BerandaUlumul QuranMenelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

Sebagai salah satu tokoh Sufi Abu Hamid al-Ghazali memiliki epistemologi yang khas sebagaimana sufi lainnya dalam memandang al-Qur’an. Pada umumnya para sufi dengan nalar sufistiknya meyakini bahwa untuk mendapatkan pemahaman akan al-Qur’an yang utuh, seseorang harus mengetahui dua dimensi dalam al-Qur’an yaitu sisi zahiri/ eksoteris dan sisi bathini/ esoteris.

Kerangka pemahaman para sufi ini dilandasi oleh sebuah hadis yang memang populer di kalangan mereka. Hadis tersebut mengemukakan:

لكل آية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع

Setiap ayat memiliki sisi zahir dan bathin, dan setiap huruf memiliki had, dan setiap had memiliki matla’

al-Muhasibi memberikan syarah atas hadis ini dengan menjelaskan bahwa makna zahir dan bathin ialah literal meaning (makna literal) dan the hidden meaning (tafsir/ ta’wil). Keduanya masih berada di bawah level had atau batas penafsiran (maksudnya penafsiran yang paling mendekati kehendak Tuhan). Level had ini baru bisa dicapai oleh orang yang masuk dalam kategori al-shiddiqun yaitu sufi yang telah berada pada titik matla’ atau transendensi atau kasyf.

Baca Juga: Nalar Sufistik dan 3 Ragam Konteks Interaksinya dengan al-Quran

Artinya bagi sufi, pemahaman akan al-Qur’an yang tertinggi akan didapatkan jika seorang sufi telah mendapatkan pengalaman intuitif (kasyf). Maka atas dasar inilah, seorang sufi pada umumnya meyakini bahwa makna dalam al-Qur’an itu bertingkat-tingkat atau berlevel-level, sehingga abolutisme serta pembatasan epistemologi dalam menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu kesalahan.

Epistemologi al-Ghazali

Dalam karyanya, Jawahir al-Qur’an, ِAbu Hamid al-Ghazali menuturkan bahwa ada dua kategorisasi ilmu al-Qur’an yang harus dikuasai untuk mencapai penafsiran yang baik yaitu ilmu kulit (ilm al-sadaf) dan ilmu inti (ilm al-lubab). Istilah yang digunakan al-Ghazali bisa dibilang serupa dengan teori sisi zahir dan bathin. Namun al-Ghazali akan terlihat lebih rinci dalam menjelaskannya.

Ia membagi masing-masing ilmu tersebut ke dalam beberapa level. Pada ilmu kulit, ia menjelaskan ada lima tingkatan (dari yang paling luar ke dalam). Pertama, makharij al-huruf atau ilmu mengenai bunyi huruf (fonologi). Kedua, ilmu bahasa al-Qur’an atau ilmu yang berkaitan dengan aspek kebahasaan. Ketiga, I’rab al-Qur’an atau ilmu mengenai struktur kalimat dalam al-Qur’an. Keempat, Qira’at atau ilmu mengenai ragam dialek dalam membaca al-Qur’an. Terakhir, tafsir zahir atau tafsir berdasarkan makna leksikal teks.

Selanjutnya pada ilmu inti, ia membaginya kembali ke dalam thabaqah sufla (tingkatan terendah) dan thabaqah al-ulya (tingkatan tertinggi). Pada thabaqat sufla, al-Ghazali memasukka tiga keilmuan yakni Fiqh, Kalam dan Qasasul Qur’an (Kisah al-Qur’an). Fungsi ketiga ilmu ini menurut al-Ghazali adalah sebagai wasilah menuju thabaqa ulya.

Sebab Fiqh merupakan pondasi dasar yang harus dipahami dan dikuasai oleh manusia untuk menjalani kehidupan duniawi. Selanjutnya Kalam diperuntukkan sebagai penguat pondasi Tauhid dan Kisah menjadi sarana untuk mendapatkan kemantapan dalam merasakan pengalaman suluk para tokoh yang dikisahkan.

Ketiga ilmu dalam thabaqat sufla beserta keilmuan dalam ilm sadaf yang akan mengantarkan seorang hamba kepada thabaqat ulya yakni ma’rifatullah. Artinya pemahaman akan teks al-Qur’an oleh orang yang telah ma’rifat tentu sangat berbeda dengan orang yang masih dalam level ilmu kulit maupun thabaqat sufla, sebab mereka sudah mendapati langsung haqiqah dari apa yang dibaca dan dipahaminya.

Pandangan epistemologisnya inilah yang membawa Abu Hamid al-Ghazali pada penolakannya terhadap epistemologi lain yang hanya berpegang pada sumber kebenaran tunggal. Di antara beberapa golongan yang menjadi objek kritikan al-Ghazali ialah golongan yang hanya berpegang pada sisi zahiri al-Qur’an (zahiriyah), kemudian golongan yang hanya berpegang pada sisi batini al-Qur’an (bathiniyah) serta golongan yang terpaku pada model tafsir bi al-riwayah.

Menurut al-Ghazali ketiga golongan tersebut justru memonopoli kebenaran al-Qur’an dengan fanatisme subjektivitas kelompok. Absolutisme dalam epistemologi penafsiran al-Qur’an akan membawa pada sempitnya perspektif serta penafsiran yang sangat subjektif. Sederhananya tafsir, bagi ketiga kelompok tersebut menurut al-Ghazali, hanya dijadikan sebagai alat “pembenaran” dan bukan sarana untuk mencapai “kebenaran”.

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Dalam kasus tafsir bi al-riwayah, al-Ghazali menuturkan bahwa alasan di balik ketidaktepatan tafsir bi al-riwayah dijadikan sebagai standar “kebenaran” ialah 1) tidak dapat diberlakukan ke semua ayat sebab hadis maupun atsar hanya mampu men-cover beberapa ayat saja; 2) di masa Sahabat, penggunaan rasio bukanlah hal tabu dan terlarang sebab fakta adanya perbedaan penafsiran di masa sahabat membuktikan adanya penggunaan rasio dala menafsirkan al-Qur’an; 3) doa Nabi Muhammad kepada Ibn Abbas menunjukkan adanya keistimewaan yang diberikan kepada Ibn Abbas, sehingga jika ta’wil dalam doa tersebut dimaknai “riwayat” maka tidak ada keistimewaan yang ditunjukkan.

Seluruh uraian ringkas atas epistemologi tafsir Abu Hamid al-Ghazali setidaknya memberikan satu pesan penting bagi para pengkaji al-Qur’an. Pesan pentingnya adalah sebagai pengkaji al-Qur’an, kita harus terus mempelajari dan menguasai keilmuan-keilmuan pendukung dalam memahami al-Qur’an namun kita juga harus membersamainya dengan suluk atau tirakat sebagai wasilah sekaligus penyempurna usaha kita menuju haqiqah al-ma’na atau makna yang dikehendaki Allah. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU