BerandaTokoh TafsirMeneguhkan Popularitas Tafsir al-Baghawiy di Masa Lalu

Meneguhkan Popularitas Tafsir al-Baghawiy di Masa Lalu

Dalam tulisan berjudul Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu, penulis sempat menyebutkan bahwa teks Tafsir al-Baghawiy secara apik “bergandengan” dengan teks lain dalam satu bundel naskah Jalalain koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Kendati apa yang penulis sebutkan tersebut masih sebatas dugaan sementara, paling tidak hal tersebut menunjukkan tingkat popularitas Tafsir al-Baghawiy di masa lalu yang cukup tinggi.

Beberapa waktu yang lalu, penulis membaca tulisan lama milik Peter Riddell berjudul Controversy in Qur’anic Exegesis and its Relevance to the Malayo-Indonesian World yang dimuat dalam buku berjudul The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia yang terbit tahun 1993. Dalam tulisan tersebut, Pak Riddell secara khusus mengkaji relevansi penafsiran kontroversial ulama Timur Tengah di kawasan Melayu.

Meskipun studi kasus yang diambil oleh Pak Riddell dalam tulisannya tersebut adalah teks Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin. Hal ini barangkali disebabkan fokus kajian beliau adalah tafsir Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd al-Rauf Sinkel (w. 1693 H.). Yang menarik, dalam tulisan tersebut beliau menyebutkan bahwa tafsir karya Baghawiy (w. 529 H.), Ma‘alim al-Tanzil, menjadi tafsir yang cukup prestise di dunia Melayu awal, khususnya di Kerajaan Aceh, bersama tafsir-tafsir lain, seperti Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidhawiy (w. 691 H.), Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin (w. 741 H.), serta Jalalain karya Al-Mahalliy (w. 864 H.) dan Al-Suyuthiy (w. 911 H.).

Baca juga: Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu

Tesis ini Pak Riddel dasarkan dari setidaknya beberapa naskah yang beliau temukan; pertama, naskah koleksi Perpustakaan Universitas Cambridge dari awal tahun 1600-an yang berisi tafsir Alquran surah ke-18 dalam bahasa Melayu; kedua, naskah Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel (w. 1693 M.); dan ketiga, beberapa naskah yang tersimpan di Museum Nasional (Indonesia) di Jakarta.

Apa yang Pak Riddell sebutkan ini agaknya sama dengan apa yang telah penulis ulas pada tulisan sebelumnya tentang popularitas Tafsir al-Baghawiy. Yang membedakan adalah koleksi naskah yang menjadi rujukan. Jika Pak Riddell menggunakan naskah-naskah “Melayu”, maka penulis menggunakan naskah pegon koleksi Museum MAJT sebagai dasar rujukan.

Di samping itu, merujuk pada informasi yang diberikan oleh Anasom dalam penelitian digitalisasinya terhadap naskah koleksi Museum MAJT, ada satu bundel naskah Tafsir al-Baghawiy juz ke-2 yang berisi penafsiran Alquran mulai surah Al-Kahfi [18] hingga surah An-Nashr [110]. Dalam naskah tersebut juga ditemukan sebuah catatan yang menyebutkan, “al-Juz al-tsani tafsir al-Baghawiy milik Sultan Surakarta”, yang menjelaskan asal kepemilikan naskah tersebut.

Baca juga: Mengenal Ma’alim al-Tanzil: Kitab Tafsir Corak Fikih Karya Al-Baghawi

Hadirnya persamaan yang ditemukan dalam kajian Pak Riddell dengan kajian yang tengah penulis lakukan, membuat penulis berpikir tentang beberapa hal. Pertama, adakah kajian tafsir yang terjadi di wilayah tengah atau timur Indonesia terpengaruh dengan kajian tafsir di wilayah Indonesia barat, mengingat proses islamisasi Indonesia berawal dari daratan Sumatera? Kedua, apakah Tafsir al-Baghawiy memiliki posisi khusus di kalangan bangsawan keraton atau kerajaan Islam di Indonesia, melihat koleksi yang ada berasal dari tradisi keraton atau kerajaan?

Sementara itu, dalam konteks perbandingan antara naskah Jalalain dan Baghawiy koleksi Museum MAJT, penulis juga berpikir bahwa apakah catatan (pias) yang diberikan pada naskah Jalalain koleksi Museum MAJT dulunya merujuk pada naskah Baghawiy yang berasal dari koleksi yang sama?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan, penulis hendak mengajak pembaca sekalian membandingkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Pak Riddel dan penulis berkaitan dengan adanya perbedaan teks tafsir yang menjadi sumber atau rujukan interpolasi dalam naskah kajian keduanya.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Mengambil studi pada naskah Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd al-Rauf Sinkel, Pak Riddell menemukan bahwa catatan interpolasi dalam naskah tersebut utamanya merujuk pada Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin. Hal ini berbeda dengan apa yang penulis temukan pada naskah Jalalain koleksi Museum MAJT yang justru merujuk pada Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy.

Padahal secara genealogis, baik Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin ataupun Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy sejatinya berada pada satu garis yang sama, yang mengarah pada Al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an karya Al-Tsa‘labiy. Hal ini karena Al-Tsa‘labiy banyak memberikan pengaruh terhadap Al-Baghawiy, sebagaimana Al-Baghawiy banyak memberikan pengaruh terhadap Al-Khazin.

Baca juga: Riwayat Manuskrip Alquran Bone Sulawesi Selatan di Museum Aga Khan Kanada

Namun demikian, penggunaan riwayat pada tafsir ketiganya memiliki perbedaan yang kemudian memberikan pengaruh terhadap penilaian para ulama. Al-Tsa‘labiy dianggap terlalu banyak menggunakan riwayat yang lemah, yang kemudian diikuti oleh “cucu muridnya”, Al-Khazin. Sedangkan Al-Baghawiy dinilai sangat berhati-hati dalam penggunaan riwayat dan tidak mengikuti “gurunya” tersebut.

Oleh Pak Riddell, pemberian interpolasi dari tafsir Al-Khazin ini, yang identik dengan riwayat yang lemah, dianggap tidak menimbulkan masalah dalam konteks Melayu atau Aceh. Akan tetapi, hal demikian ini tidak penulis dapati, sebab interpolasi yang diberikan diambil dari karya Al-Baghawiy. Karenanya, mungkinkah situasi dan kondisi sosial budaya yang melingkupi kedua masa penulisan tersebut berbeda? Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU