BerandaTafsir Al QuranMenelisik Tafsir Falsafi (1): Pengertian dan Sejarah Perkembangannya

Menelisik Tafsir Falsafi (1): Pengertian dan Sejarah Perkembangannya

Salah satu corak tafsir Al-Quran yang jarang dikaji adalah corak tafsir falsafi. Adalah corak tafsir Al-Quran yang banyak memuat aspek filosofis. Corak tafsir ini banyak menuai pro dan kontra, Al-Ghazali, misalnya, di pihak kontra dengan beberapa catatan kritis terhadap filsafat, sedangkan yang pro direpresentasikan oleh Al-Farabi, Ar-Razi, Ibn Sina, Ikhwan As-Shafa, At-Thabathaba’i.

Tafsir Falsafi merupakan bagian dari tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ra’yi adalah bentuk penafsiran Al-Quran dengan menggunakan rasio (ra’y). Para mufasir berupaya mengungkapkan makna ayat-ayat Al-Quran berdasarkan background keilmuan yang dimilikinya.

Definisi Tafsir Falsafi

Ada banyak ragam pendapat ulama mengenai tafsir falsafi. Al-Dzahabi dalam Tafsir al-Mufassirun-nya berpendapat bahwa tafsir falsafi ialah upaya pentakwilan ayat-ayat Al-Quran senada dengan pemikiran filsafat atau penafsiran ayat Al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Sedangkan Amin Suma dalam Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran mendefinisikan tafsir falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.

Sementara itu, Muhaimin dkk memberikan pengertian bahwa tafsir falsafi adalah model interpretasi Al-Quran dengan pendekatan filsafat melalui perenungan dan penghayatan yang mendalam, dan mengkajinya secara radikal (mengakar), sistematis dan obyektif. menurut Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan fi tafsir al-Quran, tafsir falsafi ialah bagaimana para filsuf membawa pikiran-pikiran filsafat ketika memahami ayat-ayat Al-Quran.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Quraish Shihab dalam Sejarah dan Ulum Al-Quran juga menyumbangkan pendapatnya, tafsir falsafi adalah upaya penafsiran Al-Quran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwa tafsir falsafi merupakan upaya penafsiran Al-Quran dengan menggunakan pendekatan filsafat, baik terkait teori, persoalan maupun logika-logika filsafat.

Lebih dari itu, tafsir falsafi jika kita tilik ia cenderung membangun proposisi universal berdasarkan logika. Dalam konteks ini, logika amatlah mendominasi karenanya metode ini “kurang” mempertimbangkan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, keunggulan metode ini adalah kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna laten (tersembunyi) dari teks suci untuk kemudian didialogkan kepada khalayak tanpa terhalang faktor budaya dan bahasa.

Sejarah dan Perkembangannya

Keberadaan corak tafsir ini tentu memiliki sebab dan faktor yang melatari kemunculan tafsir ini. Sudah jamak diketahui bahwa filsafat berpegang pada akal dan istidhlal (argumen). Muhammad Ali al-Ridha al-Ishfihani dalam Durus fi al-Manahij wa al-Ittijahat al-Tafsiriyah li Al-Quran menuturkan bahwa istidhlal aqli juga terdapat dalam Islam bersamaan dengan perkembangan ilmu dan sains.

Perkembangan corak tafsir ini bermula di zaman keemasan Islam yakni Dinasti Abbasiyah  yang sangat kental akan nuansa Persia di dalamnya. Gerakan penerjemahan besar-besaran karya Yunani ke dalam bahasa Arab menjadi bukti untuk itu. Kemajuan Abbasiyah di bidang ilmu pengetahuan dan sains tidak terlepas dari ilmu filsafat di dalamnya. Hal tersebut juga merujuk pada Adz-Dzahabi, ia menerangkan bahwa embrio lahirnya penafsiran bercorak falsafi ditengarai dimulai pada masa Abbasiyah khususnya khalifah Al-Mansur dan Al-Ma’mun.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik

Pada masa kedua khalifah tersebut bebarengan dengan proyek penerjemahan karya-karya Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Proyek penerjemahan karya-karya tersebut mendapatkan apresiasi yang tinggi dari khalifah baik material maupun non material. Terutama penerjemahan karya-karya filsafat Plato (427 SM-347 SM) dan Aristoteles (384 SM-322 SM).

Dari proyek penerjemahan ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh baru dalam dunia filsafat Islam sebut saja Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina, Al-Razi, Ibnu Maskawaih (932-1030 M), dan hampir semua ilmuwan yang hidup di masa Abbasiyah menguasai filsafat secara baik dan mendalam. Bahkan, Al-Farabi mendapat gelar prestisius sepanjang sejarah yaitu “al-Mu’allim al-Tsani” (guru kedua setelah Aristoteles). Luar biasa bukan.

Khalid Abd ar-Rahman al-‘Ak dalam Buhus fi al-‘Ulum Al-Quraniyah Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduh menggunakan istilah “falsafi al-kalami” untuk menyebutkan tafsir falsafi. Penafsiran terhadap Al-Quran secara filsafat relatif banyak dijumpai dalam sejumlah kitab tafsir, akan tetapi secara spesifik tafsir yang menggunakan pendekatan falsafi secara keseluruhan terhadap semua ayat Al-Quran relatif tidak begitu banyak.

Al-Sayyid Muhammad Ali Iyyaziy dalam al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum menyampaikan bahwa di antara kitab tafsir yang bercorak falsafi ialah Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Shadr al-Mutaalihin al-Siyraziy, Fushus al-Hikam karya al-Farabi, Rasail karya Ibnu Sina, dan Rasail Ikhwan as-Shafa oleh Ikhwan as-Shafa, Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhdruddin Ar-Razi, Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i, dan lain sebagainya.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...