehingga pada akhirnya akan berdiri dengan megah sebuah masjid yang dapat menjalankan fungsi religius dan sosialnya dengan sebaik-baiknya.

Masjid yang berdiri megah itu akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dan akan lebih lengkap fungsinya apabila kaum muslimin yang berada di sekitarnya mengisi dan memakmurkannya dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat, kegiatan ibadah, kegiatan, sosial, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Segala bentuk kegiatan yang membawa kepada terbinanya ukhuwah, kegotongroyongan, kerja sama, dan persatuan serta kesatuan umat. Untuk ini semua, peran para ulama, umara’, kiai, ustaz, dan tokoh masyarakat sangat menentukan.

Kita menyadari sepenuhnya bahwa persatuan, kesatuan masyarakat dan bangsa harus kita jaga dan pelihara. Jika terjadi gejolak, pertikaian, perselisihan, dan pertentangan antara di antara masyarakat dan bangsa kita dalam suasana kebinekaan dan keragaman ini, harus segera diatasi secara bersama-sama. Konflik yang terjadi di antara kita sesama bangsa akan merugikan persatuan dan kesatuan kita.

Pembangunan masjid tentu saja harus menjadikan Al-Quran yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman. Pedoman yang telah memberikan tuntunan menyejukkan dalam rangka kehidupan bersama dalam sebuah bangsa yang beraneka ragam.

Al-Quran telah menunjukkan bahwa secara fitrah manusia adalah makhluk sosial, yang ditakdirkan untuk hidup bersama dengan manusia yang lain. Allah Swt telah menciptakan manusia berbeda dalam banyak hal, berbeda dalam hal jenisnya (ada laki-laki dan ada perempuan), berbeda dalam hal suku dan bangsanya (ada suku Jawa, ada Sunda, ada Bugis, dan lain-lain) dan berbeda dalam hal bahasa, warna kulitnya (Surat al-Rum [30]: 22), dan berbeda posisi dan kedudukan sosialnya (Surat al-Nisa’ [4]: 6), bahkan berbeda agama dan keyakinannya.

Pembangunan masjid tentu menjadi bagian dari perbedaan-perbedaan tersebut. Oleh karenanya kita bisa menemukan ragam arsitektur Masjid mulai dari arsitektur Timur Tengah, Tiongkok, Jawa, Bugis, Modern dan sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa pembangunan masjid tidak lepas dari ekspresi keberagaman manusia.

Di dalam perbedaan-perbedaan itu tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan. Setiap orang pasti memiliki kelemahan dan kekurangan (S. al-Nisa’ [4]: 28). Keadaan yang berbeda itu, antara lain, telah digambarkan oleh Allah di dalam Al-Quran S. Al-Hujurat [49]: 13:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Apa yang disampaikan oleh ayat di atas merupakan spirit saling kenal mengenal, meskipun berbeda dalam banyak hal. Saling kenal satu sama lain akan membawa kepada hubungan komunikasi, yang kemudian melahirkan ikatan persaudaraan, lalu melahirkan ikatan kasih sayang, dan semua ini akan bermuara pada lahirnya sikap toleransi dalam bersuku, berbangsa dan bernegara. Semangat toleransi ini akan melahirkan ikatan yang kokoh dan hubungan yang harmonis di antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat.

Bangsa Indonesia mulai dari Sabang di ujung barat hingga Merauke di ujung timur, adalah masyarakat yang majemuk, terdiri atas berbagai suku yang berbeda agama, yang berbeda bahasa lokal, berbeda adat kebiasaan, dan berbeda budaya. Tetapi mereka disatukan oleh pandangan yang kokoh, satu tanah air, tanah air Indonesia, satu bahasa, bahasa Indonesia, dan satu bangsa, bangsa Indonesia dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Dalam suasana kemajemukan ini, persatuan dan kesatuan harus dijaga dan dipelihara sehingga setiap warga negara dapat menikmati kehidupan yang tenteram dan damai. Kemajemukan bangsa Indonesia sama dengan kemajemukan bangsa Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah saw.

Perbedaan pendapat dalam suatu persoalan tidak boleh menjadi hambatan persatuan dan kesatuan, tetapi perbedaan pendapat harus menjadi hiasan bagi persatuan dan kesatuan, bukan menjadi penyakit yang membahayakan keutuhan bangsa.

Agama kita telah mengajarkan bahwa perbedaan pendapat di antara umat merupakan rahmat. Tuntunan ini memberikan isyarat bahwa perbedaan pendapat di antara kita tidak boleh menjadi sumber pemecah persatuan dan kesatuan.

Semoga bermanfaat.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...